Negara tidak boleh menjadikan cuaca sebagai kambing hitam atas tidak terpenuhinya kebutuhan pangan.
Oleh. Nurhayati, S.ST.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Panen raya telah terjadi di beberapa daerah, seperti di Indramayu, Jawa Barat. Presiden Jokowi melakukan kunjungan langsung ke area sawah yang terdapat disana guna memastikan stok beras untuk cadangan pangan aman untuk rakyat. Presiden menyebutkan kondisi panen di sana tergolong cukup baik dengan rata-rata produksinya menghasilkan 8,6 ton per hektare. Ia pun mendorong pihak Bulog untuk terus menambah cadangan stok beras persediaan dalam negeri. (Republika.id, 13/10/2023)
Sehubungan dengan penambahan itu, baru-baru ini pihak Bulog melalui Sekretaris Perusahaannya, Awaludin Iqbal menyampaikan siap menerima penugasan impor beras sebanyak 1,5 juta ton dari pemerintah. (Tirto.id, 11/10/2023) Hal ini jelas akan menimbulkan kegaduhan di kalangan para petani. Pasalnya Indonesia hari ini dihadapkan oleh panen raya, tetapi wacana impor kembali bergulir.
Apakah dengan impor menjadi solusi menambah suplai cadangan pangan dalam negeri? Mengingat kondisi di pasar, beras premium telah menembus harga Rp15.000.
Impor Lagi, Benarkah Solusi?
Sudah bukan menjadi perkara baru di negara kita ini, meski pemerintah menyatakan stok aman, tetapi nyatanya impor tetap dilakukan. Bukan hanya beras, tetapi hampir semua sektor pangan negara ini tergantung pada impor seperti gula, garam, bawang putih, dan beberapa komoditas pangan lainnya.
Semangat impor ini tentu bertolak belakang dengan cita-cita swasembada pangan yang menjadi program Presiden Jokowi. Dari perihal impor ini harusnya menjadi renungan untuk kita bahwa kebijakan pemerintah seperti setengah hati mengurusi rakyatnya. Bukannya meningkatkan produktivitas lahan pertanian, malah impor lagi-lagi dianggap solusi praktis terhadap permasalahan pangan.
Tidak menutup kemungkinan terjadi ajang bisnis besar dalam pelaksanaan impor ini, yakni berujung pada pengambilan keuntungan. Alhasil, kebijakan bukan lagi untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporasi. Seperti yang sebelumnya pada tahun 2021 lalu ketika terjadi kelangkaan minyak goreng hingga pemerintah melakukan impor, nyatanya membuka peluang besar bagi para mafia atas kasus ini.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/09/2023/beras-mahal-dan-harga-diri-petani/
Dalam sistem kapitalisme memang meniscayakan pengelolaan ekonomi diserahkan kepada pasar yakni para pemilik modal (korporasi). Adapun pemerintah hanya berperan sebagai regulator atau pengawas saja sehingga impor menjadi win-win solution bagi penguasa yang setengah hati mengurusi urusan rakyatnya dan jalan bagi korporat untuk “berbisnis” dengan negara.
Solusi Islam Memenuhi Kebutuhan Pangan
Dalam Islam, negara bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Bagaimanapun caranya, negara harus memenuhi kebutuhan ini tanpa terkecuali. Negara tidak boleh menjadikan cuaca sebagai kambing hitam atas tidak terpenuhinya kebutuhan pangan.
Islam memandang sektor pertanian ini adalah sektor primer, selain sektor pertambangan dan perdagangan. Oleh karena itu, sektor ini dianggap sebagai sektor vital karena menjadi salah satu pilar utama penopang perekonomian negara. Bayangkan jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi, negara akan dianggap gagal dalam melayani kebutuhan pangan rakyatnya.
Politik dalam negara Islam untuk sektor pertanian adalah meningkatkan produktivitas pertanian. Hal ini harus sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh negara, di antaranya intensifikasi pertanian, yaitu meningkatkan produktivitas dengan lahan yang tersedia. Negara memproduktifkan lahan dengan menerapkan teknologi yang menunjang budidaya di kalangan para petani, pemberian pupuk secara gratis, pengadaan mesin-mesin pertanian, menyediakan bibit unggul, serta hal-hal yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pertanian.
Kemudian ekstensifikasi pertanian, dicapai dengan pembukaan lahan-lahan baru atau menghidupkan tanah yang sudah mati (tidak dikelola). Menghidupkan tanah yang mati adalah mengelola tanah tersebut hingga siap untuk ditanami agar bermanfaat. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda,
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud).
Kebijakan yang diambil oleh negara ini adalah dalam rangka menjalankan tanggung jawab penguasa. Negara sadar bahwa mengurus kebutuhan umat merupakan pertanggungjawaban dunia dan akhirat. Ibnu Umar ra. berkata, "Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawabannya perihal rakyat yang dipimpinnya.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a'lam bishawab.[]
aneka perjanjian dan kerjasama bilateral dan multiliteral dengan negaara-negara kafir, membuat pemimpin negeri ini harus tunduk dengan aturan mereka. alhasil, kebijakan ekspor-impor dilakukan bukan dalam rangka menyejahterakan rakyat, namun karena pesanan para pengusaha dan negera-negara adidaya.
Permasalahan pangan yang terjadi saat ini sebenarnya terletak pada pendistribusian, selain peningkatan produkrivitas pertanian. Jika hal itu bisa diatasi maka tidak akan terjadi kelangkaan pangan di suatu daerah sementara daerah lain surplus. Dan tidak akan diperlukan impor jika produksi dalam negeri meningkat.
Haduwh, impor lagi impor lagi. Lantas, bagaimana kabarnya swasembada pangan yang menjadi program Presiden Jokowi?
Aneh ya stok aman kok impor beras? Terus untuk apa tuh stok berasnya? Negara kapitalisme penuh dengan yang ironis sepertinya
Nama FB-nya siapa mba Nur biar saya bisa tag
Gemes sama pejabat +62 yang demen impor.suka bergantung pada negara lain
Rezim di negeri +62 memang aneh kok. Selalu menggembar-gemborkan stok beras selalu cukup, tapi beras tetap impor dan mahal pula. Kasian rakyat kalau begini. Inilah sebenarnya kegagalan pemerintah di bawah asuhan sistem kapitalisme.
Mereka tidak bisa lepas dengan perjanjian di WTO. jd selamanya tdk akan bs lepas dr impor meski kebutuhan dalam negeri surplus sekalipun. Berkaca pada impor ayam brazil dahulu
Ketika harga beras mahal, sebagaimana biasa solusi yang ditawarkan jangan makan beras. Ganti dengan yang lain.
Makin rindu dengan solusi Islam.
Itu jawaban yang harusnya tidak dilontarkan oleh pejabat. Tapi jawaban seperti itu adalah jawaban anak SD.