Masalah ekonomi itu bukan hanya menyangkut pemenuhan harta kekayaan (taufir al mal), juga yang paling penting adalah distribusi kekayaan (tauzi al mal). Persoalan kedua ini yang menuntut peran negara dominan karena menyangkut konsep pemikiran. ( Syaikh Taqiyuddin An Nabhani : Sistem Ekonomi Islam Hal: 63)
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Baru-baru ini beredar tayangan video petani cabai yang mengamuk karena anjloknya harga cabai. Video tersebut ditanggapi oleh anggota Komisi IV DPR RI, Slamet, sebagai akibat tingginya nilai impor cabai, meskipun situasi masih pandemi. Impor cabai per semester pertama tahun 2021, senilai 27.851 ton, naik dari nilai impor pada waktu yang sama tahun sebelumnya sebesar 18.075 ton. (rctiplus.com, 29/8/2021)
Di beberapa daerah harga cabai sampai menyentuh Rp5.000 per kilogram. Tentu, kondisi ini membuat petani cabai merasa sedih karena usahanya rugi. Sebagaimana dimaklumi, petani cabai di negeri ini sangat terbebani dengan biaya tanam dan panen yang masih mahal.
Biasanya untuk mendapatkan modal tanam dan perawatan, petani tidak bisa lepas dari kredit yang diberikan perbankan, petani terbebani utang dan tentu yang lebih mengerikan terjebak dosa riba atas bunga pinjamannya tersebut.
Belum lagi di saat pandemi ini, kebutuhan untuk tanam sangat terganggu dengan tersendatnya roda ekonomi karena pembatasan aktivitas sosial masyarakat. Petani menjadi serba salah, saat musim tanam berbiaya mahal, namun saat panen tiba harga anjlok karena pemerintah mengimpor cabai dari negara lain.
Masih tingginya nilai impor, tentu karena adanya perbedaan harga yang dinikmati para kartel. Mereka yang tergiur dengan bisnis cabai, tentu berusaha bermain dengan kekuasaan untuk memenangkan tender impor.
Kebutuhan akan cabai dalam negeri masih tinggi, mengingat masyarakat banyak menjadikan cabai sebagai komoditas utama berbagai masakan khas daerah, seperti kebutuhan rumah makan khas masakan Padang, aneka sambal tradisional dan makanan lainnya yang menjadikan cabai sebagai pilihan utama untuk cita rasa pedasnya. Ternyata, harga cabai tidak sepedas rasanya yang membuat orang “taubat sambal”, harga cabai malah membuat pedih hati petani.
Pada satu sisi cabai sempat menjadi barang mahal karena kelangkaannya, namun tidak seharusnya pada saat panen melimpah petani malah gigit jari karena pemerintah masih memberlakukan impor cabai. Kondisi seperti ini merupakan hal yang lumrah dalam sistem ekonomi kapitalisme. Peran pemerintah hanya sebatas memainkan regulasi yang sarat dengan kepentingan politis pesanan oligarki. Mereka yang bermain bisnis di lahan pedas ini tentu selalu meminta jatah atas modal politik yang telah ditanamnya. Kebijakan impor yang selalu meningkat menandakan bahwa kapitalisme memang selalu menguntungkan para pemilik modal, bukan petani lokal.
Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi yang menerapkan aturan syariat Islam. Masalah ekonomi bukan semata-mata ada pada sektor produksi, melainkan juga menyangkut pengaturan negara pada distribusinya. Negara sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya dan melindunginya dari segala praktik kecurangan bisnis, apalagi kerugian akibat keputusan penguasa yang dinilai menzalimi.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam buku “Sistem Ekonomi Islam” mengatakan bahwa masalah ekonomi itu bukan hanya menyangkut pemenuhan harta kekayaan (taufir al mal), juga yang paling penting adalah distribusi kekayaan (tauzi al mal). Persoalan kedua ini yang menuntut peran negara dominan karena menyangkut konsep pemikiran. (Hal: 63)
Kebutuhan pokok hidup rakyat harus terpenuhi dengan pelayanan negara yang memudahkan petani untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Salah satunya, negara tidak akan membiarkan keberadaan lahan kosong, bahkan syariat Islam mengharamkan sewa lahan pertanian. Kebutuhan petani akan dicukupi dengan upaya kemudahan bantuan permodalan yang diberikan oleh Baitul Mal dan penyuluhan teknis pertanian dari ahlinya yang diupah oleh negara. Para petani yang selama ini menjadi tulang punggung pemenuhan pangan negara akan sejahtera kehidupannya karena hasil panennya akan dihargai dengan harga yang tinggi sesuai kualitas panennya. Penguasa dibolehkan impor, jika produk yang dibutuhkan rakyatnya tidak tersedia atau tidak mencukupi, itu pun melalui kerja sama antarpemerintah yang benar-benar memahami hubungan dagang dengan prinsip syariah.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]