Manuver Politik PAN, Partai Islam dalam Ruang Demokrasi

"Demokrasi tidak ada kawan dan lawan abadi, tetapi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Merapatnya PAN ke kubu koalisi makin menguntungkan rezim sekaligus melemahkan kubu oposisi."

Oleh. Merli Ummu Khila
(Pemerhati Kebijakan Publik)

NarasiPost.Com-Pandemi yang berkepanjangan harusnya menjadi warning bagi pemangku kekuasaan dan bahan introspeksi diri atas kebijakannya yang tidak kunjung menjadi solusi pandemi. Para elite yang berkuasa hendaknya mempunyai rasa bersalah dan beban moral atas ribuan nyawa rakyat korban pandemi. Lonjakan kasus makin mengkhawatirkan tidak lepas dari gagalnya rezim dalam penanganan pandemi yang setengah hati.

Namun fakta yang terjadi justru sangat mengiris hati. Jangankan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang sudah kolaps atau menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang terdampak, justru rakyat makin ditelantarkan. Rezim justru sibuk cari cara melanggengkan kekuasaan. Wacana untuk amandemen UUD 1945 agar bisa menjabat tiga periode makin digencarkan.

Seperti dikutip dari Tempo.co, Partai Amanat Nasional atau PAN secara terbuka mendeklarasikan diri menjadi partai koalisi pada pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Partai yang berslogan bela rakyat bela umat ini dikabarkan akan mendapat jatah menteri di kabinet.

Hal ini semakin membuktikan bahwa dalam demokrasi tidak ada kawan dan lawan abadi, tetapi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Merapatnya PAN ke kubu koalisi makin menguntungkan rezim sekaligus melemahkan kubu oposisi. Di tengah anjloknya elektabilitas rezim di mata rakyat, tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Desakan agar presiden mundur dari jabatan membuat rezim mulai ketakutan. Salah satu cara menangkal serangan ini tentu saja menggalang dukungan sebesar-besarnya melalui parpol oposisi.

Ambisi Rezim Panaskan Konstelasi Politik

Pergolakan di tubuh rezim mulai terbaca oleh publik. Munculnya baliho dari orang-orang di sekitar pemerintahan mengindikasikan ketidaksolidan kubu koalisi. Desakan Jokowi mundur membuat masing-masing partai koalisi bermanuver mencari posisi aman. Mencoba peruntungan mencalonkan diri seandainya Jokowi turun sebelum 2024.

Namun rezim tentu saja tidak tinggal diam. Ambisi tiga periode mungkin saja bisa terjadi melalui amandemen UUD 1945 jika DPR sudah didominasi partai koalisi. Bergabungnya PAN menjadi kemenangan rezim untuk menggolkan setiap kebijakan tanpa ada hambatan berarti. Tersisanya dua parpol yaitu PKS dan Demokrat dikubu oposisi membuat rezim semakin di atas angin.

Parpol, dari Uang untuk Uang

Sejatinya dalam demokrasi, partai politik baik partai politik Islam maupun non-Islam tidak ada perbedaan yang mencolok dalam interaksi antarpartai. Ilmuwan politik seperti Dan Slater dan Kuskridho Ambardi berpendapat bahwa politik Indonesia didominasi oleh "kartel" partai yang dicirikan oleh keinginan bersama untuk bagi-bagi jatah jabatan (spoils of office) alih-alih perbedaan ideologi atau kebijakan. Hal ini menyebabkan partai-partai sangat terbuka menjalin koalisi antara partai Islam dan non-Islam.

Hal ini karena tidak bisa dinilai secara jelas perbedaan ideologi masing-masing partai. Partai Islam yang mempunyai visi misi Islam pada faktanya tidak akan mampu konsisten memperjuangkan Islam. Kontestasi politik meniscayakan deal politik antara parpol, calon penguasa, dan pengusaha. Deal politik ini tentu saja merupakan kepentingan para kapital. Sebuah partai akan sulit bertahan tanpa ada kekuasaan. Keberlansungan hidup partai bergantung pada anggota yang berada dalam parlemen. Hal inilah yang membuat cita-cita partai politik Islam akan sulit untuk diwujudkan. Sehingga bisa dikatakan bahwa partai hanyalah kendaraan politik untuk mendapatkan kekuasaan.

Seperti dikutip dari Medcom.id (30/03/2019), Sejarawan, Anhar Gonggong, menilai bahwa ideologi partai Islam pada beberapa partai politik saat ini telah bergeser. Islam tidak lagi dijadikan sebagai rujukan tetapi hanya sebagai identitas. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menurutnya, bergesernya ideologi Islam menjadi identitas dilatarbelakangi oleh sistem politik yang memaksa calon-calon legislatif memiliki identitas tersendiri untuk mendekati pemilih. Latar belakang Islam mempunyai poin tersendiri bagi pemilih, maka tidak heran jika masa kampanye para calon mendadak berpenampilan alim.

Lalu masihkah umat menggantungkan harapan pada partai politik Islam? Faktanya tidak terlihat kontribusi nyata untuk kesejahteraan umat ketika mereka berada dalam parlemen.

Wallahu a'lam bishshawaab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Merli Ummu Khila Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Konsep Baku Khilafah Islamiyyah
Next
Polemik Mantan Narapidana Pedofilia Disambut Publik
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram