Meskipun nyata, namun masyarakat seakan menutup mata akan risiko yang mengintai. Bahkan, mirisnya bekerja di luar negeri masih menjadi primadona sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
Oleh. Mia Agustiani, A. Md.
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pegiat Literasi Muslimah Majalengka)
NarasiPost.Com-Masyarakat banyak yang menaruh minat untuk mengubah nasib sebagai pekerja migran. Tergiur oleh upah yang besar bekerja di negeri orang, meskipun mereka juga mengetahui bahwa risikonya luar biasa. Bahkan BLKLN (Balai Latihan Kerja Luar Negeri) Indonesia sekalipun bukanlah tempat yang ramah, banyak perlakuan kurang manusiawi yang menimpa para pekerja migran. Misalnya saja kondisi tempat penampungan yang kurang layak seperti rumah tahanan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mengatakan masih banyak Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) swasta yang memiliki asrama penampungan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) dengan kondisi yang jauh dari layak dan tidak manusiawi. Berdasarkan temuan Komnas Perempuan saat pemantauan di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat, terdapat asrama dengan fasilitas yang kurang layak, bekerja tanpa upah, dan pembatasan komunikasi serta kunjungan keluarga yang dialami calon pekerja migran.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan pada 2022, para calon pekerja migran terutama perempuan kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat di tempat-tempat penampungan tersebut (www.voaindonesia.com, 20/12/2023).
Meskipun nyata, namun masyarakat seakan menutup mata akan risiko yang mengintai. Bahkan, mirisnya bekerja di luar negeri masih menjadi primadona sebagai jalan keluar dari kemiskinan.
Fakta bahwa hari ini, perempuan bukan lagi tulang rusuk, namun sudah menjadi tulang punggung semakin mendorong berbondong-bondongnya perempuan menjadi tenaga kerja migran. Lebih parahnya kondisi ini malah dijadikan sumber devisa oleh negara. Padahal, dengan meninggalkan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, perempuan sudah keluar dari kodrat yang seharusnya.
Meski perempuan tidak wajib bekerja dan laki-laki yang harus bekerja karena tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Faktanya, justru lapangan pekerjaan lebih mudah bagi perempuan dibandingkan untuk laki-laki.
Harga sembako yang selalu meroket, biaya sekolah yang makin tidak terjangkau, dan biaya kesehatan yang mahal tidak memberikan pilihan lain bagi perempuan selain turut bekerja. Bahkan di salah satu kota pernah didapati KTP seorang laki-laki bekerja sebagai bapak rumah tangga. Bagai dunia terbalik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data pengangguran sebanyak 7,86 juta pada Agustus 2023 lalu. Pengangguran sudah merajalela di desa maupun di kota. Jangankan yang tidak berpendidikan, lulusan perguruan tinggi saja terancam menjadi pengangguran karena lowongan pekerjaan tidak sebanding dengan lulusan yang tamat sekolah. Hal ini makin menambah rumit kehidupan rakyat.
Di sisi lain pemerintah seakan abai akan kesejahteraan rakyat. Rakyat dibiarkan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh zalim perlakuan tersebut, padahal negeri ini memiliki kekayaan SDA yang sangat banyak. Namun mengingat pengelolaannya yang diserahkan kepada para pemilik modal, maka ketidakmampuan negara membiayai kebutuhan pokok rakyat adalah hal yang wajar terjadi.
Agar rakyat sejahtera, pemerintah seharusnya memfasilitasi kebutuhan pokok yang layak di dalam negeri untuk memenuhi hajat hidup publik. Bukan justru sebaliknya, pemerintah malah membuka keran tenaga kerja migran. Bahkan, peluang untuk tenaga migran perempuan justru lebih banyak.
Perempuan sebagai ummun warabatul bait seharusnya menjadi pendidik generasi. Bukan justru mengambil peran mubah seperti bekerja dan mengabaikan tugas utamanya.
Menempatkan perempuan pada posisi yang mulia dan sebagaimana mestinya akan sulit terlaksana apabila penerapan aturan Islam belum ditegakkan. Karena sistem kapitalisme seperti saat ini, perempuan hanya dijadikan tumbal penghasil devisa negara. Keuntungan dikeruk, namun tidak memberikan perlindungan terhadap mereka di luar negeri.
Perempuan dibiarkan berjuang sendiri menopang devisa negara dengan risiko yang tidak sebanding. Perempuan mengalami kekerasan, penipuan, pemerkosaan hingga perdagangan manusia, namun pemerintah tidak pernah memiliki solusi tuntas hingga kini.
Berbeda ketika sistem Islam diterapkan, masyarakat akan merasakan kesejahteraan. Bertolak belakang dengan sistem kapitalisme yang saat ini kita rasakan. Pengelolaan sumber kekayaan alam dengan sistem Islam menjadikan negara sebagai pengelola, tidak boleh ada campur tangan pihak swasta. Kemudian hasilnya akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, yaitu untuk pendidikan, kesehatan serta fasilitas umum lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."(HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Negara juga berkewajiban membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi laki-laki agar peran mereka berfungsi dengan semestinya. Ketika banyak kesempatan di dalam negeri maka keinginan untuk menjadi pekerja migran akan terlupakan. Apalagi perempuan yang tugas utamanya sebagai ummun warabatul bait dan membentuk generasi. Ketika laki-laki sudah memenuhi nafkah, maka perempuan pun tidak akan mengambil peran ganda.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Tampak ambisi kapitalisme dalam merusak peradaban Islam dengan merusak para muslimah. Kapitalisme memalingkan muslimah dari kodratnya, berburu cuan karena paham-paham yang menyedatkan seperti feminisme, liberalisme, dan liberalisme. Belum lagi tuntutan ekonomi yang mengimpit. Naudzubillah.
Barokallahu fiik, Mbak
Perempuan dipaksa jadi tulang punggung di alam kapitalisme. Mereka tak bisa menjalankan perannya sebagai ummun wa rabbatul bait
Sistem kapitalisme memang memaksa perempuan untuk ikut menjadi tulang punggung. Dan kebanyakan suami justru merelakan istrinya bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Benar-benar sistem yang tidak memanusiakan.
Sistem hari ini, merebut paksa peran perempuan dr fitrahnya
Miris perempuan yang harusnya di rumah mengurus rumah tangga dan menjadi pendidik generasi penerus harus pontang-panting cari uang demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan harus keluar negeri
Pahitnya hidup dalam alam sekularisme kapitalistik, kesejahteraan rakyat terkungkung dan wanita tidak dimuliakan. Rindunya sistem Islam kaffah
Sungguh miris yg terjadi saat ini, di mana perempuan justru menjadi tulang punggung bukan tulang rusuk. Ternyata semua itu akibat diterapkannya sistem buatan manusia yaitu demokrasi kapitalis sekuler, di mana sistem itu berdampak buruk bagi manusia itu sendiri. Sudah saatnya kembali pada sistem Islam, sistem terbaik yg pernah ada karena merupakan program Allah Swt. Kapan ya hal itu terjadi?
Persoalan pekerja migran ini memang bikin kita miris. Jauh2 mengejar dolar, sampai kehormatan dan nyawa terancam, di tanah air kerap kali rumah tangga dan masa depan anak tergadaikan.
Perempuan dibajak dan dijadikan tulang punggung, untuk dieksploitasi. Begitulah hidup di alam kapitalisme.
Potensi masalah muncul ketika istri meninggalkan suami sampai pergi ke luar negeri. Layanan dan kebutuhan yang tidak terpenuhi membuka peluang hadirnya orang ke tiga. Belum lagi pendidikan yang terabaikan. Pejuang devisa julukannya. Padahal, negara mestinya malu dengan fakta ini. Kaya tapi rakyatnya jauh dari sejahtera.
Ironi di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Perempuan kini seakan harus terjun ke lapangan agar dapur tetap mengepul.