"Kenaikan harga kebutuhan dasar ini bukan sekadar karena permintaan naik dan terjadi kelangkaan dalam artian yang sebenarnya. Akan tetapi ini tak lepas dari minimnya peran negara dalam mengendalikan harga. Semua kebijakan pasar diserahkan sepenuhnya pada pelaku pasar yang didominasi oleh kartel."
Oleh. Merli Ummu Khila
(Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-"Merry Crisis and a Happy New Fear" atau "Selamat Krisis dan Selamat Ketakutan Baru". sebuah slogan yang seolah mewakili perasaan rakyat menyambut pergantian tahun 2022. Slogan yang muncul sebagai grafiti di Athena selama Kerusuhan Sipil 2008 di Yunani ini cukup relevan pada kondisi saat ini.
Tahun baru, harapan baru. Idealnya seperti itu, tapi faktanya justru hopeless. Tahun baru, harga sembako baru, bukan naik tetapi berganti harga. Bayangkan saja, harga minyak kemasan yang sebelumnya kisaran Rp28.000 ganti harga menjadi Rp42.000. Begitu juga dengan harga cabai, telur dan komoditas pangan yang lain. Bagaimana bisa survive memasuki tahun baru dengan harapan baru?
Tidak hanya sembako, kebutuhan dasar lainnya seperti gas elpiji nonsubsidi pun mengalami kenaikan hingga Rp25.000 di tingkat pengecer untuk gas 12 kg. Lalu ada lagi rencana penghapusan premium yang akhirnya diralat pemerintah bahwa batal menghapus BBM jenis Premium, tetapi mengubah aturan terkait pendistribusian dan juga harga jualnya.
Kenaikan harga kebutuhan pokok melonjak tak terkendali memasuki libur Nataru. Dan ini menjadi semacam tradisi yang terus terulang. Harga-harga naik jelang Lebaran, Natal dan tahun baru. Celakanya pemerintah seolah tutup mata dan berjanji akan stabil setelah awal tahun. Namun, faktanya hingga hari ini belum ada komoditi yang mengalami penurunan harga.
Kartel, Persekongkolan Produsen Mendominasi Pasar
Kenaikan harga kebutuhan dasar ini bukan sekadar karena permintaan naik dan terjadi kelangkaan dalam artian yang sebenarnya. Akan tetapi ini tak lepas dari minimnya peran negara dalam mengendalikan harga. Semua kebijakan pasar diserahkan sepenuhnya pada pelaku pasar yang didominasi oleh kartel. Keberadaan kartel ini telah mendominasi pasar di seluruh sektor dan mereka bebas menentukan harga sesuka hati.
Sistem ekonomi kapitalis tidak lepas dari praktik kartel. Meski dilarang, namun keberadaannya sudah menjadi rahasia umum. Terjadi persekongkolan antara perusahaan untuk menetapkan harga sesuai dengan prinsip ekonomi kapitalis, yaitu profit oriented. Para produsen leluasa mengatur harga dan membatasi suplai dan persaingan sesuai keinginan mereka yaitu meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Hal ini dikuatkan oleh pendapat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Maman Setiawan. Beliau mengungkapkan bahwa keberadaan kartel berdampak besar pada kenaikan harga suatu produk di pasar. Kartel ini menguasai berbagai sektor dan memonopoli harga.(Laman Unpad, 14/9/2021).
Walhasil, mahalnya harga bahan pangan bukan hanya karena kelangkaan barang, akan tetapi buruknya distribusi barang dari produsen ke konsumen. Harga menjadi pengendali distribusi barang, sehingga hargalah yang menentukan siapa saja yang mampu membeli. Bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas, mungkin kenaikan harga tidak terlalu dirasakan. Akan tetapi bagi rakyat jelata menjadi suatu hal yang memusingkan. Karena mau tidak mau kebutuhan akan barang tersebut yang menuntut pemenuhannya.
Lalu siapa yang paling dirugikan dalam hal ini? tentu saja rakyat yang semakin tercekik. Kebutuhan pokok melonjak tak terkendali, sedangkan pengahasilan masih jauh dari cukup. Bagaimana tidak, pemenuhan kebutuhan dasar dibebankan pada individu rakyat. Tidak sekadar pangan, sandang, dan papan tetapi rakyat masih harus menyiapkan biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi.
Harapan Baru, Mengulang Abad Kejayaan
Benarkah sudah tidak ada harapan hidup sejahtera? Dengan pergantian dari rezim ke rezim bahkan di usia kemerdekaan yang mendekati satu abad, rasanya terlalu naif jika masih berharap akan ada harapan baru. Hal ini karena memang akar permasalahan yang sebenarnya adalah kesalahan negara dalam mengadopsi sistem bernegara.
Dalam sistem Islam , politik pangan dijalankan dalam rangka mengurusi hajat hidup individu rakyat. Negara berkewajiban memastikan ketersediaan pangan rakyat dan menjamin pendistribusiannya bebas dari praktik kartel. Politik pangan tidak dijalankan untuk pertumbuhan ekonomi, sehingga produksi pangan tidak semata berorientasi pada keuntungan.
Negara mempunyai kekuasaan penuh dalam mengatur produksi tanpa intervensi asing, serta tidak mengenal privatisasi maupun liberalisasi pangan. Dalam produksi, negara mengatur pendistribusian barang yang cepat tanpa ada praktik penimbunan atau persekongkolan antara produsen dan distributor. Negara juga mendorong dan memfasilitasi pertanian rakyat untuk swasembada pangan. Sehingga rakyat selain sebagai konsumen juga bisa menjadi pelaku ekonomi sebagai sumber pendapatan.
Namun, sistem ekonomi Islam ini tidak bisa diterapkan secara parsial ataupun bertahap. Harus ada perubahan fundamental dalam tata kelola negara secara keseluruhan karena setiap aspek akan saling terkoneksi dan tidak akan bisa diterapkan hanya sebagian aspek saja. Sistem pemerintahan ini sudah pernah diterapkan, dan terbukti telah menyejahterakan penduduk sepertiga bumi hingga belasan abad lamanya.
Sudah saatnya kita menyongsong harapan baru dengan tatanan kehidupan Islam. Mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin, yaitu Islam yang memberikan rahmat seluruh alam. Bersama menegakkan syariat-Nya di bawah sebuah institusi pelaksana hukum syarak, yaitu Daulah Khilafah Islamiah 'ala manhaj nubuwwah, Sebagaimana firman allah ta’ala dalam Surat Al-'A`rāf ayat 96 : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Wallahu a'lam bishshawaab[]