Nampaknya publik sudah kapok dengan berbagai catatan ketidakadilan hukum di negeri ini.
Oleh. Tri Wahyuni
NarasiPost.Com-Tiga puluh tiga hari lamanya sejak 7 Desember 2020, Komnas HAM melakukan investigasi hukum terkait terbunuhnya 6 Laskar FPI oleh anggota kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek, akhirnya memunculkan kesimpulan. Melalui keterangan persnya, Komnas HAM mengumumkan lewat akun tweeternya @KomnasHAM, pada Jum'at 8 Januari 2021, pukul 17.42 WIB.
Keterangan Pers tersebut telah diunggah dan bisa di akses bebas oleh publik. Maka kemudian, berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan, Tim Penyelidik Komnas HAM merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
- Peristiwa tewasnya 4 orang Laskar FPI merupakan kategori dari pelanggaran HAM. Oleh karenanya, Komnas HAM merekomendasikan kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan.
- Mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil avanza hitam B 1739 PWQ dan avanza silver B 1278 KJD.
- Mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh Laskar FPI.
- Meminta proses penegakan hukum,akuntabel, objektif, dan transparan sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia.
Kita bisa lihat apa yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tidaklah begitu menarik bagi publik. Sebab, kesimpulan dan rekomendasi tersebut telah ada di benak publik sejak awal. Publik telah lebih dulu 'membedahnya' lewat akun-akun media sosial mereka, membuat webinar-webinar untuk mengurainya. Bahkan ada yang langsung mencoba turun ke tempat peristiwa guna mencari keterangan-keterangan, meski akhirnya dipersoalkan oleh aparat.
Sampai tulisan ini diturunkan, cuitan tersebut mendapat 1.480 like, 658 retweet dan 93 komentar. Berbagai komentar yang muncul rata-rata memberi dukungan penuh atas sikap Komnas HAM sekaligus semacam memberi warning agar Komnas HAM bisa benar-benar berani bertindak jujur, adil, transparan, dan independen.
Nampaknya publik sudah kapok dengan berbagai catatan ketidakadilan hukum di negeri ini. Hal itu tampak dari berbagi komentar yang mereka berikan. Mulai dari menyinggung soal pengejaran tersangka kasus korupsi Harun Masiku yang tak kunjung jelas, peristiwa terbunuhnya 700 petugas KPPS pada saat perhelatan pemilu presiden dan wakil presiden tahun lalu, belum lagi beberapa yang tewas saat demo protes hasil pemilu yang dinilai curang, pencabutan BHP HTI yang dinilai diskriminatif, penangkapan sejumlah aktivis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat, dan lainnya.
Tak ubah, penulispun memiliki pandangan yang serupa. Mendukung penuh sekaligus meragukan. Apakah rekomendasi Komnas HAM bisa benar-benar mendapat jawaban yang terang kemudian hukum tidak ditegakkan secara klaim sepihak? Apakah penegak hukum benar-benar bisa jujur,adil tanpa pengaruh tekanan penguasa? apakah akhirnya dikalahkan di pengadilan meski sudah memenuhi unsur pidana lalu publik disuruh untuk mengadukan ke MK? Lalu dengan santai MK menolaknya? Atau kasus ini akan menguap begitu saja?
Rasanya sangat sulit untuk menjawab tidak. Pasalnya, kita tak boleh lupa, bahwa karut-marutnya penegakan hukum hari ini tidak satu atau dua, tidak pula berkaitan dengan oknum saja. Akan tetapi, bermula dari asas yang dianut dan dijalankan penguasa hari ini. Apalagi kalau bukan sistem sekuler demokrasi.
Kita pahami bahwa tabiat sistem sekulerisme demokrasi yang diterapkan di negeri ini, suka tidak suka telah dan memang hanya akan melahirkan manusia-manusia pragmatis dan oportunis. Tak terkecuali para penguasa dan penegak hukum.
Hukum sekuler demokrasi telah meminggirkan peran agama (red. Islam) dalam mengatur urusan publik. Hukum dikembalikan pada manusia. Benar salah, terpuji tercela semua ukurannya adalah akal dan perasaan manusia. Padahal namanya manusia, pasti memiliki kekurangan, keterbatasan, dan kelemahan. Jika hukum dikembalikan kepada mereka maka hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan, ketidakadilan, serta kezaliman. Maka sudah seharusnya kita kembali pada hukum Allah Ta'ala, Dialah satu-satunya Dzat Yang Maha Mengetahui kebutuhan hamba-hamba-Nya.
Kita bisa cermati bagaimana kehidupan bernegara dalam naungan Islam, yakni dalam aturan Allah menitikberatkan dalam dua hal. Pertama, syarat kepemimpinan mengharuskan individu yang bertakwa. Kedua, sandaran yang menjadi kebijakan yang dikeluarkan mesti merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Dua hal tersebut tidak ada dalam iklim sekuler demokrasi. Tak heran jika orang liberal, pembela LGBT, menjalin kemesraan dengan asing dan aseng yang jelas telah menguasai SDA bisa jadi penguasa. Maka jika dua hal tadi menjadi acuan kita, jelas akan menutup cela bagi penguasa yang berkuasa hanya demi mengejar harta dan tahta, mereguk materi. Belum lagi penegak hukum yang ada, mereka yang merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, misal saja akan memberlakukan hukum qishos (bunuh) bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja. Tanpa memandang latar belakang, dan jabatannya.
Keadaan ini sudah pernah ada selama ribuan tahun lamanya. Apa yang kita kenal dengan Khilafah Islamiyyah. Persoalannya, apakah kita mau mengambil nya kembali?[]