"Solusi-solusi yang diberikan pemerintah dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan hanyalah sebatas solusi tambal sulam yang dapat memunculkan masalah baru. Perempuan gagal dilindungi dalam sistem sekuler kapitalis ini."
Oleh. Nur Hajrah MS
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.Com-Aku adalah perempuan. Saat aku masih kecil mereka menyebutku anak perempuan, ada juga yang memanggilku gadis kecil. Di saat aku memasuki usia remaja panggilan masa kecilku itu pun mulai pudar, menjadi perempuan remaja atau gadis remaja.
Usia remaja, usia di mana aku telah memasuki usia balig, memasuki masa pubertas, usia di mana orang tuaku, abangku bahkan seluruh rumpun keluarga sering berwanti-wanti,
“Sekolahnya yang benar ya”
“Masih sekolah jangan pacaran dulu”
“Pulang sekolah jangan kelayapan”
Dan masih banyak nasihat-nasihat lainnya.
Waktu terus berlalu, masa remaja telah aku lalui. Kini aku telah menjadi perempuan dewasa, selain itu ada juga yang memanggilku wanita karena aku telah menjadi perempuan dewasa.
Perempuan dewasa adalah masa di mana banyak panggilan baru tersemat untukku dan statusku pun mulai berubah. Istri, ibu, bibi, bahkan ada yang memanggilku nenek yang menandakan aku memasuki usia perempuan renta atau telah menjadi perempuan renta.
Berdasarkan situs Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI.web.id), aku (perempuan) diartikan orang/manusia yang memiliki p**i (alat reproduksi kewanitaan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, menyusui. Arti namaku itu pun diikuti dengan 9 kata konotasi, yaitu:
Perempuan:
- Geladak (pelacur)
- – Jahat 1. Perempuan yang buruk kelakuannya (suka menipu dan sebagainya)
- Jahat 2. Perempuan nakal
- Jalan (pelacur)
- – Jalang 1. Perempuan nakal dan liar suka melacurkan diri.
- Jalang 2. Pelacur, wanita tuna susila.
- Jangak. Perempuan cabul (buruk kelakuannya)
- Lacur. Pelacur, wanita tuna susila.
- Lecah. Pelacur.
- Nakal. Perempuan (wanita) tuna susila, pelacur, sundal.
- Simpanan. Istri gelap.
Dari segi arti dan konotasi yang disematkan bagi namaku di dalam KBBI ini sebenarnya membuatku sedih dan bertanya, apakah arti dan konotasi yang diberikan bagi namaku di dalam KBBI ini harus dicantumkan? Perempuan baik, perempuan bijak atau perempuan tangguh misalnya. Sehingga wajar, jika aliansi-aliansi perempuan atau wanita yang ada di negeri ini pernah mengkritik dan marah atas arti namaku yang terdapat di dalam KBBI tersebut. Seolah-olah menggambarkan begitu rendahnya para kaum hawa.
Berbicara tentang kaum hawa yang kerap kali direndahkan, berdasarkan sejarah yang ada, mulai dari peradaban kuno sampai era modern saat ini, aku tidak dapat mengelak bahwa memang benar adanya bahwa kami masih direndahkan, hanya sebagian kecil perempuan diperlakukan layaknya seorang ratu. Pada zaman peradaban kuno sampai saat manusia mengenal yang namanya negara, kaumku yang tidak memiliki garis keturunan bangsawan, hanya dianggap sebagai budak yang tiada harga diri. Kami terlahir sebagai manusia, namun kala itu tidak ada tempat bagi kami perempuan di muka bumi ini, agar kami pun dipandang sebagai manusia yang berhak hidup di dunia ini. Kami begitu direndahkan, bahkan dianggap aib, kami harus langsung dibunuh jika kami terlahir sebagai perempuan.
Di masa-masa itu, walaupun di antara kami terlahir dari darah bangsawan sekalipun, kami tak ubahnya bagai burung dalam sangkar yang hanya dipelihara untuk kesenangan semata. Perempuan darah bangsawan pun dianggap tak ubahnya seperti budak, selalu dituntut kewajibannya tanpa diberikan haknya apalagi untuk dihargai. Kami dirawat bukan atas dasar kasih sayang, tetapi hanya untuk menyenangkan para penguasa, hanya menjadi tempat pelampiasan nafsu bejat mereka di zaman itu.
Waktu silih berganti, peradaban terus berganti generasi. Tibalah di suatu masa beberapa dari kami bangkit ingin mengakhiri semua kekejaman ini. Menyerukan bahwa kami perempuan yang memiliki harga diri, tidak ingin diinjak-injak harkat dan martabatnya, kami juga bisa memimpin, kami juga bisa bekerja, kami tidak ingin terus dikekang dan terkurung, kami ingin bebas tidak lagi dianggap sebagai budak karena kami juga adalah makhluk yang berhak hidup di muka bumi ini, tanpa ada penindasan dan kekerasan.
Kesetaraan gender, itulah poin utama yang diserukan oleh beberapa golongan yang dibentuk kaumku. Bahkan saat ini telah ada Undang-Undang, yang katanya bisa melindungi kami dari segala bentuk kekerasan. Lantas, apakah seruan kesetaraan gender ini berhasil melindungiku dan semua saudara perempuanku baik mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa juga yang telah renta? Apakah kampanye atau seruan kesetaraan gender dan UU yang telah dibuat dan disahkan mampu menjadi solusi pasti, dalam mengatasi setiap persoalan yang kami hadapi? Terutama dalam hal keamanan serta perlindungan dari semua tindak kejahatan dan kekerasan? Apakah telah terjamin keamananku ke mana pun aku melangkah bersama saudara-saudara perempuanku di dunia ini, terkhususnya di ibu pertiwi ini?
Jika mereka menjawab 'ya', sepertinya aku mulai ragu terhadap jawaban yang mereka berikan, bahwa kami dijamin, terlindungi dan aman di negeri ini, karena pada faktanya walaupun kampanye kesetaraan gender telah disuarakan, walaupun ada hukum atau UU yang katanya mampu melindungi kami, tetapi tetap saja, kekerasan terhadap perempuan baik itu kekerasan secara fisik, psikis dan seksual masih saja sering terjadi di negeri ini. Buktinya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen-PPPA) mencatat per November 2021 terdapat 12,566 kasus kekerasan terhadap anak dan 8.800 kasus kekerasan terhadap perempuan. Menurut Kemen-PPPA kekerasan terhadap anak dan perempuan setiap tahunnya terus bertambah (cnnindonesia.com, 09/12/2021).
Dengan jumlah kasus sedemikian banyaknya, bagaimana mungkin aku bisa tenang dan tidak khawatir lagi waswas. Hampir setiap hari aku mendengar berita kekerasan terhadap anak dan terhadap saudaraku, bahkan tidak sedikit kasus aku harus menerima kenyataan, bahwa saudaraku harus pergi untuk selamanya akibat kekerasan yang dialaminya. Hukum atau Undang-Undang yang berlaku di negeri ini, yang katanya untuk melindungiku bersama saudara-saudaraku, justru terkadang bersifat tidak adil terhadap kami. Di saat kami memohon pertolongan, perlindungan serta keadilan, justru malah kami sebagai korban yang dijatuhi hukuman. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah nasib yang dialami beberapa saudaraku di negeri ini. Kami terluka, menangis menahan sakit, tetapi justru tempat kami meminta pertolongan, perlindungan serta keadilan malah memperparah luka kami. Apakah ini UU yang diharapkan akan melindungi kami dari berbagai bentuk kekerasan? Tetapi mengapa malah semakin menyakiti kami?
Awalnya aku berpikir hanya mereka yang tidak memiliki perasaan yang dapat melakukan kekerasan terhadap perempuan, seperti yang dialami saudaraku Rosalinda Gea, seorang pedagang sayur di Pasar Gambir Tembung, Sumatera Utara. Dia dianiaya empat preman pasar hanya karena gerobaknya menghalangi jalan empat preman tersebut. Akibat pukulan para preman tersebut saudaraku Rosalinda sampai harus dirawat di RS. Atas kekerasan yang dialaminya tentu saja ia melaporkannya kepada pihak berwajib, namun sayangnya, bukan pertolongan, perlindungan serta keadilan yang ia dapatkan. Di saat ia masih menahan rasa sakit akibat pukulan para preman, justru malah ia yang ditetapkan sebagai tersangka (suara.com, 08/10/2021).
Aku pun berkata dalam hati. Miris, sungguh keputusan tersebut sangat menyakiti hatiku dan semua saudaraku. Tempat kami mengadu berhati batu.
Tetapi ternyata pemikiranku salah, justru ada kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh orang yang mereka cintai, seperti yang dialami saudaraku Silvi (Semarang-Jawa Tengah) yang sedang mengandung delapan bulan. Hanya lantaran ia sering menyuruh kekasihnya untuk mengambilkan air minum dan barang-barang lainnya serta sering meminta untuk diantar ke toilet. Nahas, saudaraku Silvi tewas dibunuh secara brutal oleh kekasihnya sendiri (tribunnews.com, 23/08/2021).
Selain saudaraku Silvi, ada juga saudaraku Novia (Mojokerto-Jawa Timur) yang sampai hari ini namanya masih hangat dan heboh diberitakan publik dan jagat maya. Novia ditemukan tewas bunuh diri di pusara ayahnya. Novia diberitakan bunuh diri karena depresi, kekasinya yang merupakan seorang anggota Polisi, tega tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang ia lakukan terhadap Novia. Ia bersama keluarganya malah menyuruh Novia untuk menggugurkan kandungannya. Semenjak saat itu, Novia bagai daging tak bernyawa karena depresi dan memilih mengakhiri hidupnya (kompas.com, 05/12/2021).
Jika Silvi dan Novia mengalami kekerasan dari pacarnya sendiri, lain halnya kasus kekerasan yang dialami saudaraku Valency (Karawang-Jawa Barat). Kasusnya pun sempat viral di jagat maya. Hanya karena ia memarahi suaminya yang sering mabuk dan ia melaporkan suaminya ke pihak berwajib atas kasus penelantaran anak dan istri. Justru malah Valency yang dituntut satu tahun penjara dengan gugatan telah melakukan KDRT secara psikis terhadap suaminya (merdeka.com, 19/11/2021).
Kembali aku berkata dalam hati. Miris, sungguh keputusan tersebut sangat menyakiti hatiku dan semua saudaraku. Tempat kami mangadu berhati batu.
Sempat aku berpikir, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan terkhusus kekerasan seksual hanya dialami perempuan dewasa, dan kembali ternyata pemikiranku ini salah. Ternyata ada juga kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur. Mirisnya, dilakukan oleh keluarganya sendiri. Seperti yang dialami dua saudara kecil kami di Padang, Sumatera Barat. Mereka menjadi korban pemerkosaan dan pencabulan oleh keluarga dan tetangga mereka sendiri. Kakek, paman dan kedua kakaknya serta tetangganya, begitu tega melakukan perbuatan keji terhadap keluarganya sendiri, terhadap gadis kecil yang seharusnya mereka jaga dan lindungi (detiknews.com 18/11/2021).
Bahkan, di tempat yang selama ini aku pikir kekerasan seksual tidak mungkin akan terjadi, tempat di mana adik-adik kami menuntut ilmu dan memperdalam ilmu agama, di salah satu pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, justru di tempat itu adik-adik kami yang masih di bawah umur menerima perlakuan keji sejak tahun 2016. Berdasarkan hasil laporan yang ada 12 orang adik kami menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan pimpinan sekaligus guru di pesantren tersebut. Beberapa dari mereka bahkan telah melahirkan dan sedang mengandung (kompas.com, 09/12/2021).
Miris, hati ini hanya bisa menangis melihat adik-adik kami yang dihancurkan mimpi dan cita-citanya oleh seorang pedofil. Atas perbuatannya guru tersebut terancam hukuman 20 tahun penjara dan hukum kebiri. Pertanyaannya sekarang apakah hukum kebiri ini akan memberikan efek jera terhadap pedofil lainnya?
Dan masih banyak lagi kasus kekerasan lainnya terhadap perempuan yang terjadi di negeri ini. Tidak peduli apakah dia bayi, anak-anak, remaja, dewasa bahkan perempuan renta bisa menjadi korban tindak kekerasan. Tidak ada lagi tempat aman bagi kami. Sekolah, kampus, tempat kerja, rumah ibadah, bahkan di rumah sendiri telah terkontaminasi tindak kekerasan baik kekerasan secara fisik, psikis dan seksual. Tempat kami mengadu pun tidak bisa menjamin keamanan kami, bahkan terkadang bersifat tidak adil terhadap kami. Lantas, ke mana lagi kami harus mencari tempat yang aman? Di mana lagi kami harus mengadu? Jika pada kenyataannya, kampanye kesetaraan gender dan UU kekerasan terhadap perempuan dan anak pun ternyata tidak mampu melindungi kami, justru yang ada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin bertambah setiap tahunnya.
Beberapa saudaraku yang membentuk kelompok-kelompok perempuan dengan berbagai nama namun satu tujuan, memandang pihak laki-laki adalah dalang utama tersudutnya kaum perempuan di negeri ini bahkan di dunia, sehingga kasus kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi. Mereka menganggap pihak laki-laki melihat perempuan itu makhluk yang lemah, pekerjaan rumah tangga adalah tugas utama perempuan. Untuk itulah saudara-saudaraku yang ada dalam kelompok tersebut tidak pernah berhenti menyerukan kesetaraan gender antara pria dan wanita.
Tetapi kembali aku melihat kondisi dan fakta yang ada, bahwa telah ada ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan. Walaupun kampanye kesetaraan gender telah dijalankan, namun tetap saja kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi dan jumlah kasusnya justru semakin bertambah.
Ada yang salah dan perlu diperbaiki dalam negeri ini, bahkan harus dihapuskan dari negeri ini. Ya, dia adalah sistem pemerintahan yang diemban negeri ini. Sistem yang menganut paham sekuler liberal, di mana rakyatnya dibolehkan hidup dalam kebebasan tanpa ada yang mengatur, di mana setiap aspek kehidupan mereka bahkan bernegara dijauhkan dari agama. Karena mereka beranggapan agama hanyalah untuk urusan ritual ibadah secara pribadi, bukan untuk mengatur aspek kehidupan manusia baik itu sosial, pendidikan, perekonomian bahkan dalam urusan bernegara.
Sehingga wajar, jika dalam beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan didapati kasus pelaku kekerasan baik fisik, psikis dan seksual bahkan berujung pada kasus pembunuhan dilakukan oleh pacar korban sendiri. Padahal, sebagai negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, tentulah sudah tahu bahwa pacaran adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama Islam, karena pacaran adalah perbuatan yang mendekatkan diri pada zina. Perbuatan yang sangat dilarang Allah Swt. Firman Allah yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Selain itu sanksi atau hukuman yang berlaku di negeri ini pun tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan, sehingga kasus yang sama terus berulang kali terjadi. Bahkan, karena hukumnya bersifat tidak adil, di beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan, kerap kali korban berujung pada kekecewaan dan malah menjadi terpidana.
Mungkinkah aku bersama saudara-saudaraku harus menerima kenyataan ini dan pasrah bahwa tidak ada yang bisa melindungiku bersama saudara-saudaraku?
Namun, di saat aku dan saudara-saudaraku mulai pasrah dan menerima kenyataan bahwa dunia ini terlalu kejam bagi kami, tidak ada tempat untuk kami merasa aman, tidak ada siapa pun yang mampu melindungi kami. Solusi-solusi yang diberikan pemerintah dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan hanyalah sebatas solusi tambal sulam yang dapat memunculkan masalah baru. Pasrah menerima keadaan, itulah yang bisa kami lakukan.
Hingga di suatu hari ada yang memberitahu kami bahwa, pernah ada di suatu masa jangankan kaum perempuan, seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini pun aman lagi terlindungi olehnya. Bahkan karenanya, saudara kami pada masa Arab jahiliah terbebas dari sistem perbudakan yang keji dan sadis ketika itu. Wanita begitu dijaga kehormatannya, tidak ada yang berani berlaku keji terhadap perempuan, karena baginya perempuan adalah makhluk yang mulia yang perlu dijaga dan dilindungi kehormatannya.
Informasi ini bagaikan angin segar bagiku dan saudara-saudaraku. Ada harapan dan peluang yang besar bahwa kami akan terbebas dari tindak kekerasan, kami juga pasti akan merasakan aman lagi terlindungi dalam naungannya. Aku bersama saudara-saudaraku pun memutuskan untuk tidak lagi pasrah menerima keadaan yang terjadi saat ini, kami harus berjuang agar dia segera kembali menyelamatkan kami.
Dia adalah Khilafah. Sistem pemerintahan Islam yang dirahmati Allah Swt., sistem pemerintahan yang begitu menjaga kehormatan kaum muslimahnya bahkan siap menyatakan perang terhadap kaum kafir yang mengusik kehormatan muslimahnya.
Aku bahkan sampai terkagum-kagum dan tercengang mendengar kisah yang diceritakan oleh Syaikh Shafiyurrahman dalam Ar-Rahiq Al-Makthum, di mana ada seorang wanita Arab yang datang ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa. Saat ia duduk di dekat pengrajin perhiasan, tanpa ia sadari ternyata ujung jilbabnya diikat oleh pengrajin perhiasan tersebut. Akibatnya, saat ia berdiri tersingkaplah auratnya. Sontak ia berteriak dan teriakannya didengar oleh seorang pemuda Islam yang ada di pasar itu juga. Pemuda itu menolongnya dan membunuh pengrajin perhiasan tersebut. Orang-orang Yahudi pun membalas perbuatan pemuda Islam itu dan membunuhnya. Berita ini sampai kepada Rasulullah saw. bersama pasukannya, Rasulullah saw. mengepung pemukiman Bani Qainuqa begitu ketat tanpa celah. Setelah 15 hari dikepung, Bani Qainuqa menyerah. Hampir saja seluruh kaum pria Bani Qainuqa dihukum mati Rasulullah saw. Karena Abdullah bin Ubay memohon kepada Rasulullah saw. untuk memaafkan mereka dan Rasulullah pun memaafkan mereka, dengan syarat Bani Qainuqa harus pergi sejauh mungkin dari Madinah.
Sungguh luar biasa Islam melindungi kehormatan kami. Setiap sanksi atau hukuman yang diberikan bagi para pelaku kejahatan, begitu tegas diterapkan dan tentu saja memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan dan yang pastinya hukumnya bersifat adil. Karena sumber hukumnya berasal dari Zat yang Mahaaadil lagi Mahasempurna. Tidak seperti hukum saat ini, bersumber dari akal yang terbatas, sehingga tidak heran jika kekecewaan dan ketidakadilan merupakan hal yang lumrah terjadi bagi para korban tindak kekerasan pada sistem pemerintahan saat ini.
Khilafah adalah jawaban atas permasalahan yang kami hadapi. Aku bersama saudara-saudaraku akan dijamin keamanannya. Ke mana pun kami melangkah tidak ada laki-laki yang berani mengusik kami. Kami pun bisa menyadari begitu berharganya kami dalam Islam, sehingga untuk mengerjakan setiap syariat agama bukanlah suatu hal yang berat untuk kami kerjakan, karena itu semua untuk melindungi kami dan sebagai tanda bakti kami kepada Sang Ilahi.
Kami berharap negeri ini pun segera menegakkan syariat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah aku bersama saudara-saudaraku akan sejahtera, aman lagi terlindungi, bahkan seluruh makhluk di muka bumi ini pun merasakan kebahagiaan tinggal di dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bish-shawab[]
Photo : Unplash