Sesungguhnya kehidupan manusia berada pada dua keadaan. Keadaan dimana ia bisa memilih dan menentukan kehidupannya. Ada keadaan yang manusia tidak bisa memilih untuk kehidupannya. Itulah ketetapan Allah. Kita hanya bisa bersabar dan menjalani semua dengan keikhlasan.
Oleh. Hesty Noviastuty
NarasiPost.Com-Telah satu jam lebih aku berada di ruang bersalin. Detak jarum jam terdengar sama dengan detak jantungku. Ya Allah mudahkanlah dan ampuni hamba yang telah lalai ini. Kuusap setetes air mata yang tiba-tiba kembali jatuh. Ruang bersalin yang masih sepi seolah-olah ingin mencengkeramku. Tatapan dindingnya terasa dingin. Entah sampai kapan dokter akan datang membebaskan aku dari ruangan ini.
“Bu Tami, sudah siap, ya? Itu dokternya sudah datang,” suara perawat tiba-tiba menyadarkanku dari rasa sakit ini. Jam di dinding menunjukkan pukul lima sore.
“Oke, Bu Tami, kita mulai ya, santai saja. Tidak lama, kok,” Dokter anastesi yang telah berumur itu dengan sigap menyuntikkan obat di tanganku. Sedangkan dokter kandungan telah berada di ujung tempat tidurku.
“Dok, saya jadi pusing.”
“iya tidak apa-apa, tidur saja ya, Bu,” dan akupun tertidur dengan lelapnya.
**
Namaku Tami Novia. Seorang ibu tiga anak berusia hampir setengah abad. Aku seorang guru yang selama pandemi ini mengajar dari rumah. Di saat pandemi dengan segala keprihatinan, membawa keberkahan tersendiri buatku. Tak kusangka Allah memberikan hadiah terindah. Setelah sebulan tidak kedatangan tamu bulanan, tespek menunjukkan garis dua.
Antara kaget dan bahagia. Di usia yang tidak lagi muda, ternyata Allah masih memberikan kepercayaan. Suamiku pun langsung sujud syukur. Begitu banyak rencana dan angan-angan dengan kehadiran bayi.
Setelah sebulan aku memeriksakan diri ke dokter kandungan. Senyum dan keterkejutan tersirat di wajah para perawat dan dokter.
“Amazing! Ibu usia 46 tahun hamil?” dokter cantik berkulit putih itu tersenyum menyambutku.
“Iya, Dokter. Alhamdulillah. Saya juga tidak menyangka, Dok. Saya pikir saya mau menoupose, ternyata hamil,” ujarku tersenyum pada dokter Cyntia.
“Oke, Bu. Tetapi kemungkinan besar nanti saat melahirkan dengan operasi.”
“In syaa Allah, yang terbaik, Dok,” aku hanya bisa tersenyum.
Kodrat wanita adalah mengandung dan melahirkan. Menjadi seorang ibu adalah idaman tiap wanita yang menyadari kodratnya. Meskipun saat mengandung dan melahirkan butuh pengorbanan jiwa dan raga. Tak jarang banyak wanita yang meregang nyawa saat melahirkan. Itulah mengapa Allah memberikan pahala yang banyak bagi wanita yang mengandung dan melahirkan anak dari suaminya.
Bahkan depresi tidak jarang menghampiri. Banyak wanita setelah melahirkan mengalami depresi. Ada yang sampai membunuh bayinya tanpa dia sadari. Semua itu berawal dari dukungan suami dan keluarga. Para wanita yang mengalami depresi merasa sendirian menanggung beban. Saat dia mengandung, melahirkan dan mengurus bayi yang baru lahir. Selain kekuatan iman dan mental, dukungan keluarga memang menjadi faktor terpenting saat wanita menjalani kodratnya.
Aku bersyukur memiliki suami yang selalu mendukung. Kehidupan berkeluarga yang sangat aku syukuri. Hidup di kehidupan yang memuja dunia, seringkali membuat rumah tangga menjadi goyah. Tuntutan materi sehingga melupakan sisi imateri. Banyak suami yang tidak memerdulikan bahkan melupakan kasih sayang terhadap istri. Di saat istri butuh dukungan terhadap kodrat yang dijalaninya.
Aku menjalani kehamilan ini dengan kesibukan rumah tangga. Sampai suatu pagi, terlihat tanda-tanda yang membuat hatiku tergetar. Perutku terasa sakit yang luar biasa. Suamiku hanya bisa memijit kakiku dan akhirnya membawaku ke rumah sakit.
Di sinilah aku sekarang. Di ruang bersalin setelah selesai kuretase. Hatiku hancur melihat janin yang ada di wadah kaca. Suamiku terus menguatkan. Inilah yang terbaik yang Allah berikan. Aku hanya bisa terdiam. Ada perasaan menyesal menghancurkan segala asa. Astagfirullah, kenapa aku merasa tidak menerima qodho dariNya, Sang Penentu kehidupan,
“Bu Tami, sudah tidak pusing lagi?” suster menyadarkan aku dari pikiran yang mengelana.
“Iya, Suster Alhamdulillah.”
“Ibu pindah ke ruangan, ya?” Suster itu membantuku bangun dan naik ke kursi roda. Ia membawaku ke ruangan rawat inap.
“ Terima kasih, ya Suster,”
“ Iya, Bu,” suster itu pun tersenyum dan membantuku naik ke tempat tidur.
“Terima kasih, Suster,” terdengar suara suamiku yang mengikutiku dari belakang.
“Tidak usah bersedih, Allah tak akan memberikan cobaan yang kita tidak kuat menanggungnya,” Mas Arik mendekatiku dan memegang lembut tanganku memberikan kekuatan. Aku hanya mengangguk pasrah.
“Iya, Mas. Mas sudah sholat?” tanyaku.
“Sudah. Kamu mau makan? Dari pagi kan, kamu sudah puasa,” diambilnya tempat nasi yang telah disediakan. Plastik penutup kubuka dan nasi itupun aku makan perlahan.
“ Anak-anak bagaimana?” tiba-tiba aku teringat dua anakku yang sendirian di rumah.
“Tidak usah kawatir. Ibu dan Anita tadi sudah tiba kok di rumah,” Ibu mertua dan adik iparku memang selalu bisa diandalkan. Alhamdulillah, di saat banyak istri bermasalah dengan mertua, aku merasa sebagai menantu yang paling beruntung. Ibu mertuaku memang tinggal di kota yang sama dengan keluarga kami. Sedangkan orang tuaku tinggal di kota berbeda. Otomatis setiap keluargaku mengalami kesulitan, mertua dan iparku yang pertama menolongku.
**
“Hore, Ibu sudah pulang,” anak bungsuku yang berusia delapan tahun langsung memelukku. Meskipun sudah berusia delapan tahun, Danish masih sering bersikap manja, terhadapku.
“Iya, Alhamdulillah. Mas Danish anak baik, nurut sama Eyang, Kan?” kupeluk anakku untuk menghilangkan kegundahan. Danish mengangguk dan mencium pipiku.
“ Mas Danish tidak jadi Mas lagi. Adik Mas Danish diambil Allah, karena Allah sayang dengan adik. Nggak apa-apa kan?” kucoba memberikan pengertian setelah dia tahu kalau adiknya telah tidak ada.
“Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga bisa punya adik lagi kan Bu?” aku hanya tersenyum mendengar celotehnya.
“ Kata Dokter, Ibu sudah tidak boleh lagi punya adik lagi,”
“Itu kan kata Dokter, Bu. Kalau kata Allah Ibu bisa punya dede lagi, emangnya Dokter tetap bilang tidak boleh?” mata Danish memandangku polos.
Seketika kata-kata Danish menyadarkanku dari rasa galau. Anakku yang manja ternyata menunjukkan Allah Yang Maha Kuasa. Tak ada kejadian di dunia terjadi tanpa kehendakNya. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagi umatNya. Tak perlu alasan untuk menyesal terhadap apa yang telah terjadi, jika kita menyakini ketetapan yang datang dari Allah. Iman memang bisa membuat manusia kuat menjalani apapun yang terjadi dalam kehidupan. Tergantung bagaimana manusia itu menyikapi takdir yang terjadi pada dirinya.
Sesungguhnya kehidupan manusia berada pada dua keadaan. Keadaan dimana ia bisa memilih dan menentukan kehidupannya. Ada keadaan yang manusia tidak bisa memilih untuk kehidupannya. Itulah ketetapan Allah. Kita hanya bisa bersabar dan menjalani semua dengan keikhlasan. Sebab sikap kitalah yang akan dinilai oleh Allah apakah menjadi pahala ataukah dosa.
“Terima kasih, Nak. Mas Danish sudah ingatkan Ibu,” kucium kepalanya lembut yang masih berada di pelukanku.
*
Sekarang tiga bulan berlalu, aku kembali hamil. Allah masih mempercayakan amanah ini. Di awal tahun baru, aku hanya menjalani apa yang menjadi takdirku. Tidak ada resolusi tahun baru menghebohkan seperti sebelumnya. Di usia menjelang setengah abad, Allah menitipkan kembali buah cinta kami. Hanya Allah yang tahu bagaimana akhirnya. Semoga semua menjadi indah, hanya itu yang menjadi harapanku. Harapan di tahun baru selalu mendapatkan keberkahan hidup untuk seluruh keluarga. Semoga Allah mengangkat pandemi ini dan menjadikan kehidupan selalu bercahaya seperti semula. Karena hanya pada Allahlah kita bisa menggantungkan harapan.[]