Di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa kitalah yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek. Ya, berhidung pesek itu kita. Bangsa kita ini belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin Islam.
Oleh: Sitha Soehaimi
NarasiPost.Com-Sudah tujuh tahun yang lalu, ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di Masjidil Haram, pergi bersama belahan jiwa. Kami tawaf sambil bergandeng tangan, merapal doa-doa, berharap melangit bersama putaran. Kami berdoa untuk orang tua, anak-anak, saudara-saudara kami, juga buat tegaknya Khilafah, institusi Islam sedunia yang kami rindu.
Sesekali aku bertemu dan berbincang dengan saudara-saudara dari negeri lain. Kami saling melindungi ketika tawaf berdesakan, saling memberi tempat shalat dengan saudara dari Turki, Pakistan, Maroko, Nigeria, Malaysia dan Thailand. Kami juga saling menyapa saudara dari Suriah, berbincang dengan saudara dari Irak. Bagaimana kabar mereka semua?
Hari ini aku kembali di sana, di Masjidil Haram. Langit masih gemerlap, cerah berbintang. Pukul dua dini hari, Subuh belum datang. Dengan memakai pakaian dan kerudung putih, aku duduk di pinggiran tangga, di tempat sa’i.
Orang-orang berjalan dan berlari-lari kecil. Para lelaki memakai pakaian ihram, sedangkan perempuan mengenakan jilbab dan kerudung berwarna warni. Suasananya ramai dan hangat, padahal pagi belum menjelang.
Di bukit Shafa dan Marwah, kami berjalan bolak- balik tujuh kali sejauh 405 meter. Tidak lagi sama dengan zaman Rasulullah dahulu, seluruh areanya sudah tertutup. AC-pun dibuat dua lintasan berlawanan arah dengan lantai berwarna kecoklatan yang dingin. Di langit-langit ada lampu hijau sebagai batas Bathnul Waadid, yakni batas jamaah laki-laki disunnahkan berlari-lari kecil. Beberapa sisinya ada tempat air Zamzam.
Di tengah lalu-lalang itu, aku memperhatikan satu-persatu para perempuan yang ada di sekelilingku, baik yang sedang berjalan maupun beristirahat duduk di pinggiran.
“Masyaallah, saudara-saudaraku ini! Sungguh, Allah karuniakan kalian wajah-wajah yang menawan, baik yang berkulit gelap atau pun yang putih cerah. Semua berhidung mancung.”
Aku teringat tulisan di sebuah media, tentang seorang ulama Palestina. Ketika hadir di masjid Jogokariyan, Yogya, Syaikh Dr. Abu Bakr Al ’Awaidah, Wakil Ketua Rabithah’Ulama Palestina. Beliau mengatakan bahwa di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa kitalah yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek. Ya, berhidung pesek itu kita. Bangsa kita ini belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin Islam.
Beliau melanjutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang dari arah timur dengan bendera-bendera hitam. Beliau berharap, yang dimaksud Rasulullah adalah kita, muslim nusantara. Beliau sudah melihat tanda-tandanya. Namun, beliau dan kaum muslim di negeri lain harus bersabar, menanti muslim nusantara layak memimpin.
Masyaalah! Mereka bersabar menunggu kita. Namun, yang ditunggu ini tidak menyadarinya, bahkan mungkin tidak tahu kalau sedang ditunggu, sibuk dengan urusan dunia yang tak berkesudahan.
Urgh! Aku jadi cemburu. Marah. Jika ingat saudara muslimah yang menawan ini, terdengar beritanya dilecehkan, diperkosa, direndahkan kehormatannya.
Tiba-tiba melintas di depanku seorang anak kecil. Aku teringat Aisyah, anakku paling kecil. Usianya baru sembilan tahun.
“Mama engga ikut tawaf?” tanya Aisyah, sebelum berangkat ke Masjidil Haram.
“Engga, Sayang. Mama haid.”
Tamu bulanan yang akhir-akhir ini hadir sesuka hati, tiba-tiba muncul tiga hari yang lalu, tepat ketika pesawat kami mendarat di Jeddah.
“Allah ingin kita datang lagi sepertinya”, suamiku memeluk dan menghiburku ketika aku ceritakan padanya sambil berurai airmata.
Masyaallah! Ia mengingatkanku untuk berprasangka baik kepada-Nya.
Aku kembali meluruskan niat. Bukankah tujuanku memang untuk membersamai anak-anak ibadah umroh?
“Nanti kita umroh sendiri, ya!”
Ia berjanji menemaniku umroh tanpa rombongan, setelah haidku berhenti di hari-hari terakhir kami di Makkah. Yah, oleh karena itu, tadi aku memisahkan diri.
Rombongan umroh seluruhnya masuk ke Masjidil Haram, sementara aku sendirian berjalan ke arah tempat sa'i. Aisyah tak mau berangkat jika aku tak ikut. Ia sempat tak mau melepas pegangan tangannya.
“Tak apa, Aisyah. Tadi kan, ustaznya sudah menyampaikan arah. Insyaallah mama tidak akan tersesat. Kita bertemu lagi di tempat sa’i, oke?”
Ia mengangguk, walaupun matanya tidak mau.
“Kan ada Papa, Kak Zainab dan Kak Umar?” Ia kembali mengangguk. Kali ini Zainab segera menariknya ke dalam barisan.
Aku berjalan sendiri melawati lorong-lorong. Tak banyak orang yang kutemui. Sampailah aku di tempat sa’i. Aku sisir pinggirannya, mencari tempat yang strategis, agar bisa melihat ke arah pintu ash-Shafa, jalan yang dilewati orang-orang dari tempat tawaf, untuk melanjutkan sa’i.
Mendadak serombongan perempuan lewat dan berhenti tepat di depanku. Beberapa memilih duduk di sekitarku. Aku pikir, satu jamaah karena mereka saling menitip barang-barang.
Perhatianku terarah pada salah satu perempuan, cantik berwajah bulat. Tubuhnya tinggi besar, berkulit putih bersih, berkerudung hitam lebar dan jilbab merah tua. Tak kuduga, ia bertanya kepada perempuan yang sedari tadi duduk di sebelahku, seorang ibu berperawakan tinggi, kurus, cantik, berkulit putih, memakai jilbab dan berkerudung putih. Kulihat, di pangkuannya ada anak laki-laki kecil berumur sekitar lima tahun. Anak itu berpakaian ihram. Ia tertidur pulas.
“Hal heya ‘ukhtik?”tanya perempuan berjilbab merah tadi sambil menunjukku. Ia menanyakan apakah aku saudaranya. Aku segera tersenyum kepada keduanya. Sejujurnya aku tidak begitu peduli dengan pertanyaan ini. Ternyata ibu di sebelahku menjawab,
“Na’am, Ukhty. Heya al’ukht fi al’iimaan.”
Ternyata wanita itu membenarkannya. Ia mengakuiku sebagai saudara seiman, sambil tersenyum tulus menatapku.
“Ya Allah!” pekikku dalam hati.
Jawaban itu mengejutkanku. Ada rasa hangat di dada yang menjalar ke wajah dan mataku. Aku tahan airmata agar tidak jatuh. Ingin sekali aku memeluknya. Tetapi aku baru saja bertemu dengannya beberapa saat yang lalu.
Kami sempat saling berkenalan. Fatimah namanya. Ia dari Irak. Ingin aku bertanya lebih banyak, bagaimana kondisi Irak saat ini? Dakwah Islam di sana seperti apa? Perasaan saling mencintai karena Allah itu muncul begitu saja. Benarlah kita ini satu tubuh. Namun, sayang pembicaraan kami terpaksa tidak berlanjut. Dari arah lintasan Marwah, seorang laki-laki berpakaian ihram menghampiri kami. Rupanya, ia adalah suami Fatimah. Lelaki itu segera mengambil anak mereka yang tertidur . Ternyata mereka bergantian melakukan sa’i sambil menjaga anak.
Aku pun segera berdiri, pindah tempat. Tak elok duduk bersama laki-laki yang bukan mahrom. Sekali lagi, aku melihat ke arah pintu ash-Shafa, berharap rombongan kami sudah selesai tawaf.
Alhamdulillah! Aku melihat lambaian tangan Aisyah dan dua orang kakaknya. Syal merah hati tanda pengenal rombongan kami tampak di leher mereka.
Ah, kenangan indah yang tak terlupakan, walau hanya beberapa saat. Semoga Allah pertemukan kembali aku dengan Fatimah. Semoga tak ada sekat di antara negeri kami, yakni ketika Khilafah telah tegak berdiri. Amin.[]