Allah memerintahkan kepada setiap anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Aku sangat ingat akan hadis Rasul yang menempatkan ibu di posisi yang mulia, yakni dengan menyebut "Ibumu… Ibumu.. Ibumu" sebanyak tiga kali sebelum akhirnya menyebut, "Ayahmu." pada saat seseorang bertanya perihal siapa orang yang paling layak dihormati di dunia ini kepada Rasulullah saw.
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
NarasiPost.Com-Seorang ibu hanya bisa meratap, tatkala ia sudah sangat jarang dikunjungi oleh anak-anaknya. Kelima anaknya telah berkeluarga dan tinggal di berbagai kota yang berbeda. Bahkan sang ibu sudah sangat lama tak mendengar suara anak-anaknya kandungnya, meski hanya lewat sambungan telepon. Wajah tuanya memperlihatkan sebuah kesedihan yang amat nyata tatkala beliau bercerita kepadaku waktu itu. Aku hanya mampu mendengarkannya, menampung segala perih yang mengalir lewat deret kata yang keluar dari lisannya. Ada rindu yang menyeruak ketika beliau menyebut nama anak-anaknya. Kasihan, si ibu hanya tinggal bersama seorang asisten rumah tangga saja di rumahnya yang cukup besar.
Tentu saja ketidakhadiran anak-anaknya di sisinya, membuat kesepian menyergap hari-harinya. Lebih-lebih setelah suaminya berpulang kepada Sang Maha Pencipta hampir dua tahun silam, kesepian kian terasa. Akhirnya si ibu berusaha mengikuti setiap pengajian yang diadakan di wilayah tempat tinggalnya, termasuk undangan pengajian umum dariku. Kutahu beliau ingin membunuh kesepiannya dengan aktif ikut pengajian di mana-mana.
Namun, aku tak habis pikir dengan kisahnya. Ke mana naluri kasih sayang yang telah Allah karuniakan di dalam diri anak-anaknya terhadap ibunya sendiri? Menguapkah semuanya bersama sederet kesibukan dan kebahagiaan dengan keluarga mereka masing-masing?
Aku sungguh terenyuh, benar-benar sistem kapitalisme mengikis birrul walidain seorang anak. Si ibu kenalanku tadi masih beruntung karena memiliki harta yang berlimpah, sehingga yang ia butuhkan dari anak-anaknya sebetulnya hanyalah limpahan kasih sayang dan perhatian. Bagaimana dengan para ibu di luar sana yang kesulitan ekonomi, namun diabaikan oleh anak-anaknya? Jangankan bantuan materi, perhatian dan kasih sayang saja kerap diabaikan. Ini realita pahit yang memang terpampang nyata dalam kehidupan hari ini. Miris! Bahkan yang lebih menyedihkan banyak orang tua yang dianggap beban oleh anak-anaknya sendiri, sehingga banyak lansia yang 'dibuang' oleh anak-anaknya sendiri ke panti jompo. Ya Allah….memprihatinkan!
Padahal dalam Islam, keberadaan orang tua khususnya ibu sangat dimuliakan. Allah memerintahkan kepada setiap anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Aku sangat ingat akan hadis Rasul yang menempatkan ibu di posisi yang mulia, yakni dengan menyebut "Ibumu… Ibumu.. Ibumu" sebanyak tiga kali sebelum akhirnya menyebut, "Ayahmu." pada saat seseorang bertanya perihal siapa orang yang paling layak dihormati di dunia ini kepada Rasulullah saw.
Dengan adanya hadis itu, aku semakin memahami betapa wajibnya berbakti kepada kedua orang tua, terutama ibu. Dan aku lebih memahami lagi tatkala aku menjadi seorang ibu. Ketika mengandung anak pertamaku, aku masih kuliah semester 6. Aku bertekad tetap melanjutkan studiku hingga lulus, sebab aku sudah berjanji kepada kedua orang tuaku saat seorang lelaki melamarku di saat kuliahku belum selesai. Di masa awal hamil, aku harus tetap berkutat dengan seabrek tugas kuliah. Meski sakit kepala kerap datang mendera, tetapi berbagai aktivitas harus kulakukan. Belum lagi, mengkaji Islam rutin yang mesti juga kulakukan di luar waktu kuliah. Namun, aku berusaha tak mengeluh, kunikmati saja, mungkin inilah salah satu tantangan menjadi seorang ibu, pikirku.
Saat melahirkan, aku terpaksa bergelut dengan kecewa. Betapa tidak, semua usahaku untuk dapat melahirkan normal seakan sia-sia. Sudah lebih dari tanggal HPL, gelombang cinta tak kunjung datang. Aku gugup tatkala dokter menyarankanku untuk segera menjalani operasi ceasar. Ah, mimpiku beranak banyak pupus sudah, sebab yang kutahu jika melahirkan secara ceasar maka jumlah kelahiran anak akan dibatasi. Akhirnya aku menjalani persalinan pertamaku lewat operasi ceasar tepat ba'da magrib di tanggal 18 Juni 2010 silam. Lumayan penuh drama. Mulai dari suami yang berurai air mata mengantarkanku sampai depan pintu ruang operasi, hingga aku yang muntah-muntah sesaat setelah dokter anastesi menyuntik bagian tulang belakangku. Entah mengapa, kurasakan mual yang sangat dahsyat kala itu.
Di masa menyusui, pasti hampir setiap ibu mengalami roller coaster emosi yang tak menentu. Di saat raga lelah dan sakit pasca melahirkan, kita harus tetap terjaga menunggui si bayi yang meminta ASI dalam jangka waktu yang tak menentu. Belum lagi harus sigap mengganti popoknya saat mengompol. Begitu pula yang kualami. Rasanya aku hampir menyerah andai saja tak menancap iman di dada. Ah, sungguh luar biasa perjalanan menjadi seorang ibu. Berat dan benar-benar menuntut sebuah keikhlasan.
Maka, alangkah keji anak-anak yang tak memperlakukan ibunya secara baik. Padahal dahulu ketika kecil, mereka dilimpahi kasih sayang yang tak bertepi. Namun, mengapa setelah dewasa mereka tak membalasnya dengan kasih sayang yang serupa? Mirisnya, banyak anak yang justru tega menghardik orang tuanya sendiri. Naudzubillah…
Sayangnya sistem kapitalisme hari ini menjadi rahim bagi lahirnya anak-anak durhaka. Berkat himpitan ekonomi yang menjepit, mereka meninggalkan kewajiban berbakti kepada orang tuanya. Mereka lebih memilih membahagiakan keluarga kecilnya, ketimbang ibu yang melahirkannya dengan bertaruh nyawa dan ayah yang bermandikan peluh setiap hari demi membuat mereka tumbuh dewasa. Ah, ibu, cintamu berbalas sembilu. Hanya dengan naungan sistem Islam, sirnalah segala pilu bagi kaum ibu.[]