Ini kisah tentang Gauri. Seorang gadis yang tetap bertahan mengajarkan Al-Qur’an di tengah konflik agama. Di bawah langit Karnataka yang membara dan berselimut kelam, Gauri tetap berpegang pada harapan dan keyakinan akan tempat aman yang dijanjikan Allah.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Shivamogga, Karnataka, 17 September
16.30 IST1
Gauri telah mengakhiri sesi mengajar membaca Al-Qur’an. Sisa waktu yang ada akan diisinya dengan cerita kepahlawanan. Anak-anak itu harus tahu dan bangga, di tubuh mereka mengalir darah syuhada.
Mereka duduk melingkar. Gauri membaca satu per satu wajah tanpa dosa di hadapannya. Semuanya redup. Dia membenci raut itu. Dia membenci siapa pun yang telah dengan tega merenggut kebahagiaan anak-anak ini.
“Kak Gauri,” sela Nadu dengan suara lirih. Bocah yang kedua gigi serinya tanggal itu menghampiri Gauri. Bersila di hadapannya.
Gadis berkulit sawo matang itu menyejajarkan wajahnya dengan Nadu, “Apa Nadu ingin hadiahnya diganti?” Hari ini Nadu berhasil menghafal surah Al-Ma’un. Gauri menjanjikannya sebatang coklat.
“Kak, hadiahnya buat Malhotra saja. Be-sok, besok keluarga Nadu akan kembali ke Kolkata,” ucap bocah kecil berambut ikal dengan wajah tertunduk.
Gauri menepuk-nepuk bahunya, tersenyum lembut, lalu mengangkat dagu Nadu. Ada air menggenang di pelupuk matanya. Dia mengusapnya, sebelum air itu jatuh.
“Sama, Kak. Ini hari terakhir Urmi belajar ngaji. Besok-besok Urmi tidak bisa bertemu Kakak lagi. Tidak bisa bertemu teman-teman di sini.” Urmita dari tempat duduknya berucap dengan suara bergetar. Pasti itu tidak mudah baginya. Gadis kecil yang duduk di kelas dua itu mengusap sudut matanya dengan ujung kerudung kuningnya. Ia lalu berlari, menghambur dalam pelukan Gauri.
“Urmi mau pindah ke mana?” tanya Gauri. Dia menukar istilah mengungsi dengan pindah. Kata mengungsi terlalu menyakitkan baginya.
“Urmi enggak tahu, Kak. Baba hanya bilang, akan pindah ke tempat yang aman. Tempat yang di sana bisa salat, bisa ngaji, bisa mendengar azan dengan jelas, dan bisa pakai kerudung dengan bebas.”
Gauri mengusap-usap punggung Urmita dengan hati gerimis, tetapi tidak dengan matanya. Di hadapan mereka, Gauri harus kuat. Tidak boleh menampakkan kesedihan. Kelima anak lainnya merapat, lalu berpelukan membentuk lingkaran. Wajah-wajah mereka makin meredup.
“Kak, apa ada tempat seperti itu?” tanya Urmita mengurai pelukan, memecah kesunyian yang melingkupi mereka.
“Ada. Tempat seperti itu ada. Insyaallah.” Gauri menarik kedua sudut bibirnya hingga kedua ujung matanya berkerut. Adakah pengungsian senyaman rumah?
“Beneran ada ya?” Redupnya berganti binar. “Di mana tempat itu, Kak?” tanyanya dengan nada lebih ringan.
“Kakak tidak tahu namanya.” Gauri menggelengkan kepala. “Tempat yang dipilih Baba Urmi nanti, insyaallah di sana tempat yang aman itu. ”
Hanya itu yang bisa Gauri sebutkan. Dia tidak tahu. Apakah masih tersisa tempat aman itu?
**
3 September
Gauri berangkat tidur lebih awal. Energinya seolah terkuras habis setelah mengajari anak-anak membaca Al-Qur’an di Masjid Anjuman Jama. Tidak biasanya anak-anak yang berjumlah 40 orang itu sangat susah diatur. Masjid tua yang belum selesai dibangun, bertahun-tahun hanya berupa kerangka dengan dinding papan kayu lapis, menjelma gelanggang bermain. Begitu selesai mengaji di hadapannya atau di depan si kembar, Lajvati dan Rishi, mereka berlari-larian ke sana kemari.
Sebentar-sebentar ada yang berteriak, menangis, lalu tertawa terpingkal-pingkal. Dilarang satunya, satunya lagi yang mengganggu. Masjid lantai dua gaduh luar biasa. Semuanya berlomba mencari perhatian. Cara terakhir yang ditempuh, setelah satu per satu mendapat giliran mengaji, semuanya diminta beristigfar 100 kali, ditambah tugas menuliskan sayidul istigfar sebanyak 15 kali di rumah. Berharap mereka tidak mengulanginya lagi.
Tengah malam Gauri terbangun. Udara terasa pengap. Di luar pun sangat gaduh.
“Ada apa? Bukannya pagi masih lama?” batinnya. Dia meraih ponsel. Benar saja. Malam bahkan belum masuk sepertiga terakhirnya.
Setengah sadar ia bangkit menuju jendela. Dari balik vitrase, cahaya merah menyala terbias jelas. Tergesa ia menguak tirai tipis itu. Gauri mengerjap-ngerjapkan matanya, memperjelas apa yang dilihatnya. Asap pekat membubung. Jilatan lidah api memerahkan langit hitam. Suasana begitu mencekam. Jantungnya berdegup kencang. Dia tahu asal pijaran merah itu. Dia sangat tahu, ke arah mana jendelanya menghadap.
Gemuruh amuk massa bernada kasar dan cacian kemarahan bercampur raungan pilu minta tolong memenuhi gendang telinganya. Suara-suara makin keras terdengar tatkala jendelanya terkuak sempurna. Lamat-lamat, dia mendengar, “Di sini tanah kelahiran kami!”
“Tolong! Panggil pemadam!”
“Di sini bumi Allah. Kalian tidak berhak mengusir kami.”
“Di sini rumah kami!”
Kembali ditatapnya dengan nanar asal asap hitam dan pijaran yang terus memerahkan langit malam. Inginnya dia mengingkari fakta pahit itu, tapi tidak bisa. Listrik mendadak padam. Telepon dan internet tidak bisa digunakan.
Sebakda subuh, ayah dan kakaknya datang setelah semalam berada di antara pemilik suara-suara riuh itu. Dari keduanya Gauri tahu, kerusuhan semalam mensyahidkan sang imam bersama dua orang jemaah. Jenazahnya ditemukan hangus di ruangan belakang mimbar. Gauri hafal. Ruangan itu digunakan untuk menyimpan sound system. Sementara itu, tiga korban lainnya sempat menyelamatkan diri. Mereka mengalami luka bakar cukup parah. Kesaksian dari salah satu korban selamat, saat terbangun, api mulai membesar. Namun, ruangan di belakang mimbar sudah berselimut kobaran merah.
“Pihak sebelah memfitnah kita sedang merencanakan penyerangan saat Ganesh Visarjan2, padahal semalam, imam dan takmir rapat persiapan Maulid Nabi. Setelah itu mereka tidur karena berencana salat tahajud berjemaah,” jelas ayahnya di ruang tengah.
Selalu dan selalu begitu. Fitnahan, narasi sesat, dan ujaran kebencian menjadi senjata mereka menyerang muslim yang minoritas di negeri ini.
Tidak ada tempat aman di India.
Muslim di Uttar Pradesh hidupnya selalu dicekam ketakutan sejak pemberlakuan UU Kewarganegaraan yang mendiskreditkan mereka. Di Himachal Pradesh, umat Islam diusir serupa binatang dan rumah-rumahnya diratakan dengan tanah. Di Jammu dan Kashmir, tidak ada kosakata damai di sana. Demikian pula di Haryana, Distrik Nuh terus membara. Di Gujarat dan Assam, berita penyiksaan seperti belati menusuk hati.
Masih hangat dalam ingatannya, di Distrik Barpeta, Assam, seorang pemuda dibunuh setelah diikat di sebuah tiang dan disiksa berhari-hari karena tidak mau mengucap, Jai Shri Ram. Bukankah kisah ini mirip dengan yang dialami Amar bin Yasir dan Bilal bin Rabah?
Gadis dengan mata sembab itu kembali ke kamarnya. Dari balik jendelanya, dia tidak bisa lagi menatap kubah merah bata dengan empat TOA di atasnya. Kini, tingkapnya hanya menyisakan pemandangan atap-atap rumah tetangga.
Gauri tidak tahu. Sebuah kezaliman luar biasa sedang terjadi di luar kamarnya. Gunungan reruntuhan sisa semalam dilahap dengan buas oleh dua buldoser yang didatangkan rezim. Dalam sekejap, Masjid Anjuman Jama terhapus dari peta lanskap Karnataka.
**
17 September
17.00 IST
“Kakak tidak pindah, ‘kan?” tanya Suhana.
Gauri tersadar dari lamunan panjangnya.
“Apa Kakak akan meninggalkan Shivamogga ini?” lanjutnya dengan wajah memelas.
Gadis berkerudung hitam itu menggeleng, “Insyaallah. Kakak tetap akan di sini, mengajar Al-Qur’an meski muridnya cuma satu.” Gauri merentangkan kedua tangannya. Ketujuh bocah kecil itu menghambur dalam rengkuhannya.
“Sekarang kita berdoa sama-sama. Kalian sudah hafal doa Nabi Nuh saat di atas kapal? Saat hujan deras berhari-hari, lalu terjadi banjir mengerikan? Waktu itu Nabi Nuh tidak tahu di mana Allah akan melabuhkan kapalnya. Beliau kemudian berdoa sembari mengangkat kedua tangannya.” Gauri memeragakannya.
Gerakannya diikuti oleh muridnya yang tersisa, menangkupkan kedua tangan seraya berdoa, “Ya Allah, Robbi anzilni munzalan mubarakan wa anta khairul munzilin.”
Sejak malam mencekam itu, ayat ke-29 surah Al-Mu’minun menjadi zikirnya. Dengan keyakinan sama, Allah akan memberi mereka sebaik-baik tempat yang diberkahi karena Allah adalah sebaik-baik pemberi tempat.
“Adik-adik, hari ini, hari terakhir kita bersama Nadu dan Urmi. Ayo, kita sama-sama mengingat bagaimana cara mereka tersenyum dan tertawa. Kalian ingat-ingat kebaikannya dan maafkan kesalahannya. Sebagaimana Kakak hanya mengingat kesalehan, dan kelucuan kalian, juga teman-teman kalian yang telah tersebar ke seluruh India atau bumi ini. Maafkan kesalahan Kakak. Kakak pasti akan selalu merindukan kalian berdua. Yuk, sekarang semuanya tersenyum!”
“Bagus!” puji Gauri, “Sekarang tertawa!” Gauri merekam baik-baik dalam ingatannya momen sore ini.
Suara terpingkal dan terbahak yang lama tidak didengar Gauri kembali menggema. “Stop! Stop! Tidak ahsan tertawa berkepanjangan.”
Serentak mereka menghentikan tawa.
“Sebelum berakhir, Kakak akan bercerita tentang Asy Syahid Muhammad bin Qasim. Siapa beliau? Muhammad bin Qasim adalah pembebas negeri ini. Waktu membebaskan India pada tahun 90 Hijriah, usianya masih 17 tahun. Pasukan yang dipimpinnya sangat banyak, yakni 20 ribu orang. Waktu itu, butuh 2 tahun perjalanan dari Madinah ke India sebab sepanjang perjalanan, beliau membuka wilayah-wilayah kaum kafir dan mengajak penduduknya masuk Islam. Salah satunya di Sindh. Kalo sekarang namanya Pakistan. Di sana terjadi pertempuran dahsyat. Kota Sindh yang dipimpin oleh seorang brahmana pun takluk. Penduduk Sindh beramai-ramai masuk Islam. Perlahan, kekuasaan Islam meluas, India sejahtera.” Gauri menjeda cerita, memberi ruang bagi muridnya mencerna.
“Jadi, ada darah pahlawan Islam di tubuh kalian. Pesan Kakak, di mana saja kalian kelak bermukim, jangan tinggalkan Islam! Jangan lupa salat lima waktu dan titip doa untuk seluruh muslim di dunia.”
“Siap, Kak, Allahu Akbar!”
Pletak! Suara benda jatuh di atas atap menghentikan gema takbir di gudang berukuran 8 x 12 meter itu. Sejenak kemudian, terdengar ledakan dari atas dan sebagian atap dari asbes itu runtuh. Anak-anak menjerit histeris. Bau bubuk mesiu menguar. Detik berikutnya, ledakan petasan itu disusul oleh lemparan batu ke arah kaca ventilasi di belakang mereka. Prang! Jendela kecil itu berlubang sepenuhnya. Sama sekali tanpa kaca.
Alhamdulillah, batu dan pecahan kacanya tidak mengenai anak-anak.
“Allahu ma’ana. Allahu ma’ana. Yakinlah, Allah bersama kita. Allah tidak akan meninggalkan kita. Orang-orang jahat itu hanya menakut-nakuti kita. Sekarang tenang ya!”
“Tapi takut, Kak,” lirih mereka diiringi tangisan.
“Ayo, gantian lari ke pintu!” perintah Gauri. Tidak satu pun yang bergerak. Mereka memegangi abaya Gauri hingga ia kesulitan melangkah. Mereka menangis ketakutan.
Berikutnya, sebuah batu api segenggaman tangan orang dewasa jatuh tidak jauh dari mereka. Anak-anak kembali histeris. Batu berbalut kain dengan api menyala-nyala itu dilempar melalui jendela ventilasi, melalap tikar yang beberapa saat lalu diduduki. Bau bensin menyeruak. Batu biasa dan batu berbalut api berjatuhan di depan dan di belakangnya.
Luput dari antisipasinya, sebuah batu hitam meluncur mengenai pelipisnya. Darah mengucur, ditekannya dengan telapak tangannya. Tangisan anak-anak makin keras. Air mata Gauri pun jatuh. Ia berjalan merunduk menghindari lemparan batu. Anak-anak dimintanya untuk melindungi kepalanya dengan kedua tangan bertaut di belakang kepala. Sekali lagi ia meminta anak-anak berlari menuju pintu.
“Ya Allah, ini aku Gauri. Hamba-Mu yang fakir ilmu. Hamba-Mu yang bertahan di kota ini demi mengajarkan Al-Qur’an. Kitab yang Engkau turunkan kepada kekasih-Mu, Baginda Muhammad saw., kitab penunjuk jalan kami. Engkau tahu, Ya Rabb, setiap detik di Shimoga3 mencekam. Karnataka menjadi sangat menakutkan. Namun, aku memilih bertahan demi mengajarkannya. Aku tidak ingin generasi sepeninggalku kelak buta Al-Qur’an. Aku tidak ingin mereka kelak menukar akidahnya dengan sepiring nasi. Ya Rabb, jika dalam penilaian-Mu aku melakukan semua ini benar-benar karena-Mu, tolonglah kami agar selamat dari api-api ini.” Suara Gauri terdengar memilukan.
“Ya Allah, ini aku, Nadu. Aku pernah memberikan seluruh uang tabunganku untuk muslim di Gaza. Jika dalam pengetahuan-Mu, aku ikhlas karena-Mu, tolong kami agar selamat keluar dari gudang ini.” Nadu ikut bertawasul dengan amal salehnya.
“Ya Allah, ini aku, Iliyya. Aku pernah menyelamatkan seekor kucing korban tabrak lari. Kupelihara ia hingga sekarang menjadi kawanku. Kalau dalam pengetahuan-Mu, aku ikhlas menolong kucing itu, tolong agar luka Kak Gauri tidak terus berdarah. Tolong aku dan teman-teman lekas keluar dari sini dengan selamat,” pintanya dengan terbata-bata. Bocah 5 tahun itu mengungkapkan kebaikannya sambil terus menangis.
“Hasbiyallah. Laa ilaha illa huwa, alaihi tawakkaltu wahuwa rabbul ‘arsyil adzim4,” zikir Gauri.
Qadarullah. Api-api padam, menyisakan onggokan batu hitam. Lemparan bebatuan juga berhenti. Laa haula walaa quwwata illa billah.
Anak-anak berhamburan menuju pintu. Tatkala Nadu hendak meraih gagangnya, pelat besi itu didorong kasar dari luar. Anak-anak kembali menjerit ketakutan.
“Gauri!” Suara lelaki yang sangat dikenalnya, “Bagaimana anak-anak? Baba melihat bola api terbang menuju gudang ini.”
“Baba!” sahutnya lega, “Alhamdulillah. Tolong! Tolong, anak-anak! Mereka ketakutan.”
**
19 September
09.34 IST
Dua hari kemudian, dengan pelipis masih diperban, Gauri kembali ke gudang. Dibiarkannya daun pintu terkuak sedikit. Samar-samar masih tercium aroma benda hangus, bercampur dengan bau tengik bekas minyak goreng tumpah dan beras apek. Ya, sebelumnya, gudang ini tempat menyimpan stok toko kelontong Paman Kumar, ayah Lajvati dan Rishi. Akan tetapi, sejak pecah kerusuhan malam itu dan toko-toko muslim turut dibakar massa, seluruh isi gudang ini dibagi-bagikan kepada para tetangga. Suasana benar-benar tidak terkendali hingga banyak yang memilih mengungsi. Demikian pula dengan keluarga Paman Kumar, mereka berikhtiar kembali ke Rajasthan.
Satu minggu selepas pembakaran masjid dan kerusuhan yang meluas, konflik mereda. Lajvati dan Rishi menawarkan gudangnya untuk digunakan sebagai tempat mengaji. Gauri menerimanya. Pertimbangannya, gudang ini letaknya jauh dari jalan raya. Tepatnya, ada di belakang rumah Paman Kumar yang berada di tengah-tengah perkampungan muslim. Anak-anak yang tersisa tidak sampai sepuluh orang. Jadi, tidak akan mencurigakan. Ayahnya juga mengizinkan asalkan tetap hati-hati. Nyatanya, tidak ada tempat aman di India.
Gadis bermata bola itu melangkah pelan ke sudut ruangan, mengambil sapu, membersihkan pecahan kaca, tikar yang tersisa separuh, dan hamburan bebatuan menghitam.
Kata ayahnya, hanya soal waktu, muslim India terusir dari tanah kelahirannya dan masjid-masjid dimusnahkan. Sejak Masjid Babri di Ayodya, Uttar Pradesh dihancurkan pada tahun 1992, India bukan lagi rumah yang ramah bagi muslim. Diluluhlantakkannya masjid yang dibangun oleh Sultan Mughal I, 600 tahun lalu, merupakan deklarasi dimulainya perang bisu melawan sejarah. Narasi Masjid Babri dibangun di atas rumah Rama telah merasuk ke dalam jiwa-jiwa fanatik para pengikutnya. Saat itu, ayah Gauri yang bernama Hasan Mujtaba, turut serta dalam aksi protes atas rencana penghancuran Masjid Babri. Berhari-hari ayahnya bolos sekolah di Amar Public School –setingkat SMA. Namun, Masjid Babri tetap dihancurkan kaum penyembah sapi.
Setelah itu, kabar tentang penghancuran masjid datang silih berganti menyesakkan hati. Ada masjid berusia ratusan tahun dijadikan kuil Hindu, gurudwara Sikh, bahkan rumah. Banyak pula masjid yang dihancurkan dengan alasan pelebaran jalan hingga dilalui lintasan kereta api. Sementara itu, masjid-masjid yang masih berdiri tegak, terus disengketakan bahkan itu kompleks Taj Mahal di Agra. Kini mahakarya dan bukti kejayaan Islam di masa lalu itu, ada dalam rekayasa mereka untuk diklaim sebagai warisan leluhurnya. Siapa hatinya yang tidak menggelegak mendengar semua ini?
Ingatan tentang makar para penyembah berhala berloncatan di memorinya, berebutan keluar. Gauri menghela napas, lalu membuangnya kasar.
Lantai sudah kembali bersih. Dia mengambil tangga di sudut gudang, lalu diletakkannya di bawah kaca ventilasi. Gadis itu menaikinya dengan hati-hati. Dari balik jendela kecil yang terbuka, matanya tertuju pada sebuah rumah berlantai dua. Dia menyadari satu hal. Jika pada hari itu tidak ada gedebuk suara orang berlompatan melempar batu, apakah dari sana batu-batu itu berasal?
Itu rumah Pak Ladusingh, tetapi apa mungkin, sedangkan pria berkumis itu muslim. Namun, melihat dari arah datangnya batu yang bertubi-tubi, sepertinya dari sanalah asalnya. Pelemparnya sangat profesional sebab tidak ada batu-batu yang gagal melewati ventilasi kaca. Seingatnya tidak ada suara batu menghantam tembok luar. Bisa jadi batu-batu itu dilempar menggunakan alat pelontar.
Gauri terpaku dengan otak berputar-putar merangkai segala kemungkinan sampai seorang pria dengan wajah tak dikenalnya berdiri di balkon rumah itu. Entah sudah berapa lama pria itu berdiri di sana. Pria botak dengan wajah berewok itu menatap tajam ke arahnya. Gauri kaget. Alhamdulillah, dia tidak terjatuh dari tangga. Ternyata dugaannya benar. Bukan Pak Ladusingh yang ada di rumah dua lantai itu.
Gauri buru-buru menutup jendela kecil itu dengan plastik bening yang direkatkan dengan selotip. Nanti dia akan meminta kakaknya untuk menutup jendela ventilasi secara permanen dengan sirap. Dia tidak ingin, gudang Paman Kumar disalahgunakan seperti mereka menggunakan rumah Pak Ladusingh.
Jika begini adanya, sudah benar rencana yang dirancangnya. Sepulang kuliah, dia yang akan mendatangi rumah anak-anak satu per satu. Tidak butuh waktu lama, setengah jam sepertinya cukup untuk menambah satu halaman atau menguatkan hafalan. Lagi pula, rumah mereka tidak ada yang berjauhan. Semua mudah dijangkau. Dia akan meminta antar pada ayah atau kakaknya. Rencananya benar-benar matang.
Usai dengan seluruh aktivitasnya, dia kembali mengunci pintu gudang.
**
Stasiun Karnataka, 25 September
Seorang gadis menyeret sebuah koper besar. Hijabnya lusuh. Tampaknya dia telah berjalan jauh. Namun, kepalanya tetap tegak. Tatapnya sarat optimis meski turut berdesakan bersama ratusan pengungsi. Gauri menepati janjinya. Dia dan keluarganya akan keluar dari Karnataka setelah tidak ada lagi murid-muridnya yang tersisa.
“Robbi anzilni munzalan mubarakan wa anta khairul munzilin5,” bisiknya lirih.
Senja meredup. Cahaya lembutnya memeluk Gauri bersama kereta yang membawanya pergi.
Catatan Kaki:
IST1 : Indian Standard Time
Ganesh Visarjan2: ritual membenamkan patung gajah ke dalam perairan. Ternyata bukan hanya di Sungai Gangga, tetapi segala jenis perairan. Ritual ini merupakan puncak acara Festival Ganpati Cathurthi yang berlangsung selama 10 hari.
Shimoga3 : sebutan lain untuk Shivamogga
“Hasbiyallah. Laa ilaha illa huwa, alaihi tawakkaltu wahuwa rabbul ‘arsyil adzim4: zikir yang terdapat di dalam surah At-Taubah ayat ke-169.
Ya Allah, Robbi anzilni munzalan mubarakan wa anta khairul munzilin5: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat. Terdapat di surah Al-Mu’minun ayat ke-29.
MasyaaAllah.. membacanya saja sudah membuat hati degdegan, sedih, dan juga marah terhadap pemerintahan zalim di sana.. Ya Allah lindungi saudara kami di India, Palestina, Rohingya, Uighur, dan di manapun mereka berada..
Aamiin Ya Allah.
Dan ampuni kami yang hanya mampu mendoakan, tanpa bisa turut serta membebaskan dan memberikan pertolongan
Maa sya Allah..haru dan pilu membaca story nya..Yaa Allah ampuni kami yang belum bisa membantu mereka saudara sesama muslim.
Bisa jadi kondisi yang sebenarnya lebih tragis
betul, Mba. Mungkin ada banyak peristiwa yang tidak terekspos media
Masyaallah, keren mbak Haifa. Baca di berita tentang nasib kaum muslim di sana saja sudah sangat menyedihkan. Dibuat story lebih sedih ya.
Aku kok pas baca Ladusingh kek femilier ya di film India, hehe ...
Ladusingh itu Polisi lelet di kartun Shiva, Mba 🙂
Bingung cari nama lagi ya udahlah pake nama Ladusingh
hehehe...
Vilm kartun kan Mba.. hehe
hehehe iya, kartun India, Mba
Sangat indah Mbak, masyaallah. Tersampaikan rasanya hingga mengalir air mata. Barakallah.
wabarakallahu fiik, Mba Maya
MasyaAllah, tulisannya keren. Panjang tapi ngalir. Butuh waktu brp lama utk tatabuk seputar kehidupan di India?
karena tulisan fiksi, tatabuknya sambil lalu, Mba
jazakumullah khayan sudah berkenan mampir dan mengapresiasi, Mba
Sedihnya membaca kisah ini. Barakallah mbak Haifa l, naskahnya keren dan menginspirasi
Wabarakallahu fiik, Mba
Jazakumullah khayran sdh berkenan membaca dan mengapresiasi
Masyaallah, hasbiyallah wa nikmal wakil nikmal maula wanikmannashir
Hasbiyallah laa Ilaha Illa huwa 'alaihi tawakkaltu wa huwa Rabbul 'arsyil 'adhim
Allahumma salimna wa ikhwanana muslimin fii kulli makaaan..ampuni kami yaa Rabb..
Barakallah mb Haifa..
Aamiin ya Allah
Wabarakallahu fiik, Mba
Ya Allah.. sedihny...
Sama, Mba
Pingin peluk Gauri jadinya
Ya Allah, ampunilah kami yang hanya bisa menangis menyaksikan penderitaan saudara-saudara kami.
Aamiin yaa Allah
Ya Allah, kehidupan kaum muslimin ketika tidak ada junnah. Terzalimi teruttama saat jadi kaum minoritas. Sedang ketika jadi mayoritas, tidak peduli nasih saudaranya. Membayangkan aslinya kehidupan di India,tak kalah menyesakkan dada dengan yang berada di Palestina.
Memang khilafah satu-satunya solusi. Semoga Allah segerakan
MasyaAllah menyala naskahnya kak, betul2 inspiratif dan mengangkat tema sejarah Islam..
Pasti luar biasa menjadi bagian sejarah ketika Islam diuji dengan serangan.. subhanallah..
Jazakumullah khayran sudah singgah dan mengapresiasi naskah ini, Mba
Gauri pergi setelah tidak ada murid2nya satu pun..
Sedihnya..
Barakallah Mbak Haifa.. keren naskahnya..
iya, terbayang sedihnya, Mba Deena
Ceritanya bikin mewek
iya, Mba. Pagi-pagi lagi bacanya ya
Ya Allah, menangis aku membaca cerpen ini. Ikut terhanyut merasakan yang Gauri rasakan. Makin rindu khilafah tegak, melindungi umat Muslim yang tertindas.
I feel You, Mba
semoga khilafah segera tegak untuk melindungi kaum muslimin seluruh dunia
MasyaAllah serasa berada di India ketika membaca naskah ini. Cerita yang sangat memilukan, semoga muslim di sana senantiasa dalam lindungan Allah Swt. Aamiin
Aamiin Ya Allah
Semoga Allah segerakan tegaknya Khilafah
Masyaallah alur cerpen ini sangat keren, menggugah, dan berasa hidup, dengan sentuhan diksi yg pas dan bagus2. So, jadi tahu kata2 baru sebelumnya tak pernah kukenal.
Berakallah Mb Haifa sedari dulu gak pernah gagal klo bikin cerpen dan genre rubrik lainnya. Selalu berbobot. Semoga kebaikannya menulari sy ya. Amin
wabarakallahu fiik, Bunda Mimy
Kita belajar dan tumbuh bersama di NP ya, Mba
MasyaAllah.... sedih banget ceritanya sampai g mampu nahan air mata. Ya Allah semoga saudara² muslim kita yang terzalimi di manapun mereka berada, semoga Allah berikan kesabaran dan keteguhan iman yang sempurna aamiin Allahumma aamiin
Aamiin Ya Allah
Semoga Allah segerakan tegaknya junnah yang akan melindungi seluruh kaum muslimin