You are not selling your sadness. You just relieving your feeling. You just letting go your grief. And that’s normal. It’s okey if you cry when you lost your love ones. That’s love.
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Kesal sekali deh! Orang kok enggak bisa sedikit berempati sih!? Ini temannya baru kena musibah malah ngomong yang enggak enak begitu. Siapa coba yang enggak sedih kehilangan orang tua? Lagipula ini bukan mau dikasihani, tetapi lagi nyeritain tentang sosok penting dalam hidup yang ternyata sudah tiada,” cerocos Santi emosi. Wajahnya memerah dan mulutnya mecucu. Aku diam mendengarkannya sembari sesekali mengangguk.
Ingatanku melayang kembali di Speaking Class yang diampu Miss Eve. Peristiwa saat seseorang mengatakan aku sedang menjual kesedihan. Sebagai perkenalan untuk semua peserta kelasnya, Miss Eve meminta kami untuk menceritakan tentang role model atau sosok yang menjadi panutan. Miss Eve bilang untuk mengungkapkan sebanyak mungkin apa yang ada dalam pikiran kami tentang sosok tersebut. Tidak perlu khawatirkan tentang grammar. Bebas saja bicara.
Kuusap tanganku yang basah. Dingin. Dag dig dug. Jantungku jedag jedug dan kakiku gemetar. Duh, gugup sekali!
Terus terang, bukan hal mudah bagiku untuk berbicara. Aku tidak suka ngomong. Aku malu dan minder kalau berkaitan dengan buka suara. Aku bisa sangat nervous sehingga bicaraku gagap, bahkan suka ngeblank. Rasanya ingin menghilang dari bumi kalau sudah begitu. Speaking is a thing that I don’t like the most.
Lah kok bisa masuk Jurusan Sastra Inggris kalau memang tidak suka ngomong?! Bukankah kalau belajar bahasa itu pasti harus banyak latihan berbicara dengan bahasa tersebut? Nah, itulah! Sepertinya aku mulai menyesal masuk jurusan ini. Hu hu …
Aku memang suka belajar bahasa. Aku suka melihat film atau mendengarkan lagu-lagu berbahasa asing. Aku juga suka membaca atau menulis puisi dalam bahasa Inggris. Bukan ingin sok keren, tetapi supaya tidak mudah ketahuan saja sama yang lain. Namun, kalau disuruh untuk berbicara, aku angkat tangan. Mending aku menulis berlembar-lembar daripada harus ngomong, apalagi jika dilihat banyak orang. Speaking benar-benar membuatku pening.
Giliranku pun tiba. Ya, sudahlah. Apa yang terjadi, biarlah terjadi. Stay calm, Din! Bismillah!
Hallo, Good morning, Class. Eeee … First, I want to introduce myself. My name is Dina Dwi N. I'm from Madiun. I live in Bendungan Sutami right now. Ooo-Okey, I want to tell you about my role model. My role model is my father. Umm … Not because of he is my father, ya … but because I know him. Im very close to him. I see him every day so I know his daily live. I know his character. He is kind and quiet. Oh, he is very diligent and honest. He is straight … never do something weird … and just stick the rules. He is also hardworking person. He always do his job well … and this inspire me. He used to work as Kepala TU in madrasah tsanawiyah and last time … eeeh … he want to change his job. Uum … he wants to teach in senior high school. He already prepare himself to be a teacher and buy the books. But … now he can’t do it … because he passed away. I’m talking about him in this occasion because only he is in my mind right now … I can only think about him this time … And last, I want to tell you to love your parents. Because if they dead … you can show your love anymore. So, we have to love and appreciate what we have right now before they are gone. Oooh … I’m sorry if I my speak is not good. Thank you for your attention.
Kurang lebih seperti itulah yang kusampaikan di depan kelas dengan terbata-bata tentunya. Sejujurnya, yang terlintas di benakku hanyalah bapak. Tidak ada yang lain. Mungkin juga karena aku kangen sehingga hanya bapak yang terus terbayang. Memang, setelah bapak tiada, baru kusadari betapa berartinya bapak bagiku. He is my role model in life and my bestfriend too.
Usai aku berbicara, Miss Eve menyampaikan turut berdukacita atas meninggalnya bapak. Ia juga menanyakan tentang meninggalnya bapak dan penyebabnya. Aku jawab dengan apa adanya.
“Last July? You mean this year?” tanya Miss Eve terkejut. Kelas hening menyimak obrolan kami. Waduh, gawat ini! Kalau sudah suasananya begini, rentan bagiku untuk mewek.
“Yes, Miss,” jawabku sambil mengangguk. Momen berpulangnya bapak kembali melintas. Sudut mataku mengembun. Diam-diam kuusap sembari pura-pura membetulkan kerudung yang masih rapi di kepala. Ah, aku pasti menangis sebentar lagi.
“Ooh, I’m really sorry. It must be very hard for you. You may cry, it’s okey. But, I know that you are strong girl. You can get through all of this. Please, don’t be sad too long. I'm sure that your dad must be very proud of you. Believe yourself that you can do anything. Thank you for your speech. Good job!” Bulir-bulir bening membasahi pipiku. Buru-buru kuseka agar tak makin deras. Aku tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan teman-teman. Aku benci menangis di keramaian. Jangan menangis, please!
Miss Eve lalu mempersilakan teman-teman yang lain untuk menyampaikan sesuatu. Ada yang bertanya. Ada yang menyampaikan belasungkawanya. Namun, ada satu teman cowok yang memberi komentar agak lain. Rupanya ia kurang suka dengan yang kusampaikan. Ia bilang kalau itu seperti menjual kesedihan. Menurutnya tak perlu menjual kesedihan seperti itu karena hanya akan membuat suasana menjadi suram.
Komentar si cowok inilah yang membuat Santi kesal sekali. Bukan hanya Santi, tetapi juga Sophia dan Lina pun ikutan kesal. Ketiganya memang teman dekatku sehingga tahu lebih banyak tentang cerita hidupku. Menurut mereka, tidak seharusnya si cowok itu mengatakan aku sedang menjual kesedihan. Itu namanya tidak bersimpati dan tidak berempati pada teman sendiri.
Aku sendiri tidak terlalu ‘ngeh’ dengan komentar menjual kesedihan tersebut sehingga biasa saja menanggapinya. Justru teman-teman dekatku yang mencak-mencak tidak terima. For me, it’s okey. I have experienced my biggest lost in my life so that what other say is not big problem.
Setelah kelas berakhir, ketua kelas menghampiriku. Dia yang biasanya cengar-cengir jadi serius mode on dan berkata, “Din, I’m really sorry for your loss. Aku baru paham kenapa kamu sangat pendiam selama ini. Ternyata kamu memendam duka yang dalam. Kamu baru saja kehilangan orang terpenting dan tersayang dalam hidupmu. Karena itulah, kamu begitu diam dan tampak muram. Maaf, aku baru tahu dan menyadari itu. Yang sabar, ya! Everything is gonna be alright.”
Sungguh menenangkan. Terima kasih sudah mau mengerti, Kawan. Selamanya, tak akan pernah kulupakan kebaikanmu.
Itulah kisahku pada masa awal masuk kuliah. Tak pernah kubayangkan akan pergi menuntut ilmu di kota orang tanpa diantar oleh bapak. Tak kukira bapak akan pergi begitu cepat. Kupikir bapak masih akan ada untuk waktu yang lebih lama.
Aku limbung saat itu. Pada saat hati masih berkabut duka, kaki harus segera berdiri kembali. Kepergian bapak menjadi hantaman untukku.
Aku tahu banyak yang ujiannya lebih berat dariku. Namun, kehilangan bapak saat itu teramat berat bagiku. Saat aku hendak memulai fase baru dalam kehidupan, bapak justru harus meninggalkan dunia ini selamanya. Tak akan pernah bisa kulihat lagi wajahnya. Tak akan bisa lagi kudengar suaranya. Tak ada lagi yang akan memboncengku dengan motor bebeknya. Tidak ada. I’ve lost my bestfriend forever. Tak ada lagi tempatku bersandar. Kurasa itulah titik terendah dalam hidupku.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mengerti bahwa rencana Allah adalah yang terbaik. Kehilangan orang terkasih menjadi batu ujian untuk menempa diri agar kuat berdiri menghadapi angin kehidupan. Kalau aku tak menguatkan diri untuk pergi dari rumah saat itu, mungkin aku tidak ada di sini sekarang. Kalau aku tak bertahan saat itu, mungkin aku tak punya kesempatan belajar Islam lebih dalam. Syukurlah aku tak tenggelam dalam duka kehilangan sehingga mampu menemukan kembali cahaya hidup. Banyak hal-hal baik yang kutemui usai kehilangan yang merundung. Semua sudah jalan-Nya.
Menceritakan seseorang yang telah pergi bukanlah menjual kesedihan. Namun, itu sebagai cara untuk mengurai beban rasa kehilangan.
You are not selling your sadness. You just relieving your feeling. You just letting go your grief. And that’s normal. It’s okey if you cry when you lost your love ones. That’s love.
Cara orang mengatasi kehilangan juga berbeda-beda. Ada yang dengan bercerita. Ada yang dengan menulis. Ada yang dengan diam saja. Ada yang dengan menyibukkan diri. Ada yang menutupi dukanya dengan mengatakan dirinya baik-baik saja. Ada yang sebentar-sebentar menangis teringat mendiang. Satu kesamaannya adalah semua butuh waktu. It takes time. Luka akan mereda seiring dengan berjalannya waktu. Just give them time to heal. Don’t immediately judge other’s loss because you don’t know how big her loss is dan how hard she’s trying to get back up.
Bersyukur kita punya Islam sebagai pegangan hidup. Boleh bersedih dan menangis ketika ada yang meninggal, tetapi tidak boleh meratap atau mengutuk takdir. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayat:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Artinya: “Bukanlah dari golongan kami siapa saja yang menampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliah (meratap).”
Kita juga diajarkan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan menemui ajalnya. Semuanya juga akan pergi. Senyampang napas masih di raga, maka itulah waktu kita menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian.
Baca: Allah Pasti Menolong
Kita pun masih bisa berbakti kepada orang tua meskipun telah meninggal dunia. Banyak hal yang bisa kita lakukan seperti mendoakan mereka, menjalankan wasiatnya, meneruskan kebaikan yang pernah dilakukan semasa hidupnya, menyambung silaturahmi dengan teman-teman mereka, menjaga nama baik orang tua, atau mewakafkan harta atas nama orang tua.
Sayangilah orang-orang terdekatmu selagi masih ada. Mereka berharga. Tidak ada yang tahu berapa lama waktu tersisa hingga perpisahan abadi itu akan memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai.[]
Aku pun baru kehilangan nenek sepekan lalu. Bukan tidak ikhlas, tetapi air mata ini terus meleleh ketika ingat jasa dan kesabaran beliau. Barokallah Mba ... Naskahnya keren
Al-Fatihah buat neneknya mbak.. Semoga beliau husnul khatimah..
Terima kasih NP sudah menayangkan kisah sederhanaku ini..
Terima kasih juga untuk teman2 yg mampir ke sini..
Semoga ada manfaatnya..
Jadi nangis karena ingat almarhum bapak. Beliau meninggal saat saya duduk di semester 4.
Semoga kita kelak dipertemukan kembali dengan bapak-bapak yang telah mendahului kita. Berkumpul bersama mereka di surga-Nya. Aamiin
Al-Fatihah buat bapaknya mbak..
Aamiin.. yaa rabbal alaamiin..
Huaaa... Always kereeen. Baarakallahu fiik akak
Wa fiik barakallah..
Thank you, Kakak..
Story yang keren mbak, Barakallah
Wa fiik barakallah.. mbak Sri Haryati..
Naskah mbak Dina keren, jadi ikut terhanyut sewaktu membaca tulisan mbak Dina...
Terima kasih mbak Tami.. sudi mampir di sini..
Cerpen dan story mbak Dina selalu mengalir dan penuh makna.
Terima kasih mbak Isty sudah mampir..
Kesedihan yang sangat, ketika ditinggalkan orang yang kita sayangi, namun inilah yang harus kita alami, berkaitan dengan takdir dan kefanaan dunia, semua akan berakhir kapanpun, hanya Allah yang kekal. Semoga bertemu kembali dalam jannahNya aamiin. Jadi ingat almarhum ortu saya. Barakallahufiiki penulis.
Aamiin.. yaa rabbal alaamiin..
Suka baca story-nya. Turut berduka cita ya, Mbak.
Btw, belajar speaking class,,, keren ih Mbak, barakallah
Kelas wajib itu mbak Yuli.. tp aku ya gak pinter2 speaking.. hehe
Al fatihah untuk ayahandanya mba Deena. Semoga pahala jariyah terus mengalir untuk beliau dari putri solehahnya ini.
Aamiin.. yaa rabbal alaamiin..
Masyaallah barakallah tulisan keren nan syahdu mb Dina selalu mengentak jiwaku...aah pokoknya aku suka banget tulisan ini. Sukses dunia mb Dina
Sukses dunia akhirat Mb Dina
Aamiin..
Sukses juga buat mbak Mimi