Krisis Empati Berujung Menzalimi

"Rupanya krisis empati ini juga sudah sejak lama menjangkiti para petinggi negeri. Mereka tak lagi memiliki rasa peduli atas nasib rakyatnya yang duduk di atas dipan-dipan penderitaan. Sebaliknya mereka malah menyuguhkan pertunjukkan penuh intrik demi melanggengkan kursi kuasa. Bukankah baru saja kita saksikan panggung mewah penguasa bertabur gaji dan tunjangan fantastis hingga harta kekayaan yang naik drastis? Sementara rakyat jelata kian terengah-engah menghadapi kesulitan ekonomi."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Janganlah engkau mengucapkan perkataan yang engkau sendiri tak suka mendengarnya jika orang lain mengucapkannya kepadamu." - Ali bin Abi Thalib

Perkataan salah seorang tokoh di dunia Islam tersebut mengajarkan kepada kita tentang sebuah penghargaan terhadap perasaan orang lain. Dalam kalimat itu pula terkandung pesan tentang sebuah empati. Ya, sikap peduli dan peka terhadap perasaan dan kondisi orang lain.

Namun, sayangnya di kehidupan yang serba jauh dari aturan agama hari ini, krisis empati kerap menjangkiti diri. Maka, tak heran jika banyak hati yang terluka, banyak diri yang kecewa. Sebab pemilik rasa empati kian langka saja. Aku jadi teringat dengan kejadian yang terjadi padaku beberapa waktu silam. Di saat bayiku sakit dan sangat rewel, sudah pasti aku merasakan lelah yang teramat sangat. Karena mataku harus selalu terjaga sambil terus menggendongnya. Kurang istirahat sudah pasti. Maka, ketika bayiku terlelap, terasa bagaikan sebuah anugerah besar dari Allah kepadaku. Setidaknya aku bisa merebahkan tubuhku untuk beberapa saat.

Namun, baru saja lima menit bayiku tertidur. Tiba-tiba suara beberapa anak bermain bersama teman-temannya di jalan depan rumahku terdengar sangat nyaring. Mereka menjerit, tertawa, berteriak-teriak bahkan sambil melempar benda (entah apa) dengan bisingnya. Ah, sontak saja bayiku terbangun dan kembali menangis. Ingin rasanya aku berteriak dan ikut menangis kala itu. Tapi bagaimana lagi, aku sadar bahwa kita hidup berdampingan dengan orang lain, sudah pasti kita akan menemukan banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan sesuai kemauan kita sendiri.

Namun kemudian aku merenung, "kenapa sih anak-anak itu tidak diajarkan empati oleh kedua orang tuanya? Tidak bisakah mengecilkan suara demi meminimalisasi menggangu tetangga? Lagi pula ini sudah pukul 9 malam, waktunya orang beristirahat, mengapa anak-anak itu masih saja bermain di jalanan dan berteriak-teriak?"

Sungguh, dadaku bergemuruh. Memang semestinya pelajaran tentang empati harus kita ajarkan pada anak-anak kita sejak dini. Agar mereka tidak bersikap cuek dan masa bodo. Bisa jadi krisis empati yang tidak tertanam sejak dini, akan melekat hingga dewasa. Bukankah banyak kita temui orang yang krisis empati hingga berujung menzalimi? Misalnya, menyetel musik super kencang sehingga membuat pusing kepala tetangga, berkomentar tanpa memikirkan bagaimana perasaannya orang yang dikomentari, misalnya, "Aduh, kok anaknya kurus sekali sih?", atau " Kenapa lahirannya Ceasar? Biar cepet ya, enak nggak usah mengejan." atau "Kok belum nikah-nikah sih, si A saja sudah punya anak 2." dan banyak lagi komentar-komentar lainnya yang enteng diucapkan, namun tanpa disadari menusuk hati orang lain.

Di sinilah pentingnya memupuk empati di dalam diri kita. Caranya tentu saja dengan menyelami diri kita sendiri, lantas tanamkan prinsip, "Seperti apa kita ingin diperlakukan, maka seperti itu jugalah orang lain ingin diperlakukan." Artinya jika kita tak ingin disudutkan, maka jangan menyudutkan. Jika kita tak ingin dipermalukan, maka janganlah kita mempermalukan.

Islam juga mengajarkan tentang sebuah empati sebagaimana terselip dalam larangan menasihati orang lain di depan khalayak ramai. Islam mengajarkan agar kita menasihati orang lain di tempat yang privat, bukan di depan publik. Hal tersebut semata-mata untuk menjaga kewibawaan dan harga diri orang yang kita nasihati. Aku pernah membaca perkataan Imam Syafi'i bahwa menasihati di depan umum merupakan bentuk pelecehan terhadap orang lain. Jangan sampai, kita membuat orang lain rontok harga dirinya hanya karena kita tidak memiliki sedikit empati.

Di dekat rumah nenekku juga pernah ada kejadian yang cukup menggegerkan warga, penyebabnya lagi-lagi krisis empati. Saat itu, malam tahun baru, beberapa anak remaja menyalakan petasan super besar tepat di malam pergantian tahun. Duarrrrr!!!! Suaranya menggelegar memecahkan malam. Mereka tak peduli terhadap orang-orang yang telinganya dibuat pekak oleh bunyi petasan itu, mereka juga tak peduli dengan orang-orang yang mungkin tengah sakit di malam itu. Benar saja, seorang wanita tua yang memang memiliki penyakit jantung kronis seketika meregang nyawa terkena serangan jantung saat mendengar suara petasan tersebut. Sungguh, betapa krisis empati benar-benar berujung menzalimi.

Dan rupanya krisis empati ini juga sudah sejak lama menjangkiti para petinggi negeri. Mereka tak lagi memiliki rasa peduli atas nasib rakyatnya yang duduk di atas dipan-dipan penderitaan. Sebaliknya mereka malah menyuguhkan pertunjukkan penuh intrik demi melanggengkan kursi kuasa. Bukankah baru saja kita saksikan panggung mewah penguasa bertabur gaji dan tunjangan fantastis hingga harta kekayaan yang naik drastis? Sementara rakyat jelata kian terengah-engah menghadapi kesulitan ekonomi.

Begitulah hakikatnya krisis empati jika tak dimiliki. Padahal sejatinya setiap bentuk kezaliman yang dilakukan seorang hamba akan berbuah petaka di hadapan Allah kelak.Tidaklah kita takut akan pengadilan Allah yang Mahaadil? Maka, mari lepaskan diri kita dari segala belenggu kehinaan dengan berupaya memupuk empati di dalam diri.[]


Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Ajang “Miss Queen” di Negeri Miskin Aturan Syariat
Next
Mendamba Kesejahteraan Buruh, Butuh Partai Buruh atau Sistem Tangguh?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram