Kanker Bukan Penyebab Kematian

"Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."
(QS. Ali 'Imran Ayat 145 )

Oleh : Lilik Yani

NarasiPost.Com-"Setelah dilakukan serangkaian proses pemeriksaan, termasuk biopsi pada tumor Ibu, kami tim dokter memutuskan bahwa Ibu positif kanker ganas," kata seorang dokter spesialis bedah di sebuah rumah sakit cukup ternama di Surabaya, sore itu.

Sahabat, apa yang kalian rasakan jika keputusan diagnosa itu terjadi pada kalian? Apa yang kalian lakukan jika posisi kalian sedang duduk sendirian di hadapan dokter spesialis bedah tersebut?

Ehm, tampaknya diagnosa itu mengerikan, ya? Sebagai manusia normal, membayangkan saja rasanya takut, apalagi jika kita dalam posisi sedang duduk tak berdaya di hadapan dokter tersebut.

Sebagai makhluk lemah tak berdaya, tiada pilihan kata terbaik kecuali mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Sesungguhnya semua dari Allah dan akan kembali kepada Allah." Kalimat tersebut diucapkan bukan karena mendengar musibah kematian saja. Namun, segala bentuk ujian dari Allah.

Kalimat selanjutnya yang keluar dari hamba lemah tersebut adalah istighfar, "Astaghfirullahal adziim. Hamba mohon ampun ya Allah, Zat yang Mahabesar. Kalimat ini pun bukan hanya diucapkan oleh orang yang berdosa besar.

Perbanyak istighfar agar hati menjadi tenang. Istighfar bisa jadi solusi segala persoalan. Sebuah pengakuan dosa kepada Zat segala Maha, berharap mendapat kekuatan untuk mendengarkan kalimat selanjutnya dari sang dokter.

"Apa yang terjadi? "
Ternyata sang dokter hanya diam, memandangku yang tak berdaya, masih sibuk menata hati. Setelah dirasa suasana terkendali, dan aku bisa menguasai diri, maka sang dokter melanjutkan bicara.

"Karena rumah sakit ini fasilitasnya terbatas, jadi Ibu saya rujuk ke RS lebih besar. Saya pilihkan RS yang tak jauh dari rumah Ibu," kata sang dokter sambil membaca status yang tertera alamat si pasien.

"Dirujuk, Dok? Izinkan saya memanggil suami agar ikut mendengarkan. Khawatirnya saya tak konsentrasi, ada pesan penting terlewatkan," ucapku.

"Lho, suaminya ikut mengantar? Kok tidak diajak masuk? Baik, silakan. Biar ikut mendengarkan arahan saya nanti," jawab sang dokter.

Ketika sang dokter memberikan penjelasan pada suami, aku tak konsentrasi mendengarkan. Jiwaku kembali berkelana. Entah melalang buana ke mana saja pikiranku. Maklum, aku masih terkejut dengan ucapan sang dokter tadi. Meski disampaikan dengan lembut, tetapi kalimat yang menyebutkan diagnosa itu bagaikan godam yang memukul jiwa.

Beruntung Allah memberikanku kekuatan hingga tak sampai pingsan atau teriak histeris, tak mempercayai diagnosa dokter.

Ya, aku berharap diagnosa itu salah, bukan diriku yang sakit kanker. Karena bersamaan denganku tadi, ada sejumlah pasien lain. Aku berharap hasilnya hanya tumor jinak, tinggal diambil, selesai, tak ada kisah mengerikan lainnya. Terbayang sahabatku saat kuliah dulu yang meninggal karena kanker serupa, juga teman kajian, kerabat dekat juga meninggal karena kanker yang sama.

Namun, aku tiba-tiba ingat, ada teman dosen yang sehat sampai sekarang karena kankernya sembuh setelah berobat ke luar negeri. Lha, dosen sembuh karena berobatnya ke luar negeri, sementara aku? Aku hanya bisa berobat dengan fasilitas BPJS, apa yang bisa aku lakukan?

"Dok, apakah kanker bisa sembuh?" tiba-tiba terucap pertanyaan yang muncul dari bibirku. Itu adalah pertanyaan orang lemah, galau, seakan putus asa, membayangkan kengerian yang akan dihadapinya.

"Bisa! Banyak penderita kanker bisa sembuh selama mendapat penanganan yang benar. Segala penyakit itu datang dari Allah. Allah pula yang akan menyembuhkan. Insyaallah, yang penting Ibu semangat!" kata sang dokter sambil mengepalkan tangan.


Ketika dalam perjalanan pulang, aku duduk dalam boncengan motor suamiku tercinta, hening tanpa kata. Suamiku pun tampak memberi kesempatan padaku untuk merenung dan menikmati jiwa yang sedang melalang buana.

Kemudian, dalam perjalanan ada mobil tukang jualan buah naga merah ranum dan buah jambu merah. Suami tahu itu kesukaanku. Lalu suami mengurangi laju motornya, berharap aku terpana dengan buah kesukaan tersebut.

"Yah, mau buah? Beli, yuk!" kataku menawarkan pada suami yang juga penggemar buah.

"Iya," jawab suami lega karena istrinya masih selera makan buah.

Setelah membeli buah masing-masing dua kilogram, lalu suami kembali melajukan motor dengan kecepatan normal. Alhamdulillah, perjalanan lancar, sampai rumah jelang azan Maghrib.

"Bunda, kita salat jamaah, ya?" ajak suamiku.

"Lho, Ayah biasa jamaah ke masjid?" tanyaku pelan.

"Tak apa, sekali-sekali berjamaah dengan istri tersayang. Hehe."

Alhamdulillah, salat Maghrib ditunaikan dengan syahdu. Saat sujud akhir, aku mengadukan segala rasa.

"Ya Allah, seakan ini mimpi. Diagnosa dokter yang barusan hamba dengar, seakan belum bisa hamba percaya. Mohon berikan hamba kekuatan, untuk bisa ikhlas dan rida menerima takdir ini. Bimbinglah hamba ya, Rabb," bisikku dalam sujud panjang.

"Bunda, yang sabar, ya, ikhlas menerima ketentuan Allah. Yakin, bahwa ketetapan Allah itu terbaik buat Bunda. Ayah siap menemani Bunda terapi demi wasilah kesembuhan. Insyaallah," hibur suami ketika dilihatnya aku sudah bangkit dari sujud panjang.

"Anak-anak diberitahu tidak, Yah? Juga ibuku, kakakku?" tanyaku minta pertimbangan suami.

"Ibu dan kakak tidak usah diberitahu, biar tak menambah pikiran. Anak-anak kalau datang saja diceritakan pelan-pelan. Sementara, kita jalani dulu saja, menjalankan terapi lanjutan ke RS yang dipilihkan dokter bedah tadi. Bismillah, semangat ya, Bunda," kata suami penuh perhatian.

**

Semalam aku tak bisa tidur. Meski sudah berusaha tenang, pasrah, ikhlas, rida, ternyata bayangan sahabat-sahabat yang meninggal karena kanker sempat membuatku khawatir juga.

Alhamdulillah, Allah memberiku ingat pada kajian di kampus yang rutin saya ikuti. Saat benjolan di tubuh mulai membesar, perasaan khawatir itu sudah dalam bayangan. Hanya saja, aku berupaya menepis karena tak mau mendahului keputusan Allah.

Saat itu, Ustaz membahas tema tentang kematian hanya terjadi atas izin Allah.

QS. Ali 'Imran Ayat 145

وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ اَنۡ تَمُوۡتَ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ؕ وَ مَنۡ يُّرِدۡ ثَوَابَ الدُّنۡيَا نُؤۡتِهٖ مِنۡهَا ۚ وَمَنۡ يُّرِدۡ ثَوَابَ الۡاٰخِرَةِ نُؤۡتِهٖ مِنۡهَا ؕ وَسَنَجۡزِى الشّٰكِرِيۡن

Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Dalam hal ini Allah menyatakan, "Semua yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin-Nya, tepat pada waktunya sesuai dengan yang telah ditetapkan-Nya."

Artinya persoalan mati itu hanya di tangan Tuhan, bukan di tangan siapa-siapa atau di tangan musuh yang ditakuti. Ini merupakan teguran kepada orang-orang mukmin yang lari dari medan Perang Uhud karena takut mati, dan juga merupakan petunjuk bagi setiap umat Islam yang sedang berjuang di jalan Allah.

Meski dalam ayat tersebut yang dikisahkan saat perang Uhud, tetapi hikmahnya bisa diterapkan dalam segala keadaan. Jadi, kita tak perlu takut mati karena semua yang hidup dan bernyawa pasti akan mengalami mati. Kapan? Ketika ajal telah tiba. Bukan karena sebab apa pun juga

"Termasuk bukan karena sakit kanker atau jantung, Ustaz?" tanyaku kala itu, demi memastikan pemahaman.

"Banyak orang mati tanpa sakit. Bahkan pernah kejadian, dokter yang menentukan diagnosa, meninggal duluan. Sedangkan pasien yang divonis, justru masih hidup hingga sekarang. Ingat, kematian hanya terjadi jika Allah mengizinkan. Kematian terjadi jika ajal telah tiba. Bukan karena sakit, atau penyebab lainnya," jawab pak Ustaz.

"Baik Ustaz, saya paham. Terima kasih penjelasannya."

"Kebanyakan orang takut mati karena apa?" tanya Ustaz kepada kita semua yang sedang mengaji.

"Kurang bekal," jawab sebagian teman-teman.

"Jika sudah tahu kalau kurang bekal, bukankah seharusnya segera  menyiapkan bekal? Mengapa banyak bersantai? Diajak mengkaji Al-Qur'an, tetapi banyak alasan?" tanya Ustaz.

"Jika sudah punya bekal, anggap saja kematian itu sebagai destinasi, perjalanan yang menyenangkan karena akan bertemu dengan Allah, pemilik surga yang indah. Bagaimana bisa bertemu Allah di surga jika tak melewati kematian?" tanya Ustaz lagi.

Sungguh, dengan diberi ingatan tentang materi kajian itu, membuatku menjadi lebih tenang, bisa lebih ikhlas menerima takdir Allah. Meski terkadang terselip juga rasa khawatir itu, tetapi segera kembali lagi ingatanku pada ayat di atas dan keterangan Ustaz, bahwa penyakit apa pun, termasuk kanker bukan penyebab kematian seseorang. Hal ini karena kematian hanya terjadi jika Allah mengizinkan.

Sebagai muslim yang beriman, Allah selalu memberikan ujian. Hanya saja, ujian setiap hamba berbeda-beda. Yang harus kita yakini, Allah tidak akan menguji melebihi kekuatan kita. Allah sudah mengukur kekuatan kita. Maka dari itu, sikap terbaik yang kuupayakan adalah bersabar  dan husnuzan pada Allah, yakin bahwa Allah hanya menghendaki yang terbaik untuk hamba-Nya.

Dalam upaya mencari kesembuhan, yang bisa kulakukan adalah menambah ibadah dan mencari komunitas yang selalu mengajak le jalan Allah, hingga aku pun mencari teman untuk tilawah dan tadabbur ayat-ayat cinta dari Allah. Perlahan tapi pasti, semakin bertambah teman sevisi dalam komunitasku. Mereka adalah teman-teman yang selalu mendoakanku dan mendukungku dengan cinta.

Semoga upaya yang kulakukan untuk mengajak orang-orang kembali ke jalan Allah, juga meningkatkan kedekatan dan cinta kepada Allah, jadi wasilah kesembuhan. Selain itu, aku juga terapi di jalur medis dan herbal. Semua itu hanyalah bagian dari ikhtiar. Jika ada kesembuhan, maka datangnya dari Allah semata.

Wallahu a'lam bish shawwab

Surabaya, 31 Agustus 2021

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Lilik Yani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pesan untuk Seseorang di Perantauan
Next
JKDN II, Dongeng atau Fakta?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dia Dwi Arista
Dia Dwi Arista
2 years ago

Masya Allah kisahnya.... dalem banget. Saya setuju jika kanker bukanlah sebab kematian. Alm Ibu saya, 11 tahun lalu didiagnosa mempungai melanoma maligna (kanker kulit) tapi di pinggangnya terdapat benjolan besar hingga berdarah dan berbau tdk sedap. sempat dioperasi dan diambil benjolan. Namun setelah operasi ternyata, sel kanker masih ada di beberapa titik. menunggu observasi kanker yg diambil, juga mwnunggu resep obat dr hasil observasi, kami dipersilahkan pulang, rencana sambil jalan kemoteraphy. namun, ternyata kami tidak balik lagi ke RS tersebut dengan suatu alasan. Ibu oun tak dapat obat maupun kemoteraphy. dan Alhamdulillah beliau sehat. Namun sebulan lalu berpulang bukan karena kankernya yg kambuh, tapi komplikasi diabetes. Semoga Bunda sehat selalu. aamiin

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram