Guru Pertamaku

"Meski saya telah dewasa dan menikah, ibu tetaplah menjadi guru bagi saya. Banyak hal yang beliau ajarkan. Terutama tentang kehidupan. Betapa pun, beliau telah merasakan asam garam kehidupan jauh lebih banyak daripada saya. Karena itu, saya tidak segan-segan bertanya kepada ibu jika ada sesuatu yang butuh pertimbangan orang tua. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan."

Oleh. Mariyah Zawawi

NarasiPost.Com-Ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Ia adalah guru kita, bahkan, sejak kita masih dalam kandungan. Tentu saja, kita tidak ingat, apa yang telah diajarkan oleh ibu kita saat itu. Yang kita ingat adalah yang diajarkan ibu setelah kita berusia 5 tahun. Karena saat itu, kemampuan mengingat kita sudah mulai muncul.

Begitu pula dengan ibu saya. Beliau telah mengajari saya banyak hal. Mulai dari tata cara berwudhu, salat, berpuasa, juga membaca Al-Qur'an. Saya ingat betul, bagaimana ibu sangat teliti dalam mengajarkan semua itu. Misalnya, ketika salat, beliau selalu mengingatkan bahwa kening tidak boleh tertutupi kerudung. Sebab, harus menempel pada tempat sujud.

Begitu pula saat mengajar membaca Al-Qur'an. Dulu, belum ada banyak metode belajar membaca Al-Qur'an. Metode Iqra', Tilawati, dan sebagainya belum kami kenal. Awalnya, kami hanya menirukan bacaan surat-surat pendek. Karena belum bisa membaca, maka kami harus menghafalnya. Di samping menghafalkan surat-surat pendek, kami juga belajar mengenal huruf Hijaiyah dan harakatnya menggunakan buku Turutan. Buku karya Abu Mansur Abdul Qafir Al-Baghdadi itu disebut Turutan karena berasal dari kata “Tutur-Urutan”. Sebab, dalam metode pengajarannya, sang guru memberikan contoh terlebih dahulu. Kemudian, murid menirukan secara berurutan.

Saat itu, ibu tidak hanya mengajari kami, saya dan kakak perempuan saya. Namun, ibu juga mengajari beberapa anak tetangga. Kami biasanya belajar mengaji setelah Maghrib. Kecuali saat Ramadan, kami belajar mengaji pada pagi hari. Setelah kami lancar membaca semua yang ada di Turutan, barulah kami belajar membaca Al-Qur'an. Dalam mengajarkan Al-Qur'an, ibu juga menggunakan metode yang sama. Ibu akan membacakan terlebih dahulu, kemudian kami menirukan.

Jika kami belum lancar membaca Al-Qur'an, ibu akan membacakan sebagian ayat, lalu kami tirukan. Setelah itu dilanjutkan dengan bagian lainnya. Jika belum lancar, kami harus mengulang-ulang sampai lancar.
Tidak hanya kelancaran membaca yang diperhatikan oleh ibu. Makharijul hurufnya, panjang pendeknya, dan tajwidnya juga beliau perhatikan. Maklumlah, dalam bahasa Arab, panjang pendek harakat serta pelafalan huruf bisa memengaruhi arti. Jadi, kalau ada yang salah, akan memengaruhi arti ayat yang dibaca.

Ibu tidak akan menambah membacakan ayat jika kami belum benar-benar lancar membacanya. Kalau hari itu belum lancar, berarti kami harus mengulang-ulang lagi besoknya. Setelah benar-benar lancar membaca ayat tersebut, barulah ibu menambah membacakan ayat berikutnya. Jika kami sudah lancar membaca, ibu akan meminta kami untuk membacanya langsung, tanpa contoh dari ibu. Awalnya kami membaca 2 hingga 3 ayat. Bergantung panjang pendeknya ayat. Setelah kami benar-benar lancar, kami boleh membacanya hingga satu maqra'. Jadi, ibu hanya menyimak saja, membetulkan jika ada yang kurang tepat. Hebatnya, saat menyimak anak yang sudah lancar membaca, ibu juga mengajari anak yang lain. Padahal, ibu bukan seorang hafizah.

Mungkin karena sering membaca dan mendengarkan, maka menyimak dua orang yang sedang membaca Al-Qur'an bukan hal yang sulit bagi beliau. Atau mungkin karena beliau seorang perempuan. Katanya, otak perempuan itu lebih banyak cabangnya dibandingkan laki-laki. Itu sebabnya, perempuan bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada waktu yang bersamaan.

Satu hal yang paling kami tunggu saat masih belajar mengaji waktu itu, yaitu mengkhatamkan belajar membaca Al-Qur'an. Rasanya bahagia dan bangga sekali. Tidak hanya kami. Tapi juga para orang tua kami. Karena itu, jika ada yang sudah khatam membaca Al-Qur'an, ia akan mengadakan syukuran. Syukurannya biasanya dengan membawa nasi uduk dan opor ayam. Nasi dan opornya diletakkan di atas daun pisang. Daun pisangnya itu juga dijadikan alas makan. Semakin menambah sedap dan nikmatnya. Yang istimewa, ayamnya bukan sembarang ayam. Tapi, ayam jago. Ah, jadi ngiler membayangkan lezatnya makan nasi uduk dan opor ayam.

Di samping mengajar anak-anak, ibu juga mengajar mengaji ibu-ibu. Para ibu yang sudah sepuh itu juga bersemangat untuk belajar. Meskipun hanya seminggu sekali. Biasanya mereka mengaji di siang hari. Lumayan juga yang ikut. Cukup membuat penuh ruang tamu yang berukuran sekitar 10 x 5 meter itu.

Meski saya telah dewasa dan menikah, ibu tetaplah menjadi guru bagi saya. Banyak hal yang beliau ajarkan. Terutama tentang kehidupan. Betapa pun, beliau telah merasakan asam garam kehidupan jauh lebih banyak daripada saya. Karena itu, saya tidak segan-segan bertanya kepada ibu jika ada sesuatu yang butuh pertimbangan orang tua. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. Sebab, pada tanggal 19 Januari tahun 2021 ini, Allah telah memanggilnya. Tentu, saya merasa sangat kehilangan. Kehilangan guru, teman, dan sahabat saya. Sekaligus juga kehilangan salah satu pintu rahmat yang dari lisannya senantiasa mengalir doa-doa baiknya. Semoga, segala hal yang telah diajarkan ibu kepada saya, ataupun ke orang lain, akan menjadi jariah ilmu baginya. Hingga pahala akan terus mengalir baginya. Aamiin.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Kasus Blok Wabu, Saatnya Menata SDA dengan Islam
Next
Berlomba dalam Kemaksiatan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram