"Rasa rindu itu terus bertambah, tak mampu terobati meski bertemu dalam mimpi. Semenjak kepergian Bapak, saya semakin sadar, bahwa menjaga keluarga dari api neraka itu bukan sebatas kata-kata. Namun, memang harus diupayakan sekuat tenaga agar cita-cita berkumpul kembali dengan keluarga kelak di surga benar-benar dapat terwujud nyata."
Oleh. Erni Susanti
NarasiPost.Com-Sudah beberapa tahun ini saya kerap dingatkan Facebook tentang mimpi-mimpi (kenangan) saya. Hal itu bahkan mampu memberikan semangat agar saya bisa terus mewujudkannya, meski tak jarang, saya diingatkan pada status lebay sebelum hijrah yang membuat saya malu sendiri. Namun, kenangan yang satu ini membuat saya termenung dan membawa ingatan saya berkelana jauh.
"… semoga kita berjumpa di Jannah-Nya. Aamiin."
Kalimat yang saya baca itu kemudian membawa ingatan saya pada Sabtu malam tanggal 13 Juni 2020. Malam itu, perawat yang menangani Bapak mencoba menguatkan kami semua. Meskipun secara tersirat, ia meminta kami untuk pasrah menerima apa pun yang telah dan akan terjadi. Sambil menahan air mata, saya sesekali memandang wajah Bapak yang tak sadarkan diri, sambil membayangkan apa yang sebenarnya terjadi?
Jum'at sore, saya dikabari oleh adik bahwa Bapak ditemukan pingsan di tengah sawah sendiri. Menurut pengakuan warga sekitar, siang selepas salat Jum'at itu memang cukup terik. Tidak ada yang bisa memastikan apakah Bapak terpeleset atau memang sedang pusing. Warga yang menemukan sudah melihat Bapak bermandikan lumpur, tak sadarkan diri dan terus mengigau.
Pada malam harinya, Bapak harus dirujuk ke RSUD Sumedang. Saya yang baru menjenguk keesokan harinya, sangat khawatir karena tahu Bapak mengidap penyakit jantung. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Bapak mengalami pecah pembuluh darah di kepala. Saya benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Saya hanya berharap, Bapak bisa kembali ke tengah-tengah keluarga.
Saya yang memiliki dua balita bergantian dengan suami untuk bisa masuk ke ruangan pasien. Akhirnya, saya harus sabar menunggu setiap kabar hanya dari rumah, dengan cukup melihat foto atau video. Di tengah wabah dan memiliki dua balita, tidak memungkinkan bagi saya untuk berlama-lama di rumah sakit.
Sebelum pulang ke rumah, saya menyempatkan mengecup keningnya. Ya Allah, ampuni hamba yang kerap lalai dalam berbakti kepadanya.
Saya ingat sekali, hampir setiap hari saya terus bertanya ke Mamah.
“Mah, bagaimana kondisi Bapak sekarang?”
Bahkan, hal itu bisa saya tanyakan lebih dari sekali dalam sehari. Pertanyaan itu yang terus saya tanyakan. Kondisi Bapak setelah menjalani operasi tampak belum stabil. Sekitar satu bulan, Bapak harus berada di ruang ICU. Kondisinya kala itu kadang baik, kadang esoknya menghawatirkan kembali.
Hingga pada tanggal 11 Juli 2020, saya mendapatkan kabar yang sangat membahagiakan. Saking bahagianya hingga Mamah mengabari dengan voice note di WhatsApp, karena sulit hanya diungkapkan dengan tulisan.
Bapak yang telah menjalani operasi di bagian kepala, akhirnya sadar. Ketika ditanya siapa yang ada di sampingnya, berapa jumlah anak, diminta menunjukkan bagian badannya, Subhanallah, Bapak bisa menjawab semua dengan benar.
Setelah sekian lama hanya menunggu kabar di rumah saja, akhirnya saya bisa menjenguk ke rumah sakit pada Ahad sore tanggal 19 Juli 2020, meski seperti biasa, saya harus bergantian masuk dengan suami. Saat menemui Bapak, saya tak dapat menyembunyikan rasa bahagia.
Sambil mencium tangannya, saya memandanginya tanpa kata. Tak lama, saya dibuat tertawa. Bapak meminta saya memaksa penjaga rumah sakit agar bisa membawa Rusyda, anak pertama saya yang berusia 2,5 tahun untuk masuk menemuinya. Saya kemudian hanya menguatkan Bapak agar bisa segera pulih, agar bisa bertemu Rusyda di rumah.
Kebahagiaan semakin bertambah ketika dua hari setelah saya menjenguk ke rumah sakit, ternyata Bapak sudah bisa pulang. Setelah bermusyawarah dengan keluarga, akhirnya untuk sementara Bapak pulang ke rumah nenek saya. Maka, ke sanalah setiap hari saya berkunjung.
Rumah nenek cukup dekat. Kalau naik motor, perlu sekitar dua puluh menit untuk bisa sampai di sana. Hingga pada Ahad 26 Juli 2020, saya dan suami ada kegiatan di tempat kerja hingga sore, menjadikan kami untuk satu hari itu tidak menemui Bapak. Menuju istirahat pada malam itu, saya berdialog dengan suami, tentang apa-apa yang terjadi pada kehidupan kami. Rasa syukur akan kondisi Bapak, hingga bayangan saya mencari tempat terapi agar Bapak bisa segera pulih. Akhirnya kami tertidur melepas penat.
Malam itu, saya benar-benar pulas karena aktivitas seharian, hingga panggilan telepon dari Mamah pun tidak bisa saya dengar. Saat subuh tiba, saya benar-benar terguncang. Saya kerudungi Rusyda, saya gendong Rahma yang masih berusia satu tahun. Tanpa banyak bicara, saya dan suami bergegas pergi.
Pagi itu, udara terasa sangat dingin. Saya melihat langit yang akan cerah, tetapi bulir-bulir air rasanya terus mengalir. Diiringi bacaan Al-Qur’an ibundanya tercinta, serta di tengah pelukan istri tercinta, Bapak yang sesaat kondisinya kembali menurun akhirnya kembali pada penciptanya. Bapak, semoga kita berjumpa di Jannah.
Sejak kepergian Bapak, rasanya sulit sekali menahan rindu. Semasa hidup bersamanya, saya jarang sekali ditinggal lama. Sekali Bapak pergi ke luar kota, hanya hitungan minggu. Ketika bekerja, saya masih menyempatkan diri untuk selalu bertemu. Bahkan ketika sudah menikah, Bapak yang sering menjenguk ke kontrakan saya dan suami.
Rasa rindu itu terus bertambah, tak mampu terobati meski bertemu dalam mimpi. Semenjak kepergian Bapak, saya semakin sadar, bahwa menjaga keluarga dari api neraka itu bukan sebatas kata-kata. Namun, memang harus diupayakan sekuat tenaga agar cita-cita berkumpul kembali dengan keluarga kelak di surga benar-benar dapat terwujud nyata.
Kini, setahun sudah episode-episode haru itu berlalu. Dalam hati, saya kadang masih bertanya-tanya, mengapa di usia ini saya harus mengalaminya? Sambil berurai air mata, saya baca kembali tulisan yang saya tulis tahun lalu itu.
Rusyda, yang kerap bertanya, "Abah mana?"
Rusyda sayang, orang yang kita tunggu, telah pergi lebih dulu …
Abah yang suka jenguk kita hampir setiap minggu …
Abah yang suka jemput kita kalau Abi sedang kerja ke luar kota,
Abah yang suka cubit pipi Rusyda kala berjumpa, kini tak akan ada lagi di tengah-tengah kita …
Mungkin, suatu saat Rusyda akan lupa, bagaimana Abah mengasuh Rusyda dan Ama, kala mampir ke rumah kita, sepulang kerja.
Mungkin, suatu saat Rusyda akan lupa, kalau Rusyda pernah berlari pada laki-laki selain Abi, menyambut setiap kedatangnnya, dengan girang lalu dipeluknya.
Mungkin, suatu saat Rusyda atau kita akan lupa, suara motornya yang khas, yang kita dengar terparkir di depan rumah, lalu kita kompak menyebutnya, Abah!!
Mungkin esok atau lusa, Rusyda masih akan bertanya, “Abah mana, Mi, Abah mana?”
Hari ini Ummi benar-benar merasakan suatu perasaan yang tak pernah terasa sebelumnya. Berkelebatan bayang-bayang masa kecil ummi.
Abah, semoga kita berjumpa di Jannah-Nya. Aamiin.[]