"Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak. Tanganku gemetar dan lututku lemas. Tanpa sadar air mataku jatuh seiring bibirku melafazkan asma-Nya. Rasanya tak percaya. Bukankah tadi kami masih saling sapa dan ia baik-baik saja? Aku pun menangis diam-diam khawatir teman-teman tahu. Tak lama siswa- siswaku datang. Aku segera membasuh wajah dan menenangkan diri."
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Menikah. Sebagai perempuan sudah pasti aku ingin melaksanakannya. Apalagi umurku sudah cukup untuk menggenapkan separuh agamaku. Tapi, Allah Swt belum juga mempertemukan dengan jodohku. Padahal aku tidak punya kriteria yang terlalu muluk untuk calon imamku. Aku hanya minta Allah Swt. pertemukan aku dengan laki-laki terbaik pilihan-Nya dan mendukung penuh aktivitas dakwahku.
Galau karena belum juga menikah kerap kurasakan. Terlebih lagi kalau ada adik kelas atau teman seprofesi yang lebih dahulu bersanding, rasanya sedih bukan main. Tapi, sudahlah, aku lebih suka menyibukkan diri dengan segala aktivitas daripada memikirkan kapan jodohku datang.
Sampai suatu hari, sahabatku ingin mengenalkan teman masa SMA nya kepadaku. Ta'aruf dulu katanya. Menurut sahabatku, temannya ini seorang aktivis dakwah, sudah bekerja, lumayan good looking dan sudah siap menikah. Awalnya aku ragu. Rasanya malas kalau nanti gagal lagi. Sakit hatinya itu lho yang sangat aku hindari. Padahal, aku juga belum tahu, apakah laki-laki ini jodohku atau bukan.
Akhirnya aku beranikan diri untuk menerima tawaran ta'aruf ini. Aku berikan data, nomor telepon, dan foto kepada sahabatku. Ah, nothing to loose saja pikirku. Kalau jodoh alhamdulillah, kalau tidak ya tak mengapa, aku berusaha menghibur diri. Aku pun sempat lupa dengan proses ini karena tenggelam dengan kesibukanku mengajar di bimbingan belajar.
Suatu hari, sebuah pesan masuk ke ponselku.
"Assalamu'alaikum. Afwan ukhti saya temannya Sopi. Boleh saya bertanya sesuatu pada ukhti?"
Ternyata pesan dari ikhwan teman sahabatku. Tanganku gemetar. Jantungku berdegup kencang. Astaghfirullah, segera aku mohon perlindungan kepada Allah Swt. agar tak tergelincir godaan setan.
"Silakan akh, apa yang mau ditanyakan," jawabku.
Kami pun berkomunikasi seputar aktivitas, asal daerah dan kondisi keluarga lewat pesan singkat.
"Ada lagi yang akan ditanyakan?", tanyaku.
Tak ada balasan. Ah, mungkin ia sudah mulai bekerja lagi pikirku. Aku pun mempersiapkan diri untuk mengajar. Hari ini aku mengajar tiga sesi hingga jam 8 malam.
Selepas magrib aku menunggu siswa-siswaku datang. Ting! Sebuah penanda pesan baru berbunyi di gawaiku. Ternyata ia menghubungiku lagi.
"Insyaa Allah sudah cukup ukhti".
Aku tersenyum membacanya. Sebuah jawaban atas pertanyaanku tadi siang. Pesan baru pun kembali masuk.
"Maaf,Teh, saya adiknya A Edi. Saya lihat ada pesan yang belum terkirim, jadi saya kirimkan ke Teteh. Mohon doanya, tadi siang Aa kecelakaan. Saat ini kondisinya kritis dan tidak sadarkan diri".
Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak. Tanganku gemetar dan lututku lemas. Tanpa sadar air mataku jatuh seiring bibirku melafazkan asma-Nya. Rasanya tak percaya. Bukankah tadi kami masih saling sapa dan ia baik-baik saja? Aku pun menangis diam-diam khawatir teman-teman tahu. Tak lama siswa- siswaku datang. Aku segera membasuh wajah dan menenangkan diri. Bismillah, seolah tak terjadi apa-apa aku mengajar seperti biasa. Sesekali bergurau dengan mereka dan terlupa dengan masalah yang baru saja terjadi.
Tiga bulan berlalu, ia sudah berada di rumah. Kondisinya membuat miris bagi siapa pun yang mengenalnya. Dia yang dulu aktif memberikan kajian keislaman, sekarang duduk tak berdaya di atas kursi roda. Sebagian besar ingatannya hilang, bahkan kepada Sopi yang menjadi teman baiknya ia tidak ingat, apalagi kepadaku. Padahal saat sadar dari koma ia sempat bertanya kepadaku apakah aku bersedia menunggunya hingga sembuh.
Manusia hanya bisa berencana, Allah jua yang berkehendak. Ia pun berpulang ke haribaan-Nya. Tuntas sudah amanahnya sebagai anak yang berbakti, kakak yang penyayang dan pejuang dakwah yang teguh. Banyaknya orang yang mengantar ke tempat peristirahatan terakhir menjadi bukti betapa banyak yang menyayanginya. Namun, Allah Swt lebih sayang kepadanya. Tenanglah di sana wahai akhi, berdiamlah di tempat terindah yang Allah janjikan bagi hamba-Nya yang beriman. Bidadari surga lebih layak mendampingimu daripada aku. Penuhilah seruan-Nya wahai akhi.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Kembali aku sendiri, menanti jodoh yang entah kapan bertepi. Sedih sudah pasti. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal tiba-tiba menyeruak ruang sepi.
"Teh, maafkan Aa kalau beliau tidak bisa memenuhi janjinya pada Teteh."
Aku tersenyum, kemudian membalasnya, "Tidak perlu minta maaf. Tidak ada yang salah. Saya dan Aa telah menjalani takdir-Nya. Saya ikhlas menerimanya".
Jodoh dan maut adalah rahasia Allah Swt. Tak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya. Musibah kadang terasa menyakitkan dan manusia membencinya. Namun di balik itu ada kebaikan yang Allah berikan kepadanya.
"…Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (Al-Baqarah: 216)
Wallahua'lam bishshawab
Al Fatihah untukmu akhi.[]
Photo : Pinterest
sedih kisahnya, tapi itulah takdir harus diimani dengan sepenuh hati. insyaAllah akan ada hikmah dibalik kesedihan tersebut