Bagi penduduk pedalaman seorang perawat maupun bidan layaknya dokter bagi mereka. Seorang “malaikat penyelamat” tak bersayap yang senantiasa siap sedia berada di garis terdepan, ujung tombak pelayanan bagi masyarakat.
Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Kontributor Narasipost.com)
NarasiPost.Com- Cerita ini bermula di tahun 2004, ketika itu aku masih mengabdikan diri di pedalaman Papua, tepatnya di Kampung Waho, distrik Kambrau, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Kalau boleh jujur, perawat bukanlah impian dan cita-citaku semenjak dahulu. Sebab dari kecil aku adalah sosok angkuh dan manja. Tentu saja hal tersebut sangat bertolak belakang dengan profesi mulia ini. Bagiku yang paling keren itu jika bisa mengenakan seragam cokelat alias menjadi polisi wanita (Polwan). Namun, perjalanan dan pengalaman telah mengantarkanku pada sebuah pemahaman baru dalam hidup. Takdir Ilahi telah berhasil memahat kepribadian dan juga menempa jiwaku untuk senantiasa loyal di dalam profesi. Sebab bagi seorang muslimah, menjadi seorang petugas kesehatan pun adalah wujud dari penghambaan serta totalitas yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Ilahi Rabbi.
Pagi itu, angin bertiup sangat kencang sampai-sampai atap rumah sebagian penduduk hampir copot. Di kampung ini rata-rata rumah penduduk menggunakan atap seng. Sehingga walaupun sudah dipaku mati dengan kuat nan kokoh, namun jika berhadapan dengan musim seperti ini, alam seakan-akan memberi kabar bahwa siapakah yang lebih perkasa dibanding Tuhan-mu, Rabb Sang pemilik alam semesta.
Semenjak pagi tadi, puskesmas kami sepi-sepi saja. Aku dan seorang rekan sejawat hanya duduk-duduk sambil mengamati gerimis yang mengguyuri dedaunan disertai gemuruh angin kencang yang bertiup di luar sana.
“Kakak, angin paleng kencang di luar e.” Begitu kata juniorku
“Iya ade Linda, cuaca begini ini nanti de hantam sampe 6 bulan ke depan kapa.” jawabku sambil memandangi fenomena alam yang kian ekstrem.
Sementara tengah berdiskusi tentang alam yang tak kunjung reda, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara seseorang. Beliau adalah pasien pertama kami. Begitu pikirku.
“Selamat pagi, Kakak suster!”
“Selamat pagi Bapak, bagemana….ada yang bisa sa bantu ka?”
“Oh trada kaka, bapa pu anak ini de ada sakit su hampir 1 minggu di rumah. De panas tinggi baru muntah-muntah, de makan tapi muntah lagi kaka. Baru mama bilang ade ini de ada main di belakang rumah pas hujan-hujan jadi, bapa kira de kena barang tara bae.” si bapak mulai memberi keterangan panjang lebar.
“Hmmm, baik Bapak. Nanti sa deng sa pu teman tong pi liat ade di bapak pu rumah e. Tong siap obat deng alat-alat dulu e Bapak.”
Tanpa tunggu lama lagi aku dan sejawatku bergegas menuju rumah si bapak.
Rumah beliau memang lumayan jauh dari
puskesmas. Apalagi letak puskesmas yang berada di ujung kampung. Seharusnya memang posisi idealnya adalah terletak di tengah perkampungan, sehingga lebih memudahkan penduduk untuk mengakses pelayanan kesehatan.
“Selamat pagi Mama, Adik. Sio, Adik su sakit berapa lama ini kah, muka pucat sekali e. Baru Kakak raba Adik pu kepala panas sekali e. Coba Kakak periksa adik dolo e.”
“Adik de su sakit hampir mau 1 minggu ini kapa Kakak Suster. Baru de makan minum tapi muntah terus jadi de macam loyo begitu ka.” ibu si pasien mulai memberi keterangan.
“Baru Adik ko rasa apa yang sakit ka?” sejawatku mulai bertanya kepada pasien kami. Namun, yang ditanya hanya meceracau tak karuan. Dia berbicara, namun kami tak paham apa yang dibicarakannya.
“O iya Kakak Suster, adik ini de tara bisa bicara macam Kakak dong. De mono.” si bapak kembali memberi keterangan. Namun, si pasien kecil kami mulai menunjuk perut dan kepalanya. Tampaknya di bagian itu yang sakit.
“Bapak, sebelumnya Kakak minta maaf e, Adik tidak bisa bicara ini sejak kapan e?” Aku kembali bertanya.
“Oh, Adik ini de su tara bisa bicara dari waktu kecil itu.” kali ini si ibu yang memberi keterangan.
Walhasil, kami hanya menerka di mana sakit yang dirasakan oleh pasien kami.
“Baru Adik pu nama sapa ka?” kali ini aku yang bertanya. Yang dijawab langsung oleh ibunya.
“De pu nama Joana. De umur 8 tahun Kakak.”
“Baik Mama, kalo begitu sa periksa Adik Joana dulu e.”
Sementara aku memeriksa si adik yang sakit, sejawatku mulai merangkai selang infus dan mengeluarkan obat serta peralatan satu per satu.
“Sudah Kak, ini tinggal dipasang infusnya saja.”
“Oh iya, Sip ade Lin. Makasih e!”
Karena si pasien panas dan kekurangan cairan maka kami memasang cairan RL (Ringer Laktat) guna mengembalikan cairan tubuhnya. Tampak pula turgor kulit yang sedikit menurun pun membran mukosa bibir yang mengering. Ditambah lagi dengan mata pasien yang cekung, sclera ikterik serta pucat. Setelah memeriksa daerah abdomen, terasa dengan jelas adanya pembesaran pada beberapa kuadran perut. Hepar serta lien si pasien ikut membesar pula. Aku mulai menegakkan diagnosa. Pasien kita terserang malaria klinis.
Tahun-tahun itu, petugas kesehatan sangat minim. Jangankan dokter, bahkan perawat dan bidan pun bisa dihitung dengan jari. Sehingga dalam kondisi seperti ini, kami dituntut agar dapat meng- handle beban kerja yang ada. Rata-rata satu kampung diisi oleh 200 hingga 300 KK (kepala keluarga). Oleh sebab itu, bagi penduduk pedalaman seorang perawat maupun bidan layaknya dokter bagi mereka. Seorang “malaikat penyelamat” tak bersayap yang senantiasa siap sedia berada di garis terdepan, ujung tombak pelayanan bagi masyarakat. Namun, adakalanya dalam pelayanan kami pun senantiasa mendapat kritik dari masyarakat setempat. Entah itu disebabkan oleh ulah si petugas kesehatan itu sendiri yang lama berada di kota atau karena alasan lainnya. Kami senantiasa dituntut untuk tampil sempurna dengan pelayanan prima di tengah kurangnya sarana dan prasarana serta kesendirian di tempat tugas.
Namun, semua itu tak jadi soal, justru menjadi “cambuk” tersendiri bagi pribadi kami, guna memberikan yang terbaik bagi warga Papua. Khususnya yang berada di pedalaman Kabupaten Kaimana.
“Bapak, adik ini harus dirujuk ke kota e. De su lemas sekali. Baru tong pasang dia infus ini cuma pake jarum kecil wing jadi kalo de bergerak tanpa ada yang mengawasi, bisa-bisa de pu tangan bengkak karena tatusuk di urat bapa. Apalagi di sini tra ada dokter to bapa, lebe bae tong antar adik ke kota saja supaya dong bisa periksa de pu darah di laboratorium. Supaya tau adik sakit malaria jenis apa, supaya obat yang dikasih juga tepat to bapa..!” Aku mulai memberi penjelasan lagi.
“Betul itu Bapak, apalagi ade punya sakit su lama. Baru datang berobat, jadi lebih baik ke kota saja e Bapak. Supaya dokter bisa periksa adik dengan lebih teliti lagi.” juniorku menambahkan penjelasan kepada si bapak.
“Iya, itu sudah Kaka Suster. Bapa sebenarnya juga mau bilang begitu ke Kakak Suster dorang tapi, ini air baru bagarak naik jadi ombak masih besar skali Kakak. Nanti tong tunggu siang sedikit bole. Pas air meti biasanya ombak su agak kurang sedikit. Ini juga bapa pu bensin tinggal 5 liter jadi, nanti Bapak pi coba minta di bapa desa ka, orang kampung di bawah sana dolo e. Mudah-mudahan bisa dapat tambah 10 liter supaya tong langsung sandar di Coa saja. Jang di Tanggaromi.”
“Baik Bapak, kalo begitu sa balik siap laporan rujukannya dulu e. Nanti tong dua adik Linda antar ade Joana ke puskesmas kota langsung.”
Siang hari mulai merambah. Tepat pukul 14.15 WIT kami pun berangkat menuju kota. Tiang infus disematkan pada sebuah bambu yang ditancap di tengah-tengah perahu. Joana, pasien kecil itu tampak sudah lemas dan tidak banyak berbicara (dalam bahasa isyarat).
Pasien kami ditempatkan di dalam perahu yang terlebih dahulu di alas oleh selembar terpal biru. Kemudian diselimuti lagi dengan terpal lainnya. Semua itu dilakukan agar kami (saya, adik junior dan juga pasien) tidak basah terkena riak air gelombang. Tapi jujur saja, justru berada di dalam terpal itu membuat kami tambah pusing dan mual, apalagi dengan perahu yang oleng maka lengkaplah sudah. Mabuk laut. Akhirnya kami sepakat keluar dari tumpukan terpal sambil menghirup udara segar dan riak gelombang yang tak puas membasahi wajah hingga sekujur tubuh kami. Keadaan kami kini basah kuyup, layaknya seekor kucing yang terkena air hujan.
Hampir 2,5 jam perjalanan di tengah angin kencang dan gelombang laut yang datang silih berganti disertai arus bawah laut yang demikian derasnya. Sampailah kami di Kampung Coa, sebuah desa di ujung Kabupaten Kaimana.
Lega sudah hati ini. Itu artinya tinggal selangkah lagi kami tiba di puskesmas induk. Bergegas adik juniorku menemui sang sopir yang kebetulan sedang memarkir angkotnya di dekat dermaga tempat perahu kami merapat. Setelah melakukan negosiasi beberapa menit, maka harga pun ditetapkan. 150 ribu rupiah biaya yang diminta. Tanpa membuang banyak waktu, kami membopong si pasien ke atas angkot untuk segera menuju puskesmas induk.
Akhirnya si adik kecil Joana, pasien kami yang lemas dan rapuh, tertangani dengan baik oleh rekan-rekan di puskesmas induk. Alhamdulillah, rasanya plong hati ini. Satu beban teratasi sudah. Dengan demikian maka itu berarti kami berdua harus “siap tempur” lagi. Kembali ke Kampung Coa untuk kemudian menantang gelombang lautan menuju tempat tugas kami, kampung Waho.
Kaimana, 3 September 2022.
.
.
Catatan Kaki:
Paleng : paling
Sa : saya
Sa pu : saya punya
Pi : pergi
Tong : kitorang/kita
Dong: dorang/mereka
Bapa : Bapak
Ade : Adik
De : dia
Kaka : Kakak
Pu : punya
Dolo : dulu
Raba : menyentuh
Tara bisa : tidak bisa
Trada : tidak
Tra : Tara/tidak
Liat : lihat
Su : sudah
Kapa : sepertinya
Ko : kamu
Ka : kah
Mono : bisu/tuna rungu
E : kata sapaan seperti ”ya”/penegasan kalimat
Tatusuk : tertusuk
Bagarak: bergerak
Air meti : surut
Pake : pakai
Tatusuk: tertusuk
Bapa Desa : Bapak Kepala Desa
Barang tara bae : konotasi/istilah untuk sesuatu yang gaib (hantu/jin dll)[]