Kisah Anak Korban Kapitalisme

"Sejak itulah, perasaan kecewa berkecamuk di hatinya. Sang ayah pun menceritakan itu kepada istrinya, ibu si anak. Yang kemudian si ibu bercerita kepadaku. Ah, miris memang! Di tengah kehidupan kapitalisme yang mendewakan materi seperti hari ini, anak-anak pun harus terpapar oleh pemikiran materialistik. Kebahagiaan diukur dengan kemewahan materi semata."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com- Seorang ibu setengah baya bercerita kepadaku, air mukanya diselimuti lara. Sorot matanya memancarkan luka. Sesekali ia tertunduk lesu sambil kembali merangkai kata demi menuntaskan ceritanya.

"Makanya kami sedang mencari pondok pesantren Mba, supaya dia bisa dipindahkan sekolahnya dari situ." ujar sang ibu. Aku bisa merasakan betapa gundahnya ia mendapati sang anak yang baru berusia 10 tahun terpapar pemikiran kapitalisme.

Sebagaimana yang diceritakannya, sang anak yang bersekolah di salah satu sekolah swasta ternama di kota ini, mendadak menolak saat ayahnya menjemputnya ke sekolah.

"Abi, mulai besok jemputnya jangan di gerbang sekolah ya, agak jauh saja." Kata sang anak kala itu.

Sang ayah jelas bingung mengapa anaknya tiba-tiba mengatakan demikian, padahal biasanya tidak ada masalah.

"Aku malu Bi, teman-teman yang lain dijemput orang tuanya pakai mobil, masa aku cuma pakai sepeda."

Jleb. Terang saja sang ayah kaget mendengar perkataan anaknya itu. Sejak kapan ia merasa malu dengan kondisinya yang memang hanya memiliki satu sepeda tua untuk transportasi jarak dekat? Sebetulnya motor ada, tetapi sehari-hari dipakai oleh kakaknya yang pertama untuk bekerja.

"Kenapa harus malu?"

"Ya malulah, teman-temanku punya mobil bagus-bagus, cuma aku sendiri yang nggak punya mobil. Memang Abi nggak bisa beli mobil?" nada bicara si anak mulai meninggi, membuat hati sang ayah dilanda gerimis.

Sejak itulah, perasaan kecewa berkecamuk di hatinya. Sang ayah pun menceritakan itu kepada istrinya, ibu si anak. Yang kemudian si ibu bercerita kepadaku. Ah, miris memang! Di tengah kehidupan kapitalisme yang mendewakan materi seperti hari ini, anak-anak pun harus terpapar oleh pemikiran materialistik. Kebahagiaan diukur dengan kemewahan materi semata.

Jelas pemikiran ini sangat berbahaya bagi seorang muslim, karena menghilangkan hakikat kebahagiaan sejati yang harusnya tertanam dalam konsep hidupnya. Ya, bagi seorang muslim kebahagiaan itu diukur dengan ketentraman jiwa yang tentu saja berkorelasi dengan kedekatan kita kepada Allah Swt. Adapun ketentraman jiwa tidak bisa ditentukan dari melimpahnya harta benda. Buktinya banyak di luar sana, orang-orang yang berkelimpahan harta namun merasa tak bahagia. Hidupnya justru diliputi masalah, jiwanya pun selalu resah.

Maka, kunci ketentraman jiwa adalah hati yang senantiasa mengingat Allah Swt di setiap helaan napas. Akhirnya, dengan itulah kita takkan pernah merasa resah, sebab yakin bahwa Allah senantiasa membersamai. Sebagaimana terekam dalam firman Allah Swt, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram." (TQS.Ar-Rad:28)

Adapun dengan terus mengingat Allah juga akan menjadikan kita merasa qona'ah, yakni menerima dengan ikhlas apa pun yang telah menjadi ketetapan Allah atas diri kita. Baik buruk berasal dari Allah. Walhasil, kita akan senantiasa bersyukur terhadap apa pun yang menjadi bagian kita di dunia. Tidak merasa minder apalagi iri terhadap pencapaian orang lain. Ingatlah, sejatinya Allah telah menakar rezeki setiap makhluknya berbeda-beda, tidak akan tertukar. Dan setiap rezeki yang Allah berikan kepada kita wajib disyukuri, sedikit atau pun banyak. Itulah yang membuat hati kita menjadi lapang, tidak mudah stress apalagi depresi karena membayangkan hidup di posisi orang lain. Maka, Rasulullah Sang Teladan kaum muslimin telah mengajarkan kepada kita, “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Muttafaqun Alaih)

Dari cerita sang ibu kepadaku tadi, aku semakin yakin betapa dahsyatnya godaan kapitalisme bermanuver merusak pemikiran kaum muslimin, termasuk anak-anak. Jika dibiarkan, mereka akan tumbuh menjadi generasi berorientasi materi yang krisis jati diri sebagai muslim sejati. Benarlah adanya, kita wajib menjadikan hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim berikut sebagai prinsip dalam hidup kita, ”Bukanlah kekayaan itu karena banyak harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.”

Akhirnya anak si ibu tadi memang benar dipindahkan dari sekolah tersebut ke sebuah pondok pesantren di luar kota. Namun, berdasarkan informasi terakhir, kondisinya tak lebih baik, si anak justru dikabarkan sering kabur dari pesantren karena merasa terkekang dengan kehidupan pesantren yang serba diatur dan gaya hidup sederhana. Lihatlah, betapa daya rusak kapitalisme sedemikian dahsyat bagi seorang individu, bukan? Apalagi bagi peradaban. Jadi, masih mau mempertahankannya?[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pola Pikir dan Keimanan
Next
Menjalani Fitrah atau Melawan Fitrah? Mesti Dipertanggungjawabkan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Juharini
Yuli Juharini
2 years ago

Setiap tulisan Mba Hana selalu mantul.
Setiap permasalahan yg ada di dunia ini semua terkait sistem. Klau sistemnya rusak, berharap adanya generasi madani, ibarat jauh panggang dari api.
Dua jempol untuk Mba Hana! Barakallah.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram