Pengen Nikah (part 1)

"Moso, Emak dibilang cantik. Emang sih, walaupun sudah tua, Emak masih keliatan cantik," kata Emak, sambil menutup mulutnya, terkekeh sendiri.

Oleh: Rita Handayani
Penulis dan Pemerhati Publik

NarasiPost.Com-Aduh senangnya pengantin baru
Duduk bersanding bersenda gurau
Duhai senangnya pengantin baru
Duduk bersanding bersenda gurau
Bagaikan raja dan permaisuri
Tersenyum simpul bagaikan bidadari
Duhai senangnya menjadi pengantin baru

Musik pengiring pernikahan ini membuat hati Joko yang duduk di atas pelaminan, semakin berdebar tak menentu.

Malam kian pekat. Tamu undangan berangsur mulai menghilang. Tinggallah keluarga dan tim panitia.

Tiba-tiba saja Joko sudah berada di kamar. Hatinya berdesir kencang kala melihat sesosok wanita yang masih lengkap dengan gaun nikah dan wajah tertutup cadar. Perlahan Joko mengangkat tangan, menuju ke cadar pengantin wanita di depannya.

Tangan Joko gemetar. Lidahnya kelu, tak mampu bersuara sepatah kata pun. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, tak mampu dikendalikan. Nafas jua tak mengalir sempurna, membuat sesak tak beraturan.

Jemarinya sudah berada di tepi kanan cadar sang pengantin wanita. Pelan-pelan Joko menurunkan cadar si pengantin wanita. Rasa penasarannya semakin membuncah. Saat cadar itu mulai turun perlahan dari wajah pengantin wanita, Joko memejamkan mata, setelah itu membuka mata perlahan.

"Kau, seperti orang yang kukenal," bisik Joko dengan lembut.

"Kecantikanmu menyerupai ibuku," tukasnya dengan pandangan masih remang-remang, gamang.

"Jo, bangun, sudah Zuhur!" Suara itu menghentakan kesadaran Joko. Matanya terbelalak kaget.

Dilihatnya wajah yang sangat dia kenal. Ia mengingat-ingat. Joko Terperanjat, kala kesadarannya telah kembali dari alam tidurnya.

"Emak!" wajah Emak memenuhi cakrawala matanya.

"Sudah Zuhur, Le, segera bangun,  toh," seru Emak, yang sedang duduk di samping kasur tempat Joko tidur.

"Kamu itu mimpi apa?" Emak mengelus kening Joko yang sudah bujang, tetapi masih dianggapnya anak kecil.

"Moso, Emak dibilang cantik. Emang sih, walaupun sudah tua, Emak masih keliatan cantik," kata Emak, sambil menutup mulutnya, terkekeh sendiri.

"Astaghfirullahal'azim." Joko meraupkan kedua tangan di wajahnya.

"Semua itu mimpi?" gumamnya dalam hati

"Azan sudah selesai. Sebentar lagi komat. Kamu mau salat di surau, tidak? Ndang toh, bangun." Emak retoris.

"Sekalian, siap-siap. Kata Bude Ni, mobil rombongan pengantin berangkat pukul enam pagi, khawatir kena macet. Kamu, kapan nyusul Ridwan? Emak dan Bapak sudah pengen ngunduh mantu dan gendong cucu. Kalau ndak bisa nyari sendiri, nanti Emak yang nyarikan, bagaimana?" sambung Emak.

"Nanti kita sambung lagi obrolannya, Mak. Jo siap-siap mau ke surau, salat Subuh dulu, nggih," jawab Joko, berupaya untuk menghindari serangan Emak yang mempertanyakan jodoh setiap kali berbincang. Sambil mengubah posisi duduknya, ia berdiri dan keluar kamar.


Mobil sudah berjejer di pinggir jalan kala Joko pulang dari surau, usai salat subuh. Joko berjalan di sepanjang barisan mobil itu. Bus mini dilewatinya kemudian lima mobil di depannya pun dilewati. Joko berhenti di mobil paling depan, BMW X6 yang akan membawa pengantin laki-laki menuju tempat pelaminan. Ia adalah Ridwan, sepupu sekaligus teman terbaiknya, yang hari ini sedang mempersiapkan penampilan terbaik dan menata hati untuk berikrar suci di depan penghulu, menikah.

"Jo, sini sarapan," teriak Bude Ni, ibunya Ridwan, saat melihat Joko dari balik mobil BMW X6 di depan rumahnya.

"Nggih … De," sahut Joko, yang tak lama kemudian menghampiri rumah Bude Ni.

"Ndang sarapan sek, sebentar lagi kita berangkat. Itu Ridwan ada di kamar," jelas Bude Ni.

"Nggih, Bude," jawab Joko sambil melaju ke kamar Ridwan.

"Assalamualaikum. Weh … pengantin, piye kabare? Dag dig dug, ndak?" ledek Joko ke Ridwan yang sedang memakai jas warna hitam di depan cermin.

"Kepo, yoh? Ndang atuh … nyusul, biar tahu rasanya gimana. Lebih berdebar daripada saat mau wisuda," tukas Ridwan sambil tertawa.

"Tenang aja, Bro, sebentar lagi gue susul pake Lamborghini." Joko tertawa gelak sambil meninju ringan pundak sepupunya yang sudah terbalut jas hitam.

"Ah … antum mah, terlalu pemilih. Jangan beratkan kriteria dalam mencari pasangan, kasihan ustaz yang mencarikan." Ridwan kembali tertawa.

Ridwan tahu betul perjalanan proses yang terjadi pada sepupunya. Joko sudah pernah taaruf hingga lima belas kali gagal. Joko sendiri yang menggagalkannya karena tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan.

Selain paham agama dan salehah, gadis itu harus hafiz Qur'an, kaya, tinggi badan 152-156 cm, putih, cantik, umur 23-25 tahun, pintar, minimal S1. Semua kriteria itu membuat Joko kesulitan mendapatkan calon pasangan hidup.

Banyak ustaz yang membimbingnya menyerah dalam mencarikan jodoh sesuai dengan yang diinginkan Joko. Banyak nasihat sudah dilayangkan, baik oleh para ustaz pembimbing maupun teman-teman di komunitas mengaji, hingga ada yang berucap,

"Antum itu nyari istri atau nyari bos? Antum mencari artis buat bintang film?"

Namun, Joko tetap bersikeras dan tidak menggubris semua. Joko mengingat-ingat jawabannya kala itu.

"Kalau bisa mendapatkan semuanya, kenapa tidak?"

Namun, kini usianya tidak semuda dulu. Waktu terus melaju. Joko sekarang sudah genap tigapuluh tahun, membuatnya mulai berpikir, jika terus kukuh dengan standar calon pendamping hidup yang harus super sempurna, apakah ia akan mendapatkannya? Bagaimana kalau tidak mendapatkan sesuai dengan idealisme yang diharapkan? Mulailah ada kehawatiran, bisa-bisa menjomlo seumur hidup.

"Ayo … ayo, ndang makan dulu biar bertenaga." Bude Ni masuk ke kamar dengan membawa dua piring nasi, lengkap dengan lauk dan sayur, membuat buyar lamunan sesaat Joko.

"De, ini gimana, masih ada yang mau dibawa nggak?" tanya seorang anak gadis yang sedang membantu angkut-angkut ke mobil barang bawaan untuk dibawa ke tempat mempelai perempuan.

"Yoo … sek, Nduk," jawab Bude Ni ke anak gadis itu.

"Selesai sarapan, segera siap-siap yo, Le, khawatir macet di jalan," titah Bude Ni kepada Ridwan dan Joko sambil berlalu dari kamar anaknya.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Rita Handayani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Terjajah dalam Kapitalisme, Merdeka dengan lslam
Next
Sabar dalam Bermetamorfosis
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram