"Kemerdekaan bangsa pada hakikatnya bukan terbebas dari belenggu penjajahan bangsa lain namun saat ruh kehidupan bangsa bangkit dan rakyat bisa mengenyam arti sebuah kesejahteraan hidup.
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi Pelaksana NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Suasana peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia hampir dua tahun ini begitu berbeda. Tak ada keriuhan seperti tahun-tahun sebelum adanya pandemi Covid-19. Tawa riang anak-anak yang menyemangati temannya yang sedang mengikuti lomba 17an kini tak terdengar lagi. Pun tepuk tangan dari para bocah mungil tatkala namanya disebut sebagai pemenang lomba makan kerupuk, memasukkan pensil ke botol, membawa kelereng dengan sendok yang digigit, serta lomba-lomba lainnya, tak lagi ada. Semuanya terkubur oleh mencekamnya pandemi di negeri ini.
Ya, aku masih ingat sekitar dua tahun lalu, anak-anak di sekitar tempat tinggalku begitu antusias mengikuti perlombaan yang diadakan oleh ketua RT masing-masing. Maka, yang terekam olehku adalah setiap 17an pasti ramai. Ya, memori itu sudah terekam erat dalam benakku bahkan sejak aku masih anak-anak. Bagiku yang saat itu masih bocah, perayaan 17 Agustus itu sangat dinantikan, seru, dan menyenangkan. Selain bertabur banyak hadiah, juga banyak hiburan yang disajikan di lingkungan tempat tinggalku. Setiap momen 17an, aku suka mengikuti lomba menari bersama teman-temanku di lingkungan tempat tinggalku. Kami juga ikut lomba sepeda hias dan lomba-lomba lainnya yang diadakan. Rasanya menyenangkan sekali!
Namun, seiring bertambahnya usia dan pemahaman, aku semakin menyadari bahwa euforia kemerdekaan sebetulnya menyimpan makna semu akan makna kemerdekaan itu sendiri. Kemudian sejenak aku berpikir, tawa anak-anak dalam perlombaan itu begitu tulus memancar dari hatinya yang bahagia. Namun, mereka belum memahami bahwa perayaan yang mereka ikuti hanyalah sebuah seremonial. Karena kenyataannya, negeri ini belumlah merdeka.
Ya, 76 tahun Indonesia mengklaim diri sebagai bangsa yang merdeka, namun nyatanya penduduknya masih dicengkeram oleh derita. Lantas, aku kembali mengingat wajah-wajah penuh duka yang satu dua berlalu-lalang di tengah keriuhan perayaan kemerdekaan itu. Dengan wajah memelas dan pakaian kumal penuh tambalan, mereka menengadahkan tangan mengharap belas kasihan. Inikah yang dinamakan bangsa merdeka? Rakyat jelata masih banyak yang berkubang dalam kelaparan, sementara para borjuis sibuk menghitung asetnya. Luar biasa. Ah, malu aku teriak merdeka!
Belum lagi, tatkala aku bepergian ke rumah ibuku di tengah kota, terlihat di sudut-sudut kota, pengemis duduk menanti recehan. Di lampu merah, anak-anak tanpa alas kaki 'menggelar panggung' memetik ukulele sambil bernyanyi sumbang di sisi mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu merah. Inikah yang disebut bangsa merdeka? Sementara potret kemiskinan di negeri ini tergurat sangat nyata. Rakyat kelaparan tak terhitung jumlahnya, lebih-lebih di masa pandemi yang tak berkesudahan ini. Ah, nasib rakyat jelata kian di ujung tanduk.
Belum lagi tatkala kudengar sendiri seseorang yang bercerita kepadaku tentang anaknya yang terpaksa harus dinikahkan dengan pacarnya karena telanjur hamil. Padahal sang anak belum siap jadi ibu, pun sang lelaki belum siap jadi suami apalagi jadi ayah. Namun, kasus tersebut bukan hanya menimpa mereka, di luar sana masih banyak kasus serupa yang bertebaran tak terkendali. Inikah yang disebut bangsa merdeka tatkala jutaan generasinya tersandera budaya liberal nan hedonis? Ketika generasinya tak lagi malu-malu menjual harga diri dan menenggelamkan seluruh potensi masa depannya. Sungguh, malu aku teriak merdeka!
Sungguh, hatiku kian menciut tatkala kusaksikan aneka perayaan HUT RI digelar gegap gempita, sementara potret negeri ini kian gulita. Sejahtera seakan jauh dari harapan, sementara jurang kesenjangan menganga kian lebar. Yang kaya kian sejahtera, sementara yang miskin kian melarat. Utang negara menggunung, rakyat pula yang menanggung. Akhirnya, nasib rakyat harus digantung, sudah jatuh tertimpa pajak. Ah, sungguh malu aku teriak merdeka!
Inilah hakikat negeriku. Terjajah meski senantiasa bernarasi tentang sebuah kemerdekaan. Benar, tak ada lagi serdadu menenteng senjata lalu menumpahkan darah di bumi pertiwi, namun mereka menjajah kita lewat ideologi, pemikiran, dan budaya. Sayangnya, banyak yang tidak menyadarinya.
Sampai ketika kutuliskan cerita ini, dadaku terasa sesak mengingat segala problematika yang membelit negeri tercinta ini. Tetapi aku yakin akan tiba sebuah masa ketika negeri ini diliputi kemuliaan dan keberkahan. Ya, masa itu akan tiba ketika negeri ini mendekap erat aturan yang datang dari Rabb semesta alam. Sebagaimana yang tertuang dalam janji-Nya:
"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (TQS.An-Nur:55)
Dia tak pernah ingkar janji, maka songsonglah janji-Nya dengan kita berjuang menegakkan kalimat-Nya. Kelak, kibar kemerdekaan akan bisa kita saksikan secara nyata di bawah naungan panji-Nya. Merdeka! Allahu Akbar!!!![]