Dunia Pesantren yang Kurindukan(Part 2)

"Umat dan Islam membutuhkan pejuang yang memiliki idealisme yang mampu menguasai dunia kampus baik dengan perkuliahan dan organisasinya, serta dunia pesantren dengan ilmu dan aktivitas di dalamnya."

Story by Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan alumni pesantren)

NarasiPost.Com-Melihat tumpukan kitab kuning di dalam kardus di bawah ranjang kasur, saya tertegun. Ada rasa sesal dan sesak di dada, mengapa dulu saya tidak melanjutkan mengaji di pesantren. Dalam hati saya bertekad, lulus SMA harus kembali mengenyam dunia pesantren, bagaimanapun caranya. Tak terasa, menetes air mata karena rasa penyesalan yang begitu mendalam. Aku rindu pengajian di pesantren, tadarus Al-Qur'an dan menghafal nizam (sya'ir dalam bahasa Arab).

Lulus SLTP di tahun 1999, saya tidak melanjutkan ke pesantren, tetapi pulang kampung di Banten. Saya sekolah di SMUN 2 Krakatau Steel dan menikmati perjalanan sekolah pulang-pergi naik angkot dengan jarak yang lumayan jauh. Cilegon, kota industri yang sangat panas dan berdebu. Sekolah itu tak kalah bersaing dengan kota lain yang ada di Provinsi Banten.

Lulus sekolah menengah, seperti kebanyakan siswa pada umumnya, saya mengikuti UMPTN untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Selain itu, saya mencoba daftar jalur lain yaitu di IAIN Bandung (sekarang UIN). Tertarik dengan gaya dan isi ceramah Aa Gym, saya berencana kuliah di IAIN sambil mondok di pesantren DT. Ini plan kedua, jika tak lolos UMPTN karena tak mungkin jika harus menunggu UMPTN tahun selanjutnya, sementara orang tua berharap saya kuliah di PTN, bukan PTS.

Qadarullah, saya tak lulus UMPTN dan akhirnya mengambil pilihan kuliah di IAIN. Saat itu, saya bertemu dengan seorang akhwat yang bermukim di pesantren, lalu mencari tahu agar saya bisa tinggal dan menimba ilmu di sana. Beliau senior di kampus dan di pesantren. Setelah tahu di mana tempat pesantren tersebut, langsung saya memilih sebagai tempat tinggal selama kuliah di Bandung.

Saya berharap, di pesantren ini bisa menebus apa yang tertinggal di masa lalu. Memulai kembali dari dasar, bagi saya tak mengapa. Saya menggali kembali memori. Alhamdulillah, masih tersimpan walau sedikit, terutama ilmu Nahwu dan Sharaf. Entah mengapa saya begitu jatuh hati pada ilmu ini. Bedanya, di pesantren ini saya banyak belajar mempraktikkan apa yang pernah didapat dulu.

Misalnya, ketika membaca kitab gundul, ditanya oleh Pak Ustaz,

"Kunaon, Sher, dibacana rofa?"

Saya menjawab, "Karena janten fa'il." Kalau jumlah (kalimat)-nya fi'liyah.

Jumlah fi'liyah diawali kalimat fi'il (kata kerja). Walau deg-degan setiap ngaji karena takut tidak bisa menjawab ketika ditanya Pak Ustaz, tetapi suasana menegangkan ini seru. Sering Pak Ustaz ngetes saya, dan saya lebih terlatih.

Semester tiga, saya mulai sibuk dengan aktivitas organisasi di kampus. Jadwal padat merayap. Saya pun cukup kesulitan membagi waktu, mengaji di pesantren, kuliah dan organisasi di kampus. Jadwal mengaji pagi diupayakan ikut sebelum kuliah, jadwal mengaji sore diupayakan ikut setelah kuliah di kampus.

Suasana antre di kamar mandi sangat dirindukan, pemandangan yang biasa di dunia pesantren. Apalagi ketika kemarau panjang, kadang tidak mandi. Kadang saya dapat air hasil mengantre hanya satu ember, lalu didiamkan semalaman. Ini bisa untuk wudu, buang hajat dan mandi. Sambil antre air, kadang saya isi dengan membaca buku agar waktu tidak sia-sia.

Katanya tidak disebut santri jika tidak merasakan sakit kulit (gatal-gatal/budug: Sunda). Saya pun pernah merasakan ini, gatalnya luar biasa dan lama. Tak mengapa, semua dijalani dan dinikmati sebagai santri dan perantau. Jadwal mengaji bakda Maghrib pun diupayakan bisa ikut, walau terasa lelah setelah aktivitas seharian.

Sampai selesai S1, saya jarang bolong mengaji karena komitmen ingin kembali di dunia pesntren dengan segala apa yang ada. Namun sayang, ketika saya melanjutkan pendidikan S2, saya kesulitan mengatur waktu dan tenaga. Ritme dan mekanisme kuliah S2 tidak sama dengan S1. Saya sering dikejar deadline tugas kuliah.

Kalau dulu di S1 buat makalah perkelompok. Namun, di S2 makalah menjadi tugas masing-masing individu. Belum lagi kalau jadwal presentasi harus print dan perbanyak makalah sebelum masuk kelas.

Malam, saya gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah agar subuh selesai. Sebelum makalah dibuat, harus mengumpulkan referensi dan dibaca terlebih dahulu. Waktu yang dibutuhkan lumayan, karena hampir tiap hari dikejar deadline.

Padahal, saya menanti kitab paling tinggi tentang nahwu, yaitu kitab Alfiyah. Saya ketinggalan banyak dan mulai tidak fokus untuk bisa mengejar dan mempelajari kitab Alfiyah. Memang benar, kita harus punya idealisme tinggi yaitu sebagai bagian dari pejuang Islam. Tak hanya dibutuhkan tsaqofah Islam yang banyak, tetapi juga organisator sejati hingga mampu mengatur dengan baik segala sesuatunya, termasuk memanage waktu dengan baik.

Namun, faktanya saya menghadapi kesulitan untuk bisa menjadi organisator yang baik. Saya belum mampu memanage waktu dengan baik, kapan menunaikan amanah di kampus sebagai mahasiswi, organisator, serta di pesantren sebagai senior yang harus bisa memberi contoh yang baik. Selain itu, menimba ilmu menghendaki pertanggungjawaban di hadapan Allah, umat, termasuk orang tua.

Harus balance antara menimba ilmu di perkuliahan, organisasi dan pesantren. Jika semua tertunaikan dengan baik, maka akan menjadi modal bagi perkembangan dakwah Islam. Memang sangat sulit menyatukan semua itu, tetapi bukan tidak bisa. Sayangnya, saya belum bisa merealisasikan idealisme itu.

Nah, bagi generasi muda yang sedang ada di fase ini, maka gunakan waktu dan tenaga sebaik-baiknya. Umat dan Islam membutuhkan pejuang yang memiliki idealisme seperti ini, mampu menguasai dunia kampus baik dengan perkuliahan dan organisasinya, serta dunia pesantren dengan ilmu dan aktivitas di dalamnya.

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Apa yang sudah terjadi, tak akan pernah kembali lagi. Semoga anak saya bisa melanjutkan idealisme ini dalam bentuk apa pun, menyatukan potensi ilmu, tsaqofah Islam dan organisatoris sejati, terutama anak laki-laki, karena anak laki-laki adalah calon pemimpin di masa yang akan datang.

Semoga kisah ini bisa diambil hikmahnya. Walau secuil, semoga bermanfaat untuk dakwah dan kebangkitan umat hingga Islam kembali mengatur dalam kehidupan sehari-hari dan keberkahan menyelimuti dunia. Islam membawa rahmat ke seluruh alam bukan hanya wacana belaka, tetapi realita.

Selesai.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Sherly Agustina M.Ag. Kontributor NarasiPost.Com dan penulis literasi
Previous
Pulang ke Kota Penuh Makna
Next
Manusia Berkepala Batu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram