"Tsaqofah Islam di dunia pesantren begitu banyak, sayang jika tak dipelajari. Potensi santri dan pemahaman Islam kafah adalah salah satu modal kebangkitan umat Islam"
Oleh. Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan Alumni Pesantren)
NarasiPost.Com-Selalu terngiang sabda Baginda Nabi Saw.:
"Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim)
Lulus SD di tahun 90-an, alm. mamah menawarkan saya untuk masuk pesantren di sebuah kota yang terkenal dengan sebutan 'kota santri'. Letaknya di provinsi Jawa Barat, terkenal namanya hingga banyak sekali yang memburu ilmu di sana. Cipasung, Singaparna-Tasikmalaya sebuah kota yang begitu menyimpan banyak kenangan. Saya pun memberanikan diri mengikuti saran alm. mamah untuk 'nyantri' di sana, menimba ilmu agama sebagai bekal di dunia dan akhirat.
Dengan modal nekat, karena jarak Banten-Tasik tentu tidak dekat. Tapi semangat menimba ilmu membuat saya harus berani karena hidup dituntut untuk mandiri. Di sana saya belajar banyak hal, rasanya ingin kembali ke masa itu untuk melanjutkan dan menebus apa yang tidak saya tuntaskan kala itu. Tidak hanya sekadar mengaji Al Qur'an, tapi juga mengaji kitab kuning yang luar biasa banyaknya.
Sebut saja kitab Safinatunajah, kitab tahap dasar tentang fikih bagi pemula yang baru menimba ilmu di pesantren. Awalnya saya pikir, mengaji di pesantren hanya Al-Qur'an, ternyata banyak sekali kitab yang dikaji. Tak pernah membayangkan, harus 'melughat' (menerjemahkan kata yang memakai bahasa Sunda dengan tulisan Arab dalam kitab dengan pensil). Tak pelak, kadang tertawa sendiri bahkan ditertawakan karena cara saya mengisi kitab sangat tidak rapi. Ada yang bilang seperti semut pawai.
Lebih tak membayangkan lagi, jika hasil melughat saya harus dibaca di depan Pak Kyai dan seluruh santri putra dan putri. Betapa malunya saat itu karena tulisan saya sendiri tak mampu dibaca dengan baik. Dari situ, saya banyak belajar bahwa dalam melughat harus rapi agar bisa dibaca dengan baik.
Kitab lain yang dipelajari yaitu tentang tauhid, kitab dasarnya adalah Tijan Darori di dalam kitab ini mempelajari sifat-sifat yang wajib bagi Allah dan yang mustahil bagi-Nya. Masih tersimpan rapi di memori otak, saat itu harus menghafal sifat-sifat Allah dalam bahasa Arab dan artinya, serta sifat yang mustahil. Lalu, ada kitab lain yaitu tentang tajwid, kalau tidak salah nama kitabnya Fathul Athfal. Mempelajari tajwid dengan menggunakan pola nidzam (ragam baca dengan bait syair).
Karena teknik yang digunakan di dalam kitab tersebut sya'ir, santri lebih mudah menghafalnya. Sambil menyanyikan syair kitab dan menghafal adalah hal yang biasa di kalangan santri. Kitab yang menjadi favorit bagi saya pribadi hingga saat ini yaitu kitab Nahwu dan Sharaf. Bagian dari ilmu alat yang harus digunakan dan dipelajari jika ingin mahir dalam bahasa Arab.
Nahwu ibarat bapaknya, isinya mempelajari tentang bagaimana cara baca harkat di akhir setiap huruf dalam kalimat. Apakah menjadi subyek (faa'il), kata kerja (fi'il) ataukah jadi obyek (maf'ull), kitab dasarnya ialah Jurumiyah. Dulu, saya sempat hafal isi kitab ini dengan bahasa Arab dan artinya. Siapa saja yang hafal kitab, isi beserta artinya dinilai keren dan smart.
Sementara Sharaf ibarat ibunya yaitu ilmu yang mempelajari tentang perubahan kata. Bentuk fi'ilnya bagaimana, isimnya bagaimana, dan seterusnya. Satu kata dalam bahasa Arab, bisa berubah menjadi ratusan dengan arti yang sedikit berbeda. Menulis misalnya, wanita satu orang, dua orang atau lebih yang menulis. Begitu pun dengan laki-laki, ini dari sisi jumlah pelakunya.
Belum dari sisi yang lain, apakah kata kerja lampau dan sekarang. Kata dalam bahasa Arab itu ternyata luas. Ilmu di dalam Islam pun luas. Ada kisah tentang ilmu Nahwu dan Sharaf, dulu waktu saya sekolah di salah satu SLTP Islam plus 'nyantri' di kota santri tersebut. Ketika liburan saya tidak pulang, ikut pengajian yang dinamakan pesantren kilat. Zaman dulu, sekolah berdasarkan catur wulan bukan semester.
Catur wulan pertama, libur hanya seminggu dan pesantren kilat saat itu membedah kitab Jurumiyah (nahwu). Dalam satu minggu mempelajari kitab Jurumiyah dari bab satu hingga akhir. Merasa masih anak bawang karena baru masuk pesantren, saya ikut saja program pesantren karena santri yang lain pulang kampung.
Saya merasa selama ngaji belum serius, kalau malam selesai melughat ketiduran dan bangun ketika sudah selesai ustaz atau ustazah menjelaskan. Sore hari pun sama, tak pernah mencatat dengan jelas apa yang disampaikan ustazah. Makan saya mulai berpikir saat itu, mungkin liburan ini waktu yang tepat agar saya bisa mengaji dengan baik, mengejar yang lainnya. Saat yang lain pulang kampung, akhirnya saya sibuk membedah kitab.
Satu pekan waktu yang cukup kilat untuk bisa memahami kitab Jurumiyah. Bagi saya, suasana ini sangat berkesan karena baru memahami alur kitab tersebut. Tak disangka bisa menghafal kitab Jurumiyah walau prosesnya lama. Ketika acara peringatan hari besar Islam, ada soal yang harus diisi ternyata saya mendapat peringkat pertama di bidang nahwu dan sharaf. Berbeda dengan fikih, saya cukup kesulitan memahaminya.
Karena ketika liburan, saya jarang pulang, maka saya diberikan gelar 'santri teladan'. Keluarga pesantren dan teteh senior baik mengayomi saya yang jauh merantau. Sayangnya, saya di sana hanya selama SLTP saja 3 tahun. Sekolah menengah di Cilegon, pulang kampung. Padahal, pihak pesantren mau mendaftarkan saya ke MAN yang cukup bagus di sana.
Apa yang saya dapatkan ketika di pesantren masih terasa sampai saat ini. Seperti ilmu nahwu dan sharaf yang sangat membantu saya membaca kitab gundul (tidak ada syakal) serta membantu dalam memahami bahasa Arab. Hidup mandiri jauh dari orang tua dan merantau membuat saya berani dan kuat mental. Kadang sedih, jarang sekali ditengok orang tua tapi semua itu membuat saya menjadi pribadi yang kuat dan berusaha sabar.
Sadar, bahwa apa yang saya dapat di pesantren dulu tak lepas dari upaya orang tua yang sudah memfasilitasi, mendoakan dan mendukung saya belajar di pesantren, walau mereka tidak secara langsung mengajar saya. Maka, saya berusaha berbakti pada kedua orang tua dan tidak ingin mengecewakan mereka. Jika mampu, maka bahagiakanlah karena mereka rela berkorban apa pun bahkan nyawa bagi anak-anak tercinta.
Tugas saya sekarang dalam mendidik anak, bagaimana caranya mereka bisa lebih baik dari saya dan ayah mereka. Betapa sulit mendidik anak agar menjadi anak yang salih/ah, berkepribadian Islam dan berkualitas. Apalagi di tengah sistem kapitalisme, dimana sekularisme menjadi dasarnya yaitu memisahkan agama dari kehidupan dan penuh dengan suasana materialistik.
Bagi yang belum pernah menikmati dunia pesantren, selagi masih hidup maka segeralah menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Tsaqofah Islam di dunia pesantren begitu banyak, sayang jika tak dipelajari. Potensi santri dan pemahaman Islam kafah adalah salah satu modal kebangkitan umat Islam. Jangan pernah disia-siakan selagi Allah masih memberi kesempatan nyawa di dalam tubuh.
Allahu A'lam bi ash Shawab.[]