Anakku Muara Bahagiaku

"Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a’", Artinya: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."
( QS surat Al-Furqon ayat 38)

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Belasan tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kuliah, aku bercita-cita ingin memiliki anak banyak kelak ketika sudah menikah. Kecintaanku pada dunia anak-anak mendorongku bercita-cita demikian. Selain itu, aku juga teringat akan sabda Rasulullah Saw bahwa kelak di hari akhir beliau akan membanggakan jumlah umatnya yang banyak.

Maka setelah menikah pun tiap ditanya, "Mau punya anak berapa?"

" Insya Allah. Mau 11 anak." Begitulah jawabku.

Namun, ternyata cita-citaku harus kandas tatkala aku harus melahirkan anak pertamaku lewat operasi ceasar. Betapa tidak, seseorang yang melahirkan secara ceasar secara medis tidak boleh melahirkan lagi lebih dari 3 kali. Apalagi jika prosesnya ceasar semua.

Benar saja, anak ke dua dan ke empatku pun terpaksa harus dilahirkan lewat operasi ceasar, karena kasusnya sama dengan anak pertama: sudah lebih beberapa hari dari tanggal Hari Perkiraan Lahir (HPL), kontraksi tak kunjung datang, sedangkan air ketuban sudah berubah warna. Ya, akhirnya tiga kali aku melahirkan secara ceasar, dan satu kali normal saat melahirkan anak nomor dua.

Kehadiran anak-anak dalam hidupku adalah anugerah terindah yang tak dapat digantikan dengan apa pun. Mereka adalah guru kehidupanku. Dari merekalah aku belajar tentang kesabaran, pengorbanan, dan ketulusan. Betapa tidak, membersamai mereka menuntutku menjadi pribadi yang jauh lebih baik, karena kelak mereka akan merekam apa yang mereka lihat dan dengar dariku. Maka tentu saja, aku harus selalu belajar mengontrol diriku agar tidak menjadi pribadi negatif di hadapan mereka. Sebaliknya, aku belajar untuk menjadi teladan. Membersamai mereka juga menuntutku menjadi seseorang yang mampu meresapi makna sebuah pengorbanan. Tak masalah diri lelah, asal mereka terjaga.

Anak-anakku jugalah yang menjadikanku belajar banyak hal. Selain mensalehkan diri, karena kutahu bahwa mustahil menuntut anak saleh dan salehah, sementara diri berlumur dosa dan maksiat, aku pun berupaya belajar banyak hal. Belajar masak dengan menu yang variatif, agar bisa meracik makanan dengan tanganku sendiri demi memenuhi gizi mereka, sebab kuingin tubuh anak-anakku sehat dan kuat, terhindar dari zat-zat haram dan berbahaya.

Sungguh, anakku adalah muara bahagiaku. Mereka menjadi penyejuk mata tatkala aku dilanda lelah, mereka juga menjadi pelipur lara tatkala hati disergap gulana. Ah, sungguh tak mampu melukiskan dengan kata-kata betapa berharganya kehadiran seorang anak dalam sebuah pernikahan. Maka tak heran, banyak orang di luar sana yang mati-matian melakukan banyak hal demi memperoleh keturunan. Menjalani terapi ke sana ke mari, minum obat ini itu, makan makanan ini itu, hingga mengamalkan doa ini itu. Ya, sebab kehadiran buah hati merupakan dambaan setiap pasangan suami istri secara fitrahnya.

Maka, sungguh ironis, ketika di luar sana, masih ada segelintir orang yang menganut paham childfree, yakni memutuskan tak ingin memiliki anak pasca menikah. Apalagi jika menilik apa yang menjadi alasan mereka, yakni tak ingin direpotkan dengan kehadiran anak, tak ingin dibebani biaya mengurus dan membesarkan anak, dan tak ingin bentuk tubuh berubah karena hamil dan melahirkan. Luar biasa! Jika pemikiran itu diadopsi oleh seorang muslim, tentu saja tanpa sadar itu telah mencoreng akidah islamnya, pun telah menyalahi fitrahnya.

Setiap anak telah Allah tetapkan rizkinya. Mengapa harus takut? Tugas manusia hanya berikhtiar, Allah lah yang Maha Menjamin rizki setiap makhluknya. Sudah banyak kusaksikan sendiri, teman-teman yang anaknya banyak, nyatanya hidup mereka bahagia, rizki selalu datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan kita sebagai muslim, harus memahami bahwa sejatinya rizki itu bukan sebatas perkara materi. Maka, jangan mengukur bahagia dari keberlimpahan materi, namun bahagia hakiki adalah ketika hidup kita diselimuti ketentraman. Hati kita senantiasa dijauhkan dari kecemasan. Adapun ketentraman tak lepas dari kedekatan kita dengan Allah. Serius!

Aku punya teman yang Allah karuniakan kepadanya 8 orang anak. Tak ada raut derita dari wajah temanku atas banyaknya anak yang Allah karuniakan padanya, bahkan keluh kesah pun tak pernah kudengar dari lisannya. Apakah temanku itu kaya raya? Tidak, biasa saja. Bahkan dia hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tapi, Semua anaknya sukses dididiknya menjadi penghafal Al-Qur'an. Akhlaknya terjaga. Perkataannya ahsan. Kok bisa? Temanku dan suaminya merupakan sosok orang-orang yang dekat dengan Allah. Aku tahu, hidupnya untuk Allah, bahkan mereka banyak menghabiskan waktu-waktu mereka untuk berdakwah di jalan Allah. Mungkin karena kedekatan dengan Allah itulah yang membuatnya dipermudah urusan mendidik dan mengurus anak-anaknya. Pun kedekatan dengan Allah pula lah yang menjadikan Allah meneteskan kebahagiaan yang menyejukkan di hati mereka atas kehadiran anak-anak mereka.

Ya begitulah, bahwa anak adalah muara kebahagiaan adalah benar adanya. Kelak mereka akan menjadi penolong bagi kedua orang tuanya di akhirat. Maka tak heran jika para Nabi pun dahulu senantiasa memanjatkan doa kepada Allah agar diberikan keturunan yang salih dan salihah, salah satunya doa Nabi Ibrahim Robbi hablii minash shoolihiin 

Artinya : Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”. (QS. Ash-Shaffaat: 100)

Juga doa Nabi Zakaria yang Allah abadikan dalam surat Al-Furqon ayat 38, "Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a’", Artinya: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."

Maka, jangan sekalipun berpikir tak ingin punya anak, padahal Allah karuniakan tubuh yang sehat. Bisa jadi dari anak-anak kitalah kelak keberkahan hidup akan mengalir deras. Dan ingatlah, bahwasannya Allah telah menetapkan bagi seorang muslim bahwa tujuan pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan. Jika menikah tak ingin berketurunan, lantas untuk apa? Hanya pemikiran liberal lah yang menghembuskan opini bahwa menikah sebatas menyalurkan hasrat biologis. Lantas kita sebagai muslim mau ikut-ikutan?[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Wabah Kapitalisme
Next
Tes Covid Gratis?“No Free Lunch” dalam Demokrasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram