"Aku dan suami meyakinkan ibuku bahwa tak semua pesantren itu seperti apa yang diberitakan media. Banyak pesantren yang bersih dari perilaku maksiat, bervisi cemerlang, bahkan banyak mencetak generasi intelektual, penghafal Al-Qur'an, dan pengemban risalah Nabi."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Muslimah dan Penulis Buku)
NarasiPost.Com- Menyekolahkan anak di pondok pesantren menjadi pilihan yang tepat dalam sistem kehidupan yang serba liberal hari ini. Setidaknya, di pesantren anak-anak akan dididik dengan basis akidah Islam dan disuasanai dengan lingkungan yang islami. Diharapkan dengan begitu, membentuk anak yang salih dan salihah akan lebih kondusif. Itulah juga yang menjadi dasar pertimbanganku dan suami memasukkan anak sulung kami ke pesantren. Di tambah lagi, anak kami yang duluan memintanya masuk ke pesantren, tanpa kami minta. Awalnya aku meragukan keinginannya, namun seiring berjalannya waktu, keinginannya tidak luntur juga, sehingga aku yakin bahwa tekadnya sudah bulat. Aku pun mengabulkannya, bismillah langsung kudaftarkan ia ke pesantren untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah nanti. Kupilihkan pesantren yang kunilai terbaik untuk anakku, berharap asanya menjadi hafizah kelak akan terwujud nyata.
Namun demikian, isu yang menerpa dunia pesantren belakangan ini sungguh telah memengaruhi pandangan masyarakat tentang pesantren.
"Itu beneran Nabila mau masuk pesantren?" ujar seorang ibu tetangga dekat rumahku.
" Benar Bu, insyallah pekan depan diantar," Jawabku.
"Hati-hati loh, di pesantren kan suka ada yang nggak bener……" katanya dengan mimik wajah cemas.
Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ya, media memang tengah ramai membincangkan tentang pencabulan yang dilakukan oleh seorang ustaz kepada santriwatinya. Tak hanya kali ini, beberapa bulan lalu juga terdengar kabar serupa, seorang pengasuh pesantren di Bandung mencabuli 14 santriwati, bahkan 9 di antaranya hamil.
"Insyallah pesantren yang kami pilih sudah terjamin kualitasnya, Bu. Gedung asrama ikhwan dan akhwat terpisah. Aturannya juga sangat ketat." jawabku.
"Ah, nggak jaminan juga kali…" kata si ibu dengan air muka tak yakin. Aku hanya tersenyum. Sebegitu dahsyatnya gorengan media memengaruhi mindset masyarakat tentang pesantren. Padahal jelas itu kasuistik, tidak bisa digeneralisasi.
Ibuku juga sempat melontarkan kekhawatirannya kepada Nabila, cucunya, yang selepas lulus SD akan melanjutkan ke pesantren Ma'had Syaraful Haramain milik Kiai Haji Hafidz Abdurahman. Berbagai pertanyaan pun dilontarkan demi menjawab kekhawatirannya. Pun berbagai wejangan disampaikan kepada Nabila, di antaranya agar berhati-hati saat di pesantren.
Aku dan suami meyakinkan ibuku bahwa tak semua pesantren itu seperti apa yang diberitakan media. Banyak pesantren yang bersih dari perilaku maksiat, bervisi cemerlang, bahkan banyak mencetak generasi intelektual, penghafal Al-Qur'an, dan pengemban risalah Nabi.
"Yang salah itu bukan pesantrennya, Bu, tetapi orangnya." ujarku pada ibu.
Ya, memang keberadaan institusi pesantren yang merupakan lembaga pendidikan berbasis Islam adalah angin segar di tengah gersangnya sistem pendidikan di era sekuler liberal hari ini. Namun, keberadaan oknum pelaku pencabulan di pesantren menjadikan citra pesantren ternoda.
"Harusnya kita makin sadar ya Bu, bahwa sistem sekuler yang ada sekarang tuh, bikin para tokoh agama sekalipun menjadi sosok pelaku maksiat." jelasku.
"Iya benar juga ya…" ibu mengangguk-angguk.
"Agama tuh cuma dianggap sebagai ajaran ritual aja, tapi nggak dipakai syariatnya. Makanya wajar, sekelas ustaz saja banyak yang cabul." tambahku.
"Oh ya, ditambah lagi, di sistem sekarang tuh, konten porno menjamur di mana-mana. Aurat perempuan jadi tontonan gratis. Gimana nggak mau bangkit tuh syahwat liar pada lelaki." tandasku.
Ibuku mengangguk lagi kemudian menyatakan dengan berapi-api bahwa memang sistem hari ini rusak dan merusak. Alhamdulillah, beliau sudah mengindera juga bahwa memang sistem hari ini layak diganti. Aku bersyukur ibuku memahami hal itu, namun bagaimana dengan masyarakat di luar sana? Banyak di antara mereka yang terperangkap dengan opini sesat yang digulirkan media.
Sungguh, perang pemikiran itu nyata terjadi hari ini. Jika tak mendapat maklumat yang benar, bisa jadi kita ikut terbawa arus opini yang dibawa media.
Maka, benarlah apa yang disampaikan Allah Swt dalam firman-Nya bahwa kita harus menggenggam ketaatan meski orang-orang kafir berusaha mengaburkan jalan kaum muslimin dari ketaatan yang sempurna itu.
''Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Karena itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.'' (QS Al-An'am: 153)
Saat tulisan ini dibuat, hatiku sedang gemuruh, sebab esok akan kutitipkan anakku sekian tahun di pondok pesantren demi membantunya berproses menjadi seorang mukminah salehah yang kelak akan berkontribusi dalam mewujudkan peradaban Islam. Tak pernah aku berpisah dengannya sejak dia kulahirkan ke dunia hingga kini genap 12 tahun usianya. Maka, wajar ada gerimis menyergap jiwaku. Namun, aku harus ikhlas, perpisahan ini hanya sementara. Kuletakkan asa di bahunya, kelak kepadanyalah kuharapkan doa yang terus mengalir saat jasadku telah berkalang tanah.
"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh." (HR Muslim)[]
Photo : Pinterest