Keyakinan yang sempurna kepada Allah Swt akan membawa kita pada kebahagiaan, jika tak di dunia pasti di akhirat. Tak ada yang dirugikan oleh Allah. Jika Allah memberi ujian, berarti Dia tengah menyeleksi di antara hamba-hamba-Nya, mana yang tetap istikamah dalam ketaatan dan mana yang justru berpaling dari-Nya.
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Yakin akan adanya Allah merupakan konsekuensi logis atas keimanan kita kepada-Nya. Jika ada sedikit saja keraguan, maka cacatlah akidah kita. Begitu pula keyakinan atas hadirnya pertolongan-Nya dan rezeki dari-Nya.
Keyakinan itulah yang semestinya hadir menggenapi tawakal kita di sisi ikhtiar. Dengan itu, akan muncul ketenangan dan optimisme dalam diri.
Inilah yang kualami di awal pernikahanku. Demi menggenapkan separuh agama dan menjauhi maksiat, aku memutuskan menikah di usia muda. Ya, kala itu aku masih berstatus sebagai mahasiswi semester 6 di Universitas Padjadjaran, Bandung. Calon imamku sudah Allah tampakkan kehadirannya, maka aku tak ingin menunda-nunda. Meski kondisi finansial calonku kala itu belum stabil. Namun, sosoknya yang pekerja keras, saleh, dan satu visi misi denganku dalam dakwah, membuatku yakin memilihnya. Pada awalnya, orang tuaku keberatan dengan rencanaku menikah dengannya, mengingat aku masih kuliah dan tentu masih membutuhkan biaya. Namun, calonku meyakinkan bahwa setelah menikah dia akan bertanggungjawab atas semua kebutuhanku. Sungguh dia menunjukkan keseriusannya memperistriku.
Aku pun meyakinkan orang tuaku bahwa ada Allah yang Maha Menolong. Tak perlu khawatir. Karena setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Singkat cerita, kedua orangtuaku akhirnya merestui, dengan catatan kuliah harus berlanjut hingga lulus. Berbekal keyakinan yang kuat, aku pun menyanggupi.
Singkat cerita, kami menikah. Karena aku masih harus menyelesaikan kuliah di kampus Unpad Jatinangor, sementara suami bekerja di Jakarta, akhirnya kami harus LDR (Long Distance Relationship). Seminggu sekali suamiku mengunjungiku di rumah kontrakan kami di Jatinangor. Sebagaimana halnya awal berumah tangga, pasti dihadapkan pada masalah finansial. Itulah pula yang kami alami. Aku ingat, dengan penghasilan suami yang tak seberapa, berdasarkan hitung-hitungan selama sebulan, akhirnya didapat bahwa jatah setiap hariku hanya Rp15.000,-. Dari rumah kontrakanku ke kampus, aku harus naik angkutan kota. Jaraknya tak terlalu jauh, ongkosnya Rp2000,-. Jadi kalau dihitung pulang-pergi, ongkos naik angkot Rp4000,-. Sisanya untuk keperluan kuliah, misalnya untuk fotocopy, makan siang, dan membeli lauk untuk makan malam. Karena nasinya aku masak sendiri.
Ada warung nasi kecil di dekat masjid universitas yang biasanya aku datangi untuk makan siang. "Bu, saya hanya punya uang Rp3000,- terserah ibu deh kasih lauknya apa. Nasinya sedikit saja." Itu yang selalu kukatakan pada si ibu penjualnya. Beliau sudah hafal. Dan biasanya si ibu akan memberiku kuah sop yang banyak dengan potongan ayam yang kecil-kecil, serta bakwan jagung. Masya Allah baiknya si ibu. Masih kuingat sosoknya hingga kini.
Ada juga cerita yang masih kukenang hingga kini, yakni saat sepulang mengaji dari rumah seorang guruku, aku harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1,5 km untuk menuju tempat pemberhentian angkutan kota. Karena memang rumah guru mengajiku lumayan jauh ke dalam. Biasanya aku naik ojek (saat itu, aku belum mendapat mafhum soal hukum larangan naik ojek), tapi aku kehabisan uang. Di tengah perjalanan, bapak setengah baya yang merupakan tukang ojek menepi, "Neng, bade ka mana?"
"Ke depan Pak, tempat naik angkot" Jawabku.
Dia memperhatikan perutku yang buncit, karena memang saat itu aku tengah mengandung 5 bulan.
"Ayo naik ojek aja, Neng. Jauh.. Kasian lagi hamil." Kata bapak itu dengan logat sundanya.
"Hatur Nuhun, Pak. Tapi saya nggak punya uang Pak, cuma ada 2 ribu."
"Teu nanaon, Neng. Ayo naik!"
Akhirnya aku menaiki motornya dan mengantarku ke tempat yang kutuju. Tak hentinya kuucapkan terima kasih atas kebaikannya.
Begitulah, kehidupan yang boleh dibilang sulit itu kunikmati dengan bahagia. Dan sama sekali tak pernah kukeluhkan hal tersebut kepada kedua orangtuaku. Toh, ini pilihanku. Setiap mereka bertanya, aku selalu mengatakan bahwa aku bahagia dan baik-baik saja. Bagiku, terlalu banyak yang harus kusyukuri di sisi segala kesulitanku kala itu, yakni hadirnya orang-orang baik di sekitarku. Aku juga dikelilingi oleh sahabat-sahabat salihah yang senantiasa menguatkan imanku, belum lagi suamiku yang sangat menyayangiku karena Allah. Beliau menjadi supporter utamaku dalam dakwah.
LDR itu akhirnya kami akhiri saat aku sedang menyelesaikan skripsiku, tepat sebulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL) anak pertamaku. Aku pun mengambil cuti kuliah selama 6 bulan. Kami pindah ke rumah orangtuaku di Tangerang.
Singkat cerita, alhamdulillah, aku berhasil menyelesaikan skripsiku saat bayiku berusia 6 bulan. Setiap pekan, aku bolak-balik Tangerang-Bandung untuk melakukan bimbingan skripsi dengan dosen. Dan tahu tidak, aku bolak-balik ke Bandung hanya berdua dengan bayiku dengan menggunakan bus antarkota. Sebab saat itu, bayiku tak bisa jauh dariku karena harus minum ASI. Sementara suamiku tak bisa mengantar karena harus bekerja.
Alhamdulillah syukur tak terkira, saat bayiku genap berusia satu tahun, aku menjalani wisuda kelulusan S1 dengan predikat cumlaude. Kedua orangtuaku menghadirinya dengan bahagia. Akhirnya aku dapat memenuhi janjiku kepada mereka untuk menuntaskan kuliahku.
Seiring berjalannya waktu, kondisi finansial keluargaku membaik. Suamiku mendapat pekerjaan baru yang gajinya jauh lebih besar dari semula. Aku pun berbisnis kecil-kecilan dengan berjualan online yang alhamdulillah memiliki pelanggan tetap. Alhamdulillah, masa-masa sulit itu terlewati. Sungguh benar adanya bahwa setelah hujan pasti akan ada pelangi yang indah. Maka, jangan pernah mengutuk hadirnya hujan sebagai kesialan, sebab di akhirnya Allah siapkan bahagia. Mungkin itulah balasan atas sebuah kesabaran, sebagaimana yang Allah janjikan.
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (TQS.Al-Baqarah:155)
Demikianlah, keyakinan yang sempurna kepada Allah Swt akan membawa kita pada kebahagiaan, jika tak di dunia pasti di akhirat. Tak ada yang dirugikan oleh Allah. Jika Allah memberi ujian, berarti Dia tengah menyeleksi di antara hamba-hamba-Nya, mana yang tetap istikamah dalam ketaatan dan mana yang justru berpaling dari-Nya. Wallahu'alam bi shawab.
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]