Ketika Anakku Bertanya

"Dengarlah wahai pemimpin negeri, aku akan mengadukan semua ini kepada Pemilik hidupku, Allah Swt. atas ketidakadilan yang kurasakan"


Oleh : Titin Kartini

NarasiPost.Com-Minggu, 13 Desember 2020 pukul 07.30, masih lekat dalam ingatan, laki-laki yang selama enam belas tahun menemaniku hanya terbujur kaku. Tangisku dan dua anakku pecah. Dada ini sesak. Dunia terasa gelap. Astagfirullah!

Kuraih ponsel untuk menghubungi salah satu ustazah  pengurus pondok tempat anak sulungku menimba ilmu, memintanya untuk segera membawa anak gadisku pulang.

Berakhir sudah semua. Hampir satu bulan kami berdoa dan berikhtiar mencari kesembuhan untuk suami yang didiagnosa sakit lambung akut dan TB Meningitis, dari rumah sakit swasta ke rumah sakit pemerintah. Hal ini menyisakan kepedihan dan sakit hati. Memang bukan hal mudah mencari pengobatan di sistem kapitalis bagi rakyat yang tak beruang.

Dokter sempat mengatakan bahwa kemungkinan suami sembuh itu hanya lima puluh persen. Ia bisa sembuh, bisa meninggal, tergantung daya tahan tubuh suami. Namun, sebagai orang yang beriman, tentu kita harus berusaha semaksimal mungkin dan menyerahkan hasilnya pada Sang Pemilik hidup, Allah Swt.

Ternyata Allah Swt. mencukupkan penderitaan suami di dunia ini. Kutegarkan jiwa dan raga demi ketiga anakku. Hidup harus tetap berjalan.

Hampir satu bulan kurasakan masih seperti mimpi, berjalan seperti melayang, air mata masih terus mengalir, apalagi anak-anak masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah tiada.

Keluarga, sahabat selalu menguatkan dan memberi semangat. Di bulan kedua, aku mulai bangkit. Aku beraktivitas seperti biasa, mengantar anak-anak dan berjualan kembali. Hanya jualanku berbeda. Jika dulu hanya sekadar membantu, tetapi saat ini menjadi tugas utama, mencari nafkah untukku dan tiga penguat jiwaku.

Kini, hampir tujuh bulan kulalui tanpa suami. Aku pergi pagi, siang dan sore. Pulangnya pun kadang sore atau malam. Semua kujalani dengan kuda besi warisan suami bersama dua anakku yang masih berumur delapan dan enam tahun. Gadisku yang sulung sudah di pondok kembali.

Kususuri jalan untuk mengantarkan pesanan-pesanan ataupun mengambil barang dagangan. Tak jarang, kutinggalkan dua buah hati, atau kutitipkan pada adik jika kondisi tak memungkinkan untuk membawa mereka.

Hingga suatu hari, si bungsu berkata, "Ibu, kenapa sekarang ibu suka pergi dagang terus? Waktu ada ayah, dagangnya jarang. Sekarang ibu pergi-pergi terus."

Kupeluk ia. Bocah yang baru genap enam tahun itu hanya diam ketika kupeluk. Kuusap rambutnya sambil berkata, "Karena sekarang sudah tak ada ayah, jadi Ibu harus menggantikan ayah untuk mencari nafkah, buat kita semua. Ade doakan Ibu, ya, semoga selalu sehat, ada dalam lindungan Allah, dan diberikan kemudahan serta kelancaran dagangan Ibu."

Ade hanya menjawab, "Iya, Bu, aamiin."

Tak jarang, orang-orang di sekitar berbicara tak mengenakan hati, seperti, "Janda muda mau kemana, pergi-pergi terus?" atau "Dari mana, malam baru pulang?"

Namun, tak ada yang bertanya, sudah makankah anak-anakku pagi ini? Bagaimana sekolah anak-anak? Jangankan mereka, tak ada satu pun petugas pemerintahan yang mendatangi kami.

Kehidupan seperti ini pernah kualami ketika kedua orang tuaku meninggal. Aku dan adik-adikku berjuang demi hidup. Saat itu, aku belum tahu akan tanggung jawab seorang pemimpin dan sebuah negara dalam melindungi warganya.


Tujuh bulan sudah kepergian suami. Kujalani semua qadha dari Allah dengan keyakinan bahwa ini yang terbaik dari-Nya untuk hidupku dan anak-anak.

Sistem yang dianut negeri ini membuat kami, para janda dan anak-anak yatim harus berjuang sendiri demi kelangsungan hidup. Pemimpin tak bertanggung jawab, negara kian abai. Jangankan para single parent, keluarga yang utuh pun harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang, seorang ibu harus membantu mencari nafkah.

Kami merindukan sosok pemimpin yang melayani dan melindungi rakyatnya, seperti Umar bin Khatab. Semasa menjadi seorang pemimpin atau Kholifah, ia begitu memperhatikan kehidupan para janda dan anak yatim, hingga selalu berkeliling mencari para janda dan anak yatim untuk diberi makanan dan uang.

Hal ini karena Umar mengetahui beratnya pertanggungjawaban di akhirat kelak, jika ia abai terhadap kepengurusan rakyat. Seorang pemimpin adalah junnah atau perisai yang harus melindungi dan melayani kebutuhan rakyat. Seorang pemimpin harus menjadi garda terdepan untuk rakyatnya.

Pernah suatu hari, Umar mengangkat gandum sendiri tanpa mau dibantu oleh pembantunya untuk diberikan kepada salah satu warga. Ia menolak dibantu dengan mengatakan, "Siapa yang siap memikul bebanku di akhirat kelak?"

Masyaallah, itu adalah jawaban seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan memiliki rasa takut kepada Allah Swt. karena ia mengetahui tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin.

Sang Khalifah Umar bukan saja mencukupi kebutuhan hidup para janda dan anak yatim. Namun, ia juga menjaga kehormatan hingga tak ada yang berani melecehkan mereka, memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan, hingga hidup mereka aman dan sejahtera.

Miris … saat ini, jangankan kesejahteraan, kehormatan pun tak didapatakan. Negeri kaya raya dengan semua potensi yang ada, tetapi nyatanya rakyat menderita lahir dan batin.

Suatu kemustahilan, kesejahteraan dapat dirasakan oleh rakyat, terlebih para janda dan anak yatim ketika hukum yang dipakai adalah hukum buatan manusia. Sistem demokrasi kapitalis dengan asas manfaat terbukti lebih mengutamakan pemilik modal daripada kepentingan rakyat.

Hanya dengan hukum-Nya yang tercantum dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah yang mampu menjadikan kami hidup bahagia, yaitu dengan hadirnya pemimpin yang mengayomi dan bertanggungjawab atas diri dan anak-anak kami.

Dengan tegaknya hukum Allah Swt. dalam naungan sistem-Nya, yaitu Daulah Khilafah, maka kesejahteraan, kehormatan akan kami dapatkan kembali.

Ketika anakku bertanya, "Mengapa Ibu harus banting tulang?" Ketika mereka menangis saat kutinggalkan  untuk mencari nafkah, maka dengarlah wahai pemimpin negeri, aku akan mengadukan semua ini kepada Pemilik hidupku, Allah Swt. atas ketidakadilan yang kurasakan.

Wallahu a'lam[]


photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Haruskah Menjadi Intelektual Harapan Presiden?
Next
Pilih Kasih Hukuman Pinangki
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram