Merelakanmu

”Rasa sayang yang teramat dalam itulah yang kadang membuat orang tua lupa bahwa anak-anak itu bukan milik mereka. Mereka pun enggan melepaskan anak-anak itu pergi untuk menjemput takdir mereka sendiri.”

Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Bayangan si sulung berkelebat di kepala. Rasa sedih pun menyeruak di dada. Ingatan saat kami meninggalkannya di kompleks pondok yang baru berdiri itu muncul kembali. Suasana sepi pondok ditambah lampu penerangan yang minim, membuat malam yang temaram itu terasa mengharukan. Apalagi, pondok itu terletak di tengah persawahan dan agak jauh dari perkampungan.

Tak terasa air mata pun menetes. Ucapan suami saya beberapa bulan sebelum keberangkatan si sulung ke pondok pun kembali terngiang. Saat itu, suami saya berkata, "Ternyata kita membersamai anak-anak itu tidak lama ya. Mereka bersama kita hanya sampai lulus SD. Setelah itu, mereka sudah keluar dari rumah untuk mondok, kuliah, dan menikah."

Sesaat saya terhanyut dalam kesedihan. Namun, saya segera menyadari bahwa saya tidak boleh terlalu bersedih. Saya berpikir bahwa jika saya bersedih, si sulung pun akan bersedih. Segera saya seka air mata saya. Kemudian saya berdoa agar putri kami kerasan di pondok dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Awal-awal berada di pondok, putri kami sempat berusaha melobi agar ia bisa balik ke rumah. Bersekolah di kota kelahirannya tanpa harus tinggal jauh dari orang tua. Namun, kami berhasil meyakinkan dirinya untuk tetap mondok. Alhamdulillah, akhirnya ia pun berhasil menyelesaikan pendidikannya di pesantren hingga lulus SMA.

Jika anak pertama kami mondok di luar kota, tidak demikian dengan anak kedua. Ia masuk ke pondok pesantren yang dekat sekali dengan rumah kami. Saya berpikir, saya tidak akan sedih jika ia mondok. Toh, tempatnya dekat. Tidak butuh waktu lama untuk datang ke sana.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Ketika anak kedua saya benar-benar berhasil lolos tes masuk ke pondok pesantren itu, rasa sedih tetap muncul. Bayangan ketika ia duduk terdiam di depan lemarinya, di tengah keriuhan teman-teman barunya, membuat saya iba kepadanya. Ia tampak memelas, karena tidak ada seorang pun yang dikenalnya. Tidak ada teman SD-nya yang berhasil lolos masuk ke pondok pesantren itu. Mengingat hal itu, saya pun menangis terisak. Ah, ternyata saya tetap bersedih ketika ia mondok, meskipun pondoknya dekat dengan rumah.

Mungkin, perasaan seperti itu wajar dirasakan oleh setiap orang tua yang hendak berpisah dengan anak-anaknya. Entah untuk menuntut ilmu atau menikah. Namun, suka atau tidak, ini adalah sunatullah. Setiap ada pertemuan, selalu ada perpisahan.

Karena itu, siap atau tidak, kita harus merelakannya. Merelakan mereka untuk menuntut ilmu, bekerja, atau menempuh hidup yang baru bersama suami atau istrinya. Betapa pun, mereka hanyalah titipan dari Sang Maha Pencipta.

Toh anak-anak itu hanya pergi sementara. Mereka akan kembali ke rumah setelah menyelesaikan pendidikan. Demikian pula, jika mereka menikah atau bekerja di tempat lain, kita juga masih dapat bertemu dengan mereka. Meskipun memang tidak sesering dahulu. Sebab, mereka harus menjalankan amanah yang berada di pundak mereka.

Tentu saja tidak mudah bagi para orang tua, apalagi para ibu untuk melakukannya. Maklumlah, selama sembilan bulan, sang ibu nggembol anak-anak dalam rahimnya. Kemudian harus menahan sakit yang luar biasa saat melahirkan. Setelah itu menyusui, merawat, dan mengasuhnya hingga ia mampu mandiri.

Wajar, jika kemudian muncul rasa sayang yang sangat dalam diri orang tua terhadap anak-anak mereka. Rasa sayang yang teramat dalam itulah yang kadang membuat orang tua lupa bahwa anak-anak itu bukan milik mereka. Mereka pun enggan melepaskan anak-anak itu pergi untuk menjemput takdir mereka sendiri.

Para ibu merasa sangat khawatir, cemas, dan sedih. Demikian juga dengan para ayah. Rasa yang sama sebenarnya juga ada dalam diri mereka. Namun, mereka lebih mampu menyembunyikannya.

Memang, anak-anak adalah harta yang tak terhingga nilainya bagi orang tua. Seperti harta, anak-anak merupakan perhiasan yang diberikan kepada manusia. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Kahfi [18]:

المال والبنون زينة الحياة الدنيا

Artinya: "Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia."

Sebagaimana manusia mencintai harta, ia pun mencintai anak-anak. Hal ini telah difirmankan oleh Allah Swt. dalam surah Ali Imran [3]: 14. Dalam ayat tersebut, Allah Swt. menyatakan bahwa manusia itu mencintai wanita, anak-anak, harta yang berlimpah berupa emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, serta tanah ladang. Semua itu menjadi perhiasan yang menawan hatinya.

Sebagaimana harta, anak-anak juga merupakan titipan dari Allah Swt. Mereka bukanlah milik kita sepenuhnya. Maka, sejak awal kita mendapatkan titipan itu, kita harus siap melepaskan mereka. Kita harus rela jika mereka meninggalkan kita.

Memang, ini tidak mudah. Akan ada rasa khawatir terhadap keadaan mereka ketika mereka berada di tempat yang jauh. Namun, kita tidak boleh memelihara rasa khawatir itu. Justru pada saat itu, kita harus menghilangkan rasa khawatir itu dan memasrahkan semuanya kepada Allah Swt. Sebab, rasa sedih dan khawatir itu nantinya akan menghambat proses adaptasi mereka dengan lingkungan yang baru. Hal itu justru akan menyulitkan mereka.

Yang harus kita lakukan adalah mengikhlaskan mereka. Kemudian memohonkan kebaikan untuk mereka. Jika mereka pergi untuk menuntut ilmu, kita panjatkan doa agar mereka diberi kemudahan dalam memahami dan mendapatkan ilmu yang barakah. Jika mereka menikah, kita doakan agar mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warrahmah.

Di sinilah pentingnya bekal agama bagi mereka, agar mereka selalu berjalan sesuai syariat-Nya. Karena itu, kita harus memberikan bekal agama yang kuat. Fondasi agama yang kuat akan menjaga mereka agar tidak tergoda dengan kemaksiatan yang dibungkus dengan keindahan. Dengan demikian, mereka akan tetap berada di jalur yang benar.

Dengan bekal agama ini pula, kita berharap akan berkumpul lagi kelak di akhirat. Berkumpul bersama anak-anak, kakek-nenek, para cucu, dan yang lainnya. Berkumpul bersama orang-orang saleh dari keluarga kita, seperti yang digambarkan dalam surah Ar-Ra'du [13]: 23,

"Surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya."

Semoga Allah Swt. mengukuhkan keimanan dalam diri kita dan anak-anak kita. Semoga Allah Swt. berkenan untuk memasukkan kita bersama keluarga kita ke surga-Nya. Semoga kelak kita pun dikumpulkan bersama kekasih Allah Swt., Rasulullah saw.

Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Leukemia Penyakit Mematikan, Apa yang Harus Dilakukan?
Next
Rumah Syariah? Nonsense!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

14 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Saat ini pondok memang alternatif terbaik untuk proses pendidikan anak. Penanaman akidah dan adab & akhlak di pondok tentu lebih unggul dari pada di sekolah- sekolah umum. Dan orang tua yang baik akan mencarikan tempat pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Walau sering diawali dengan drama melankolis. Tapi in sya Allah akan berakhir dengan happy ending. Pengalaman yang berbicara

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  Dyah Rini
1 year ago

Di tengah gempuran ide-ide kufur saat ini, pondok menjadi lingkungan yang baik untuk melindungi anak-anak.

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
1 year ago

Pernah merasakannya, diposisi melepas anak-anak dipondok.
Sekarang mereka telah terbiasa. Melepas anak peryama, kedua, ketiga, rasanya semua sama. Pondok yang dekat atau yang jauh sama, hati serasa sama. Sedih...menangis pasti ada.

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  Isty Da'iyah
1 year ago

Betul mbak. Ternyata sama saja. Mau jauh atau dekat, tetap sedih karena kita tidak dapat bertemu mereka setiap hari.

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Rasa sedih ketika melepaskan anak untuk menuntut ilmu hal yang wajar, saya pun pasti sedih..
Namun, kesedihan itu akan terbalaskan dengan melihat anak-anak tumbuh menjadi anak yang saleh..Barakallah mbak Mariyah.
Benar Cikgu Sartinah, harus bersyukur bisa mesantrenkan anak2. Saya termasuk yang gak bs karena terkendala finansial.

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  Nining Sarimanah
1 year ago

Tidak mondok sebenarnya juga tidak masalah, yang penting mereka dibekali dengan ilmu agama yang cukup.

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Membaca kisahmu mengingat diri sy di masa lalu saat menitipkan anak sulung ke ponpes yg ada di luar pulau. Kami yg tinggal di pesisir Borneo. Utk mencapai bandara sj butuh 8 jam perjalanan darat dg medan jalan yg agak berat. Setahun sekli baru bisa bertemu bahkan tak pulang jika liburan Kangennya ya sama anak dilangitkan saja. ( doa)

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  Mimy Muthamainnah
1 year ago

Masya Allah, saya salut dengan orang tua seperti mbak. Mereka rela melepaskan putra-putrinya jauh hingga ke luar pulau, bahkan sampai ke luar negeri.

R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Saat ini jagoan sulung usia tiga tahun dua bulan.. namun terkadang menetes air mata ini mengingat masa-masa bersamanya ketika ia berusia 1 atau 2 bulan.. betapa sangat cepat waktu berlalu..

Anak sesungguhnya milik Allah SWT..

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  R. Bilhaq
1 year ago

Ya mbak, mereka hanya dititipkan kepada kita, sementara waktu.

Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Sudah pernah merasakan harunya saat merelakan anak untuk mondok. Meskipun itu keponakan, tetapi sudah saya anggap seperti anak sendiri, karena kami memang dekat. Mulai sekarang pun harus siap merelakan anak sendiri kelak ketika sudah waktunya mondok. Salut untuk semua orang tua yang mendukung anak-anaknya untuk mondok dengan segala konsekuensinya.

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  Firda Umayah
1 year ago

Apalagi jika mereka menuntut ilmu hingga jauh ke negeri orang. Benar-benar butuh kesabaran dalam menahan rindu. Namun, semua itu demi masa depan mereka. Agar mereka menjadi orang-orang yang berilmu.

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Masyaallah, rasanya wajar bila setiap orang tua merasa sedih ketika berpisah dengan anak-anak mereka. Namun, beryukurlah wahai ibu-ibu yang sudah bisa menitipkan anak-anaknya di pondok. Sebab, di sudut dunia yang lain masih banyak orang tua yang tak sanggup menitipkan anaknya di ponok karena ketidakmampuan finansial.

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
Reply to  Sartinah
1 year ago

Memang dilema ya. Dimasukkan ke sekolah umum, khawatir dengan pergaulannya. Mau dimasukkan ke pondok, biayanya mahal. Apalagi kalau pondoknya bagus, lebih mahal lagi.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram