"Secara manusiawi, tentu saja aku merasakan kecewa dan sedih yang teramat hebat, harapan ingin menimang bayi dan hadir di dalam kehidupan kami harus pupus. Kami sudah berusaha semampunya untuk menjaga dan merawatnya di dalam kandungan, tapi ternyata qada Allah berkata lain. Ya, aku harus ikhlas menerimanya."
Oleh. Putri Bunda Harisa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Bu, detak jantung dedenya tidak ditemukan, mungkin posisinya yang kurang tepat, kita coba lagi besok pagi, ya.”
Begitulah penjelasan singkat dari bidan praktik pada salah satu rumah sakit negeri di daerah Bogor. Sambil terus menggerak-gerakkan alat doppler yang biasa digunakan tenaga kesehatan untuk mendeteksi detak jantung pada janin di dalam perut ibu hamil, bidan juga berusaha menenangkan diri ini yang mulai merasakan ketidakberesan.
Ya, keberadaanku di rumah sakit yang saat itu tengah mengandung anak pertama pada usia kehamilan 32 minggu bukanlah suatu kebetulan, melainkan atas rujukan dari salah seorang dokter kandungan di salah satu klinik di Kabupaten Bogor.
Pada sore itu, dari hasil pengamatan melalui alat USG dan dilakukan serangkaian tes kesehatan, kandunganku dinyatakan berisiko tinggi. Aku mengalami preeklampsia berat, kondisi di mana tensi darah mengalami kenaikan dan kadar protein di dalam urin tinggi. Tentu saja kondisi tersebut sangat berbahaya bagi ibu maupun janinnya.
Begitulah yang terjadi pada diriku. Tak cukup sampai di situ, dokter pun mengatakan bahwa janin di dalam kandungan berkembang tidak normal. Menurut dokter, berat badan janin begitu kecil, tidak sesuai dengan usia pertumbuhannya, lalu diperparah dengan jumlah air ketuban yang sudah menipis, sehingga untuk keselamatannya harus dikeluarkan segera.
Karena berat badan janin yang kecil yang diperkirakan hanya 1,3 kg, maka ia membutuhkan ruang perawatan khusus, yaitu ruang NICU. Pada saat itu, hanya ada dua rumah sakit di Kota Bogor yang memilikinya. Pada akhirnya, dengan keterbatasan biaya, aku dan suamiku memutuskan untuk menjalani tindakan di salah satu rumah sakit negeri di Kota Bogor yang memiliki fasilitas NICU yang kelak akan dibutuhkan oleh bayi kami. Lalu selepas magrib, kami pun menuju ke rumah sakit.
Namun sayang, saat beberapa jam tiba di sana dan dilakukan serangkaian rekam medis, justru aku dikejutkan dengan pernyataan bidan yang mengatakan detak jantung bayi tidak ditemukan.
“Biasanya langsung terdengar kok, Bu Bidan,” hanya kalimat itu yang mampu aku katakan untuk menepis perasaan kalutku.
“Iya, kita coba lagi besok, ya, Bu. Sekarang Ibu istirahat dulu.”
Karena pada saat itu sudah malam dan tidak ada dokter kandungan yang berjaga, aku harus bersabar menunggu esok hari untuk kejelasan kondisi janin di dalam perutku. Sepanjang malam rasanya sulit sekali mata ini terpejam. Aku masih memikirkan pernyataan bidan, ditambah aku mulai tidak merasakan adanya gerakan pada janin.
"Allah … lindungilah Anakku"
Subuh harinya, bidan kembali mendatangiku untuk memeriksa detak jantung janin. Dan lagi-lagi tak ditemukan. Sejak saat itulah air mata ini tak dapat terbendung lagi.
"Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku?"
"Nanti jam sembilan Dokter datang, kita akan melakukan USG ya, Bu, biar lebih jelas,” kembali bidan berusaha menenangkanku.
Tepat jam sembilan aku pun dibawa perawat ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan USG. Sepanjang jalan di koridor rumah sakit, suamiku tak henti-hentinya memberikan kekuatan, mengingatkan aku untuk terus berdoa dan berzikir, mengharap yang terbaik menurut Allah.
Tiba di ruang pemeriksaan, kami disambut hangat oleh dokter kandungan yang bertugas. Sebelum USG dilakukan, dokter memberikan motivasi kepada kami. Dan, bismillah ….
“Bapak, Ibu, sebelumnya saya mohon maaf, setelah saya melihat keadaan janin yang ada di dalam kandungan ibunya, maka saya menyatakan bahwa janinnya sudah tidak bernyawa sejak kurang lebih 24 jam yang lalu.”
Sontak saja pernyataan dokter membuat kami terkejut dan air mata jatuh berderai tak tertahakan. Suami memeluk diri ini begitu erat lalu berucap, “Sabar ya sayang, sabar.”
“Ibu dan Bapak yang sabar, ya. Insyaallah akan ada gantinya yang lebih baik,” dokter pun turut menguatkan kami.
“Karena ini adalah kehamilan pertama untuk ibunya, maka saya akan berusaha semaksimal mungkin agar ibunya dapat melahirkan normal, agar nanti bisa punya banyak anak,” lanjutnya.
Singkat cerita, mulai hari itu aku pun diberi tindakan berupa induksi balon selama semalaman. Selepas subuh, induksi balon lepas berganti dengan pemasangan induksi infus. Konon katanya, rasa mulas dengan proses induksi lebih sakit dari mulas yang alamiah. Entahlah … tapi yang jelas sejak aku diberi tindakan untuk proses persalinan, rasa sedih dan pilu karena kehilangan seorang anak berubah menjadi energi dahsyat karena luapan rindu yang luar biasa ingin segera melihat wajah bayi mungil itu hadir di dunia.
Menjelang persalinan dengan merasakan mulas yang hebat, aku masih semangat untuk menyuap makanan, suap demi suap. Keinginan yang kuat untuk segera bertemu bayi mungil sudah tak terbendung lagi. Hingga pada akhirnya, tepat pukul 09.00 WIB, aku merasa ingin mengejan dan membuat diri ini berteriak sehingga mencuri perhatian seluruh bidan di ruang bersalin. Pembukaan pun sudah lengkap dan bayi siap dilahirkan. Dengan linangan air mata, aku berusaha mengeluarkan bayi mungil itu sekuat tenaga, dan akhirnya lahirlah bayi mungil dengan berat 1,3 kg tepat pukul 09.20 WIB pada Selasa, 23 Juni 2011. Aku pun melahirkan bayi tampan tanpa suara tangis. Yang terdengar hanya suara riuh para bidan.
“Alhamdulillah, bayinya laki-laki, Bu, ganteng sekali.”
“Selamat ya, Bu, bayinya sudah lahir."
"Selamat ya, Bu, sekarang sudah jadi ibu”
"Ibu …. ini bayinya, ganteng ya, Bu."
Aku dan suami hanya mampu mengucap syukur. Alhamdulillah dapat melahirkan bayi mungil ke dunia walaupun tidak bisa mendengar suara tangisnya, tidak bisa mendekapnya bahkan memberikan ASI kepadanya, hanya bisa memandangnya dari timangan bidan. Namun, aku bahagia bisa bertemu dengannya walaupun dengan pertemuan yang singkat. Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah menemani Bunda selama delapan bulan di kandungan. Terima kasih karena hadirmu aku menjadi seorang ibu. Muhammad Tsabit Azzamul Haq, engkau hadir tepat dua hari sebelum miladku dan hadiah satu tahun pernikahan kami.
Secara manusiawi, tentu saja aku merasakan kecewa dan sedih yang teramat hebat, harapan ingin menimang bayi dan hadir di dalam kehidupan kami harus pupus. Kami sudah berusaha semampunya untuk menjaga dan merawatnya di dalam kandungan, tapi ternyata qada Allah berkata lain. Ya, aku harus ikhlas menerimanya. Sekalipun dalam pandangan manusia buruk, tapi jika Allah berkehendak maka yakinlah akan ada hikmah besar di balik semuanya.
Hal lain yang membahagian di balik peristiwa kehilangan itu, ternyata doa dokter, kedua orang tua, kerabat, juga teman-teman yang mendoakan aku bahwa kelak Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan lebih banyak, kini telah terwujud.
"Azzam, kamu memiliki empat orang adik, Nak. Mereka pun sangat menyayangimu. Kau selalu ada di hati kami."[]
Photo : Pinterest
Ya Allah sedihnya.. tapi anak2 kita yang detik ini membersamai kita pun adalah milik Nya, yang suatu saat akan kembali pada Nya..
Nangis membaca ini... Semoga para ibu hamil di luar sana diberi kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan apa pun qada dari Allah Swt.
Semoga yang tengah hamil saat ini senantiasa dilimpahkan kesehatan dan keselamatan hingga proses persalinan dan bertemu buah hatinya saat waktunya tiba nanti. In syaa Allah. Aamiin yaa mujibassaailiin