"Aku tahu maksud dari perkataan kakak tingkatku itu adalah buntut dari pengunduran diriku menjadi panitia ospek mahasiswa baru. Betapa tidak, konsep ospek bergaya feodal jelas bertentangan dengan pemahamanku. Bagiku, mendidik itu harus elegan dan penuh kemakrufan, bukan dengan kekerasan apalagi hukuman-hukuman fisik nan konyol."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel Narasipost.com)
NarasiPost.Com-"Gara-gara Nisa, Islam tuh jadi tercoreng tau!" Kata seorang perempuan muslimah berhijab kakak tingkatku di kampus.
Deg. Pernyataan yang tegas dan sungguh menyakitkan. Bisa-bisanya dia tega mengatakan itu persis di depan wajahku.
"Padahal Islam tuh agama yang damai, toleran, penuh kasih sayang…" lanjutnya lagi dengan tatapan mata tajam. Aku masih diam, menata hati sekaligus kata-kata untuk kusampaikan padanya.
"Nisa itu ekslusif! Terlalu saklek, radikal, ekstremis!" tudingnya.
Sungguh semakin menusuk relung kalbu perkataannya. Tetapi aku mencoba tetap tenang, tak ingin terpancing emosi. Aku selalu ingat bahwa ketika emosi meningkat, maka kecerdasan menurun. Jadi, aku selalu meredam emosi seburuk apa pun kondisi yang kuhadapi. Dan bukankah Allah juga memuji orang-orang yang mampu menahan marahnya?
Sebagaimana hadis Rasulullah saw:
"Barangsiapa yang menahan amarah, sedangkan dia mampu mengeluarkannya, maka Allah memenuhi rongganya dengan keamanan dan iman." (HR. Abu Dawud)
Aku tahu maksud dari perkataan kakak tingkatku itu adalah buntut dari pengunduran diriku menjadi panitia ospek mahasiswa baru. Betapa tidak, konsep ospek bergaya feodal jelas bertentangan dengan pemahamanku. Bagiku, mendidik itu harus elegan dan penuh kemakrufan, bukan dengan kekerasan apalagi hukuman-hukuman fisik nan konyol.
Setelah aku terang-terangan mengundurkan diri, banyak pihak menyerangku. Aku dianggap tidak solid bahkan sok suci. Tak hanya itu, kakak-kakak tingkat yang muslimah dan notabenenya berlatar suatu organisasi keagamaan menyayangkan sikapku. Kata mereka, harusnya aku bisa menoleransi. Setidaknya keberadaan kita di sana bisa mewarnai, katanya.
Tapi dengan tegas kusampaikan, "Tak cukup hanya mewarnai, yang kuinginkan adalah menghapus dan menggambar lagi yang baru."
Banyak orang mungkin tak habis pikir dengan apa yang telah menjadi pemahamanku dan menjelma dalam sikapku. Adanya kontroversi bagiku adalah hal biasa, karena memang kebanyakan orang sudah terbiasa dihadapkan pada kehidupan yang rusak ala sistem sekuler hari ini. Maka, sesuatu yang salah pun akan dianggap benar, karena sudah biasa dilakukan.
Jadi, wajarlah jika ada pihak yang kontra atas kebiasaan itu, maka akan dianggap aneh bak alien, bahkan dituduh Islam garis keras. Beginilah realitanya kehidupan hari ini. Umat sudah terlalu jauh dari aturan Islam yang kaffah. Sebaliknya yang disuguhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah aturan yang bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia.
Kakak tingkat yang 'menceramahi'ku tadi tak peduli meski di sekelilingku banyak orang berlalu-lalang. Maklum sedang jam istirahat. Dia bahkan tak segan meninggikan suaranya. Entah di menit ke berapa, akhirnya aku mulai buka suara demi menanggapi perkataannya, "Maaf Kak, maksudnya ekstremis itu bagaimana ya? Berusaha untuk taat pada syariatkah? Itu yang disebut ekstremis? Aku hanya tidak ingin ikut membantu dalam aktivitas kemaksiatan, kok."
Yang kumaksud adalah aktivitas kekerasan yang biasa dilakukan dalam ospek mahasiswa baru. Karena memang demikianlah adanya. Dalam setiap kegiatan ospek, kakak angkatan seperti mencari-cari cara untuk menghukum mahasiswa baru. Dan hukumannya pun tidak mendidik, malah cenderung menzalimi, menurutku. Salah satunya, mereka dibentak-bentak sedemikian rupa meski kesalahan sepele. Dan mirisnya, hal itu dikatakan sebagai bentuk penggemlengan agar bermental kuat. Haruskah dengan cara itu? Bukankah ospek itu semestinya masa pengenalan mahasiswa baru dengan dunia kampus? Rasanya terlalu berlebihan bahkan unfaedah jika dibumbui dengan hal-hal semacam itu.
"Wa ta'aawanu 'alal birri wattaqwa, walaa ta'aawanu 'alal ismi wal udwan, Kakak tahu kan ayat tersebut? Sebagai muslim kita dilarang untuk tolong-menolong dalam dosa dan keburukan." ucapku. Kakak tingkatku diam seribu bahasa. Tapi aku tahu dia tetap tidak setuju atas sikapku yang dianggapnya terlalu saklek. Biarlah.
"Maaf ya Kak, mungkin jalan berpikir kita berbeda. Tetapi yang jelas aku tetap teguh pada pendirianku untuk tidak mau terlibat menjadi panitia di acara tersebut." tuturku sebelum akhirnya aku pamit.
Kejadian tersebut terjadi sekitar 15 tahun lalu, saat aku masih berstatus mahasiswi. Jika direfleksikan dengan kondisi hari ini, apa yang menjadi prinsipku saat itu bisa juga dipakai untuk menyikapi pemikiran semacam itu.
Ya, bukankah hari ini masih banyak orang yang mengganggap bahwa semakin banyak orang salih masuk parlemen, maka akan semakin cepat terjadinya perubahan dengan berusaha mewarnai sistem rusak yang ada. Padahal realitasnya tidaklah demikian. Sesalih-salihnya orang, jika masuk ke dalam sistem sekuler demokrasi pasti akan tersandera. Alih-alih perubahan, yang ada malah terseret arus sistem rusak yang menjadi wadahnya. Bagaimana mungkin hadirkan perubahan apalagi ingin terapkan syariat Islam jika sistemnya masih menggunakan sistem demokrasi? Sudah pasti terjegal konstitusi.
Bukankah sudah sering kita dapati, baru saja berwacana soal pererapan syariat Islam dalam bingkai negara saja sudah langsung dipersekusi? Ya, demikianlah esensinya bahwa yang namanya perubahan membutuhkan dua komponen yang satu sama lain tak boleh saling terlepas, yakni orang-orang yang bertakwa dan sistem yang sahih. Tanpa keduanya, perubahan yang didamba hanya ilusi.
Aku kian memahami akan makna sebuah idealisme dalam perjuangan. Dia akan senantiasa diguncang dengan ujian duniawi. Lantas, apakah kita melepaskan genggaman kita terhadap idealisme yang kita genggam karena termakan bujuk rayu kepentingan dunia? Ataukah kita tetap teguh menggenggam idealisme itu meski panasnya membakar dan hampir saja membuat kita menyerah?
Sungguh, penguat kita dalam menggenggam idealisme itu adalah iman yang kokoh dan pemahaman yang sahih. Maka, teruslah mendekat kepada Allah dan kristalkan pemahaman sahih dalam diri kita, niscaya kita akan teguh berdiri di atas idealisme yang hakiki. Wallahu'alam bis shawab[]
Photo : Pinterest