"Mendengar omongan mama padaku membuat hatiku sedih dan menangis pilu. Aku merasa baktiku tak berharga di mata mama. Yang ditanya hanya kapan gajian dan gajian. Ia sama sekali tidak pernah menanyakan bagaimana kabarku atau menanyakan tentang pekerjaanku."
Oleh. Asri Mulya
(Kontributor NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-[La, udah gajian belum?]
[La, Mama minta uang buat bayar kontrakan rumah, dong]
[La, Mama minta uang buat modal bisnis MLM!]
Begitulah pesan-pesan mama akhir-akhir ini yang dikirim padaku lewat WhatsApp. Aku seolah kehilangan sosok mama yang dulu selalu perhatian dengan anaknya. Kini sungguh jauh berbeda 360 derajat perubahan sikapnya padaku dan adikku.
Aku Lala, anak pertama dari tiga bersaudara. Seorang perawat honorer yang baru saja diterima di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Perjuanganku mendapatkan gelar sarjana keperawatan tidaklah mudah. Berliku-liku dan beragam duka aku alami. Memang benar, perjuangan dan doa mama jugalah yang telah membuatku berhasil menggapai cita-cita.
Sebelum aku lulus kuliah dan menjadi perawat, mama selalu berutang ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya kuliahku. Hingga banyak orang-orang yang datang menagih ke rumah atau di pasar tempat mama jualan. Mama seorang pedagang sayuran yang memiliki bisnis sampingan berupa MLM (Multi Level Marketing), sedangkan bapak tidak bisa memberikan nafkah karena tidak memiliki usaha tetap.
Dalam kesulitan ekonomi rumah tangga orang tua, aku sangat memahami kesulitan mereka untuk mempertahankan pernikahannya. Pernikahan orang tuaku berakhir di usiaku yang sudah menginjak dua puluh lima tahun. Sedih sungguh sedih kurasakan. Perceraian mereka terjadi di saat detik-detik aku akan melakukan sidang skripsi, setelah mendengar kabar bapak akan menikah lagi karena merasa tidak diperhatikan oleh mama.
Pikiranku tidak karuan antara mau melanjutkan kuliah yang tinggal selangkah lagi menuju kelulusan ataukah berhenti. Aku memohon kepada Allah untuk dikuatkan menghadapi cobaan yang sedang dialami orang tuaku. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa melewati masa-masa sulit itu dan berhasil menyelesaikan kuliahku dengan nilai cum laude. Hanya ini yang bisa kuberikan pada orang tuaku, terutama mama.
Setelah lulus kuliah, aku mencoba memasukkan lamaran pekerjaan dan alhamdulillah langsung diterima di sebuah klinik 24 jam yang gajinya satu juta per bulan. Gaji itu terasa lumayan untukku sebagai pemula. Aku pun menjadi perawat home care, yakni merawat pasien di rumahnya. Namun, aku akhirnya mengundurkan diri dari klinik tersebut karena tuntutan pekerjaan yang besar tapi gajinya tidak sesuai.
Selepas itu, aku memasukkan lamaran pekerjaan baru ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Mama dan bapak masih peduli, mereka menjadi orang pertama yang memperhatikanku dan memberiku dukungan untuk bersabar. Hingga pada suatu hari, aku mendapat panggilan tes di RSUD tersebut. Aku pun berhasil lulus seleksi setelah mengikuti beberapa tahapan tes masuk menjadi perawat honorer.
Belum genap satu bulan bekerja saja, gajiku sudah langsung cair sebesar dua jutaan. Aku bersyukur dan merasa tidak percaya, ternyata ini adalah buah dari kesabaran dan ketekunan yang kujalani.
Kebetulan, setelah mama bercerai dengan bapak, aku memilih tinggal bersama bapak karena kondisi rumah kontrak petakan yang sempit dihuni oleh lima orang, yaitu aku, mama, adik, kakak, dan sepupu dari pihak mama. Kondisi tersebut tidak bisa memberiku privasi, apalagi sepupuku adalah seorang laki-laki berusia dua puluh tiga tahun yang bukan mahram bagiku.
Ternyata setelah menjadi perawat honorer dan mendapat gaji yang besar, aku dihadapkan pada ujian baru. Orang tuaku seolah berharap besar kepadaku untuk bisa memenuhi segala kebutuhan mereka. Aku paham bahwa itu adalah bentuk baktiku.
Aku berusaha membantu mama dengan membayar kontrakan rumah tiap bulannya sebesar sembilan ratus ribu. Sedangkan adikku membantu dalam pembayaran utang mama yang diangsur di koperasi pasar. Suatu ketika aku berinisiatif untuk langsung melunasi utang mama di rentenir sebesar dua juta, berharap agar mama sudah tidak memiliki utang lagi. Namun, niat dan usaha yang aku dan adikku lakukan ternyata tidak dipandang mama sebagai bentuk bakti. Mama justru memarahiku saat melunasi utangnya. Mama sama sekali tidak merasa bersyukur anaknya bisa melunasi utangnya.
"Ngapain kamu lunasin utang Mama dua juta di rentenir? Sayang sekali. Udah biasa kali orang-orang pasar punya utang," cetus mama.
"Kan maksud Lala, biar Mama udah gak punya utang lagi," ujarku.
"Mending uangnya buat modalin Mama usaha MLM daripada buat bayar utang! Liat tuh kayak temen Mama, anaknya bisa modalin mamanya, jadi usahanya sukses bisa ke luar negeri juga," cetus mama.
Mendengar omongan mama padaku membuat hatiku sedih dan menangis pilu. Aku merasa baktiku tak berharga di mata mama. Yang ditanya hanya kapan gajian dan gajian. Ia sama sekali tidak pernah menanyakan bagaimana kabarku atau menanyakan tentang pekerjaanku.
Di lain hari pun perkataan mama lebih menyakitkan. Saat aku sedang bekerja di RSUD, mama menelepon meminta uang buat modal bisnis MLM-nya. Aku mengatakan bahwa aku belum gajian karena harus mengambil sendiri pencairannya di Bank DKI di jalan Otista, bank cabang yang biasa kutempati tutup akibat masa pandemi Covid-19.
Akhirnya aku terpaksa mengambil uang gajiku yang tempatnya jauh dari rumahku di kawasan Pondok Gede. Berangkat jam empat pagi dan baru dapat gaji jam sebelas siang. Mama sama sekali tidak percaya, yang ada justru omongannya menyakiti hatiku.
"Dimintai uang sama orang tua aja bilangnya gak ada. Lupa sama Mama yang udah biayain kuliahnya," ujar mama kepada Lisa, adikku yang direkam melalui hp-nya.
Kembali aku menangis di tempat kerja. Sahabat dekatku sudah memahami masalah yang terjadi. Mereka hanya berusaha menenangkan dan menganjurkanku untuk bersabar.
"Sudah, La, yang sabar, ya! Doakan Mama Lala terus … biar segera sadar agar tidak seperti itu lagi," ujar Mita.
"Iya Mita, makasih. Mama memang sedang tertutup hatinya. Terlalu terobsesi ingin seperti temannya yang naik level di MLM dan bisa jalan-jalan ke luar negeri. Mama tidak melihat kemampuannya sampai berutang untuk modal MLM ke rentenir, padahal itu kan riba yang hukumnya haram," jawabku.
"Iya, La, dulu juga Mamaku sama seperti Mama Lala yang terjerat utang riba di rentenir. Usahanya tidak maju, yang ada justru hancur. Rumah yang digadai pun disita bank. Akhirnya beliau sadar setelah mengikuti pengajian, mendengarkan ceramah ustaz bahwa sesungguhnya riba itu diharamkan Allah dan tidak akan memperoleh keberkahan, seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 276, 'Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa,'" ungkap Mita.
"Iya, semoga saja nanti Mamaku bisa sadar seperti Mama Mita, ya," sahut Lala.
"Aamiin … " ujar Mita menutup percakapan dengan Lala.
Aku pun berpelukan dengan Mita dan kembali bekerja.[]