Hari Ini Tak Sama Lagi

"Sedih ini seakan tak bisa kutanggung lagi. Adakah yang lebih sakit dari kehilangan buah hati? Jika ada, ingin kutukar dengan kesedihan ini. Satu harapku, dia kembali lagi."

Oleh. Deena Noor
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.com- Denyut jantung samar melawan lara. Enggan mengalah pada realitas yang ada. Pun tak rela beranjak dari duka yang memeluk mesra. Ruang kosong di sudut hati tersenyum hampa. Pemilik tawa ceria itu tak lagi mengisinya.

Kudekap sehelai kain putih itu. Mencoba tenangkan pilu yang menghantam kalbu. Kuredam, meski perihnya bagai tersayat seribu sembilu.

Kehilangan ini begitu menusuk jiwa. Aku tahu hari seperti ini pasti tiba. Namun, tetap saja aku limbung dan jatuh dalam air mata. Allahu Rabbi, berikanlah kekuatan pada hamba.

Berulang kali kupanggil nama-Nya supaya ratap tak merayuku. Tumpahkan semua tanpa malu. Hanya Dia yang tahu betapa hati ini teramat pilu. Episode kelabu kehidupan tengah mengujiku.

Hari ini tak sama lagi. Dia telah pergi. Buah hati yang menjadi curahan kasih sayang itu tak lagi di sisi. Pergi, dan tak akan pernah kembali.

Masih terasa kala tangan mungilnya selalu memegangku ke mana pun pergi. Lembut jemarinya menyentuh pipi meredam gundah dan emosi. Tawa riangnya menghiasi seluruh sudut rumah ini. Tangisan dan rengekannya yang terkadang menguji nyali. Semua itu tak akan pernah ada lagi. Menghilang kini.

Dari dalam kamar yang membeku, kutatap pagi. Mentari masih saja setia pancarkan sinarnya. Burung-burung bersenandung memuji Sang Pencipta. Celoteh kehidupan bergeliat dalam berbagai rupa. Namun, kabut duka tega menyaput bahagia. Aku tersedu tanpa suara mengingatnya. Sendirian.

Deraiku berharap semua hanyalah mimpi. Hanya mimpi yang menghiasi tidur panjang untuk nanti terbangun kembali. Dan, aku bisa melihatnya tersenyum sehangat surya seperti biasanya. Namun, itu hanyalah angan kosong belaka. Begitu berat kuterima kenyataan yang ada.

Sedih ini seakan tak bisa kutanggung lagi. Adakah yang lebih sakit dari kehilangan buah hati? Jika ada, ingin kutukar dengan kesedihan ini. Satu harapku, dia kembali lagi.

Perihnya luka kehilangan kasih tercinta. Luka ini teramat menganga hingga hanya gelap yang tampak di mata. Susah payah aku menggapai cahaya. Semangat hidupku seolah berlalu bersama kepergiannya. Beribu penyesalan menghantam menambah lemahnya pertahanan jiwa.

Aku seorang ibu yang tengah merana. Sekuat tenaga kucoba bertahan dari gelombang duka. Gulungannya berulang kali mengempaskan tawakal di dada. Perasaan tiada henti membujukku meluapkan semuanya. Menangis, akhirnya yang kubisa.

Betapa sebentar waktu yang kupunya bersamanya. Belum semua yang bisa aku berikan untuknya. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersamanya. Secepat itu dia pergi.

Astagfirullah. Astagfirullah. Astagfirullah… Ya, Rabb…

Kupinta ampunan dari Sang Penguasa alam semesta. Kupanggil nama-Nya berulang kali dengan segenap kekuatan yang tersisa. Wahai hati ingatlah penciptamu! Jangan kaubiarkan setan menyusup dalam dukamu. Jangan biarkan ia membuatmu lupa pada takdir sebagai hamba-Nya.

Hati ini adalah milik-Nya. Begitu pun buah hati, belahan jiwa tercinta, adalah milik-Nya jua. Berlakulah sebagaimana mestinya. Jangan kau genggam terlalu erat seolah kau pemiliknya. Dia bukanlah hakmu. Dia hanya sebentar dititipkan-Nya padamu. Dan, kini Dia ambil kembali buah hatimu. Telah cukup kau nikmati waktu bersamanya. Relakanlah dia kembali pada Sang Pemilik sesungguhnya. Inilah saatnya kau merajut ikhlas tanpa perlu banyak kata.

Sadarku melayang pada sebuah kisah seorang perempuan mulia berabad lampau. Ummu Sulaim namanya. Ia shahabiyah yang juga seorang ibu dengan ketegarannya yang mengguncang rasa.

Terbayang syahdunya episode ketika Ummu Sulaim menyampaikan kabar kematian sang putra pada suaminya, Abu Thalhah. Dengan lembut dan tenang, Ummu Sulaim berkata kepada Abu Thalhah: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu apabila seseorang meminjam suatu pinjaman dan memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta kembali, ia enggan untuk mengembalikannya?” Abu Thalhah r.a menjawab: “Dia berlaku tidak adil.” Ummu Sulaim kemudian berkata kembali: “Sesungguhnya putramu adalah pinjaman Allah Subhanallahu wa taala bagimu, dan sungguh Allah telah mengambilnya kembali.”

Betapa tenang dan ikhlasnya Ummu Sulaim menerima takdir Sang Mahakuasa. Kehilangan putra tersayang tak membuatnya terpuruk dalam nelangsa. Dengan kesabaran seluas samudra, ia tepikan segala kesedihannya dan tetap melayani sang suami tercinta. Dengan tegar dan kuat ia tunaikan semua kewajibannya.

Sebagai ibu dan manusia biasa, hatinya jelas berduka. Namun, keyakinan yang kokoh pada ketetapan Allah tak membuatnya mencela ujian itu. Ia percaya dengan pasti bahwa semua telah diatur dengan sebaik mungkin oleh-Nya. Dan, benar adanya. Allah gantikan semua lara itu dengan yang lebih baik. Doa Nabi yang mulia pun mengiringinya.

Dari kisah Ummu Sulaim, banyak pelajaran yang dipetik. Tentang kesabaran, keikhlasan, ketegaran, berprasangka baik pada Allah, dan hanya berharap pahala dan kebaikan atas semua yang terjadi. Kita memang tak sekaliber Ummu Sulaim, namun kita masih bisa mencoba untuk mengikuti teladannya.

Betapa indahnya jiwa yang mampu menjalani semua ujian dengan sabar dan ikhlas tanpa keluh kesah. Betapa mudahnya kata dan perbuatan dalam pandangan mata. Namun, semua memang harus diupayakan bila Dia yang menjadi tujuan hamba. Pahala dan rida-Nya akan menjadi pelipur semua lara yang sementara adanya. Adapun balasan dari-Nya adalah selamanya, seperti yang telah Dia nyatakan dalam surah Az-Zumar ayat 10: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar saja yang disempurnakan pahalanya tanpa terkira.”

Hari ini memang tak akan sama seperti kemarin. Kemarin adalah masa lalu yang tak mungkin bisa kembali lagi. Kemarin telah usai dijalani. Apa pun hasilnya, ikhlas dan sabar haruslah menjiwai. Hari ini mungkin kita merasakan pahitnya kehilangan. Saat ini mungkin kita harus menelan getirnya kenyataan. Namun, dengan hanya bergantung pada-Nya sajalah, harapan akan esok dan seterusnya yang lebih cerah bisa terajut dalam jalinan pasti.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Turki Berganti Nama, Lebih Berwibawa?
Next
Ada Apa dengan Tanda Baca?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram