"Aku merasa iba dan prihatin terhadap nasib si ibu, sekaligus aku juga menyayangkan akan sikapnya yang mencampuradukan qimah dalam berjualan. Sebagai muslim tentu kita harus mampu menempatkan qimah dalam setiap aktivitas kita dengan tepat. Tidak mencampuradukannya karena akan menimbulkan kekacauan."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-"Bu, ini harganya berapa?"
" 70 ribu, Mba,"
" Ah, 50 ribu aja yaa….? Boleh yaa….Kan kita sudah akrab, harga temen lah Bu…"
" Hmm…. Iya deh, boleh 50 ribu aja."
Akhirnya satu set baju anak pun dibungkus plastik kresek dengan rapi dan diserahkan kepada pembelinya, yakni seorang wanita muda berkerudung abu-abu yang memang sudah lama dikenal oleh si ibu penjual.
Aku sedikit mengernyitkan dahi melihat adegan tersebut. Karena sebagai orang yang suka jualan juga, aku tahu betul bagaimana rasanya jika dihadapkan pada perkataan, "Sudahlah segini saja… Kan harga teman." Duh, rasanya gimana gitu. Tetapi bedanya aku tidak seperti ibu itu, teman atau bukan, harga jual tidak dibeda-bedakan. Aku bisa menebak bagaimana sesungguhnya perasaan si ibu, meski dia berusaha menutupi.
Benar saja, tak lama setelah si wanita muda pergi, si ibu curhat kepadaku bahwa sebetulnya ia seringkali merugi karena pembeli dagangannya rata-rata orang yang sudah lama dikenalnya, bahkan banyak yang sudah akrab karena bertetangga. Karena itulah, si ibu mengaku sering tidak tega saat ditawar dagangannya oleh mereka, padahal sejujurnya ia tak mendapatkan untung sepeser pun dengan harga tawar tersebut. Bahkan ada yang malah nombok alias rugi.
Jelas saja aku terperanjat mendengarnya. Aku merasa iba dan prihatin terhadap nasib si ibu, sekaligus aku juga menyayangkan akan sikapnya yang mencampuradukan qimah dalam berjualan. Sebagai muslim tentu kita harus mampu menempatkan qimah dalam setiap aktivitas kita dengan tepat. Tidak mencampuradukannya karena akan menimbulkan kekacauan.
Dalam Islam, kita mengenal qimatul amal alias nilai dalam perbuatan. Ada empat qimah, di antaranya qimah madiyah (nilai materi), qimah ruhiyah (nilai ibadah), qimah khuluqiyah (nilai akhlak), dan qimah insaniyah (nilai kemanusiaan). Dan yang aku pahami, dalam setiap perbuatan tidak boleh menggabung-gabungkan beberapa qimah sekaligus. Ibarat sekali mendayung, dua tiga pula terlampaui. No! Karena akibatnya akan kacau.
Seperti halnya si ibu penjual tadi, dalam berjualan semestinya qimah madiyahlah yang ditegakan, yakni orientasinya adalah materi. Itu sah-sah saja, karena memang tujuan dari aktivitas jual beli itu kan mendapat keuntungan. Nah, kalau digabung dengan qimah insaniyah yang terimplementasi dalam aktivitas tolong-menolong, jadinya bukan untung malah buntung.
Aku juga jadi teringat dengan seorang ibu yang pernah berkomentar agak pedas saat aku berpanas-panas ria di tengah hari mendatangi rumah-rumah demi melakukan aktivitas dakwah.
"Iih si eneng mau-maunya ya siang-siang gini nyebarin buletin begitu… Bawa anak-anak kecil lagi… Aduhh… Dibayar berapa, Neng?" Kata si ibu yang tak kukenal sambil melirik anak-anakku yang saat itu masih bayi dan balita.
Aku hanya tersenyum dan berkata, "Alhamdulillah, bayarannya tak terhingga Bu dari Allah.. "
Si ibu pun bungkam. Aku melanjutkan perjalanan sambil kian menancapkan azam dalam hati, bahwa apa yang kulakukan adalah lillah. Bukan rupiah yang kudamba, melainkan rida-Nya. Ya, karena sejak awal aku mengikatkan diri di dalam jemaah dakwah ini, aku telah berakad pada Rabbku bahwa aku akan melaksanakan aktivitas dakwah semata-mata karena-Nya. Demikianlah qimah ruhiyah kutegakan dalam aktivitas dakwah ini. Jadi, tak peduli meski tak meraih capaian materi, karena memang sejak awal akadnya lillah.
Lain halnya ketika aku mengajar di sekolah. Meski mengajar generasi adalah sebuah aktivitas mulia, namun jika sejak awal akadnya adalah ijarah (kerja), maka tentu saja yang kutegakkan di dalamnya adalah qimah madiyah. Ada hak menuntut upah atas aktivitas mengajarku. Perkara ikhlas itu lain lagi. Keduanya berdiri sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, aktivitas yang tersemat qimah madiyah di dalamnya, terikat dengan akad antarkedua belah pihak. Dalam akad ijarah tadi contohnya, sejak awal diakadkan bahwa seseorang melakukan pekerjaan itu akan diganjar dengan upah sekian, maka si pemberi kerja harus memenuhi akad tersebut dan tak layak menjadikan alasan, "Ikhlas saja, kan kamu bekerja karena Allah" sebagai jurus menunda upah atau bahkan tidak memberinya di suatu kesempatan. Jika demikian, tentu saja hal itu sebuah kezaliman.
Begitulah syarak menempatkan nilai dalam perbuatan dengan tanpa tumpang tindih. Sehingga apabila setiap manusia memahami qimah dari setiap perbuatannya, tentu saja akan membuahkan aktivitas yang diliputi keberkahan. Wallahu'alam.[]