Duka di Hari Fitri Akibat Beda Hari

Sepanjang jalan menuju masjid, hatiku gerimis. Mengapa harus ada perbedaan? Ah, andai Khalifah ada di tengah-tengah kita, mungkin perbedaan asasi seperti ini takkan pernah ada. Gimana tidak, awal dan akhir Ramadan itu harusnya sama, karena berkaitan dengan hukum syariat atas banyak persoalan lainnya. Masa iya, umat Islam tetap berpuasa di hari raya Idulfitri? Haram hukumnya. Belum lagi penentuan tanggal ganjil dan genap di 10 hari terakhir bulan Ramadan, akan salah jika awal memulainya juga salah.

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Cerita ini terjadi sekitar 16 tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kuliah. Saat itu aku baru menjadi aktivis dakwah dan rutin mengkaji Islam kaffah. Di usia itu aku baru memahami bahwa memulai dan mengakhiri Ramadan adalah dengan melihat adanya hilal (bulan) berdasarkan metode rukyatul hilal global. Artinya, melihat keberadaan hilal tak hanya di wilayah tempat tinggalnya sendiri, melainkan di seluruh di dunia. Namun faktanya, penggunaan metode tersebut seringkali menimbulkan perbedaan dengan ketetapan pemerintah di Indonesia yang notabenenya menggunakan metode rukyatul hilal lokal.

Saat itu, ternyata berdasarkan rukyatul hilal global, hilal Syawal telah terlihat. Artinya, Idulfitri telah tiba. Namun, pemerintah negeri ini, berdasarkan sidang isbat, telah menetapkan bahwa Idulfitri jatuh keesokan harinya.

"Kita ikut pemerintah saja." ujar Bapak saat kusampaikan bahwa hilal Syawal sudah tampak malam itu.

Akhirnya kujelaskan panjang lebar terkait rukyatul hilal global sebagai metode syari penentuan awal dan akhir Ramadan, tak lupa menyampaikan hadis yang berkaitan dengan itu. Namun, Bapak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Taat pada Ulil Amri, katanya.

"Kalau salah, yang dosa kan pemerintah." kata ibuku.

"Tetap aja Bu, kita wajib mencari tahu yang benar. Kalau sudah tahu yang benar, tapi tetap ikut yang salah, berarti dosanya ditanggung sendiri." ucapku.

"Lagipula Ulil Amri yang layak ditaati kan mereka yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Bu. Lah, kalau pemimpin sekarang, apa mereka taat? syariat Islam aja nggak mau menerapkan." kataku.

Ibu dan Bapak hampir tak bisa berargumen lagi, tetapi mereka tetap teguh pada pendirian awalnya. Akhirnya terpaksa hari itu aku mencari tempat salat Ied seorang diri. Ibu dan Bapak masih berpuasa Ramadan. Tak ada opor ayam dan ketupat terhidang di atas meja.

Pagi-pagi bakda subuh aku sudah bersiap-siap pergi ke tempat salat Ied. Aku mendapatkan info dari teman bahwa masjid yang mengadakan salat Ied hari itu ternyata letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku. Maka, aku berangkat dari rumah sejak pukul 05.30 WIB. Untuk menuju ke masjid tersebut, aku harus menaiki angkot dua kali dan becak satu kali.

Sepanjang jalan menuju masjid, hatiku gerimis. Mengapa harus ada perbedaan? Ah, andai Khalifah ada di tengah-tengah kita, mungkin perbedaan asasi seperti ini takkan pernah ada. Gimana tidak, awal dan akhir Ramadan itu harusnya sama, karena berkaitan dengan hukum syariat atas banyak persoalan lainnya. Masa iya, umat Islam tetap berpuasa di hari raya Idulfitri? Haram hukumnya. Belum lagi penentuan tanggal ganjil dan genap di 10 hari terakhir bulan Ramadan, akan salah jika awal memulainya juga salah.

Aku pun berdoa, semoga Allah lembutkan hati kedua orang tuaku untuk menerima kebenaran. Dan semoga suatu saat nanti mereka akan berpaling dari penguasa yang sebetulnya sangat tak layak ditaati. Aku juga berdoa, semoga Khilafah sebagai institusi penerap syariat Islam secara kaffah dapat segera tegak di atas muka bumi ini. Laa hawlaaa walaa quwwataa ilaa billah.

Ternyata masjid yang dimaksud berada di dalam lingkungan pabrik. Becak yang kutumpangi tidak boleh masuk ke dalam. Padahal letak masjidnya ada di dalam, letaknya masih sekitar 1 kilometer lagi dari jalan utama. Akhirnya aku menempuhnya dengan berjalan kaki. Aku menggangap bahwa itu bagian dari pengorbanan dalam keistikamahan di jalan kebenaran.

Semakin jauh aku melangkah, suara lantunan takbir sayup-sayup terdengar syahdu. Merasuk ke relung kalbu, menghadirkan ketentraman jiwa. Mungkin beginilah yang disebut fitrah, tatkala mendengar asma-Nya dilantunkan, manusia sejatinya merasa tenang. Masyallah….

Sampai di masjid ternyata sudah ada puluhan jemaah yang hadir. Suara takbir terdengar semakin jelas dan keras dari dalam masjid. Aku mengikuti lirih lantunannya seraya menggelar sajadahku. Satu per satu jemaah berdatangan. Tak satu pun kukenal. Namun, aku merasa bahagia karena ternyata banyak yang satu pemahaman denganku.

Usai salat Ied dan mendengarkan khutbahnya, aku bersalaman dengan jemaah akhwat lainnya. Aku merasa begitu dekat dan akrab dengan mereka, sebab mereka begitu ramah menyapaku dan menghujaniku dengan senyuman. Mungkin itulah yang disebut persaudaraan berasaskan ikatan akidah. Meski tak saling kenal, tapi merasa dekat karena diikat oleh akidah yang sama.

Alhamdulillah…. Kisah 16 tahun lalu kini tak lagi terulang. Orang tuaku sudah mampu melihat kesalahan penguasa hari ini dan abainya mereka terhadap syariat Islam. Sehingga setiap memulai Ramadan atau mengakhirinya, ibuku selalu bertanya kepadaku, "Apakah hilal sudah terlihat?" Dan beliau akan ikut pada ketetapan rukyatul hilal global. Masyallah…

Bahkan Bapak sebelum wafat tiga tahun lalu juga mau melaksanakan salat Ied bersamaku di masjid yang cukup jauh dari tempat tinggalnya karena perbedaan hari Idulfitri dengan pemerintah. Itulah salat Ied terakhir Bapak, sebelum akhirnya beliau berpulang kepada pemiliknya. Betapa Allah Mahabaik, memudahkan kita untuk lebih mudah memahami kebenaran Islam. Dialah juga yang menggenggam hati setiap hamba-Nya dan membolak-balikkannya dengan sangat mudah. Kun Fayakun.

Kini, tinggallah kita harus terus berpegang teguh pada keyakinan Islam yang utuh. Terus melangkah dalam perjuangan demi tegaknya Khilafah Islamiah. Jangan lupa, terus bersabar dengan prosesnya, kelak akan ada nikmat di atas nikmat yang akan kita peroleh, yakni surga.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Waspadai Tanda-Tanda Anak Terkena Hmfd
Next
Al-Mutawakkil Alallah, Khalifah yang Mencintai Ulama Ahlusunah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram