“Wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dalam posisi suka dan disukai.Bergabunglah dengan hamba- hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”(QS.AlFajr:27-30)
Andrea Aussie
(Pemred NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Mendung bergelayut manja mengantar sang raja siang ke tempat peraduannya. Semilir angin mencubit pori-pori kulit menjalarkan rasa dingin dalam raga. Dari balik jendela kupandangi aliran air sungai mengisi kolam-kolam milik tetangga. Ya, rumah kecil ini berada di pinggir sungai dekat hamparan beberapa kolam milik tetangga. Di sungai itu juga aku sering bermain bersama teman karibku.
“Sudah sore, Nak! Tutuplah jendela itu, sepertinya akan hujan besar.” Suara Umi Siti lembut menyapa telingaku. Aku segera menutup jendela dan duduk bersila dekat Umi Siti yang sedang sibuk menyalakan lampu teplok.
“Cepatlah makan. Umi sudah masak makanan kesukaanmu. Kamu juga harus segera pulang, takut mereka marah kepadamu.“
“Malam ini aku menginap di rumahmu, Umi! Aku kangen Umi!” jawabku sambil mengisi piring dengan nasi putih, oreg tempe kering campur ikan teri dan kacang tanah. Salah satu menu favoritku.
“Kamu tidak boleh menginap di sini. Selesai makan, kamu harus segera pulang ke rumah itu. Besok kamu harus pergi ke sekolah 'kan?”
“Besok libur sekolah, Umi! Aku sudah minta izin kepada mereka kalau malam ini aku menginap di rumah ini. Dan aku janji besok pagi-pagi aku pulang untuk menyabit rumput dan mengairi sawah-sawah mereka!”
Umi Siti terdiam mendengar jawabanku. Aku mencoba mengunyah perlahan makananku dan merasakan kenikmatan luar biasa melahap campuran ikan teri itu.
“Siapa yang melakukannya, Nak?” tiba-tiba tangan Umi Siti mengelus pipi kananku. Aku menghentikan makanku dan sejenak menundukkan kepalaku. Kuhela napasku. Ada rasa enggan untuk berbicara jujur. Aku takut menyakiti perasaan Umi Siti.
“Apakah Nyonya Besar marah lagi?” selidik Umi Siti.
“Aku terjatuh, Umi ! Tak apa-apa kok!"
“Jangan berbohong. Sejak kapan kamu belajar berbohong? Umi tak pernah mengajarimu untuk berkata bohong. Lagipula mana ada orang jatuh tapi di pipi kanannya ada jejak telapak tangan tergambar jelas lima jarinya? Katakan, siapa yang menamparmu dengan keras?” tanya umi menahan marah.
“Aku yang salah, Umi! Aku memakai sandal jepit punya Tuan Besar untuk pergi mengaji ke masjid. Jadi Tuan Besar marah dan menampar pipi kananku. Dua gigiku copot akibat tamparan kerasnya. Tapi sekarang sudah nggak sakit kok, buktinya aku masih mampu makan oreg tempe ini !” jawabku mencoba tersenyum.
“Kenapa kamu berani memakai sandal milik mereka? Ke mana sandalmu yang Umi belikan dulu?”
“Sandalku copot talinya dan aku terburu-buru berangkat ke masjid karena sudah terlambat. Aku kehujanan setelah menggembala kambing dan mengurus sawah jadi terlambat pulang ke rumah.”
Kulihat Umi Siti terdiam. Aku melanjutkan makanku seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perasaanku sangat gembira karena bisa bertemu kembali dengan Umi Siti setelah 4 tahun berpisah. Umi Siti pergi ke Jakarta untuk bekerja, sementara aku tinggal dengan keluarga Tuan Besar agar aku bisa mengenyam pendidikan di SD Purwawinangun V.
“Umi, bolehkah aku bertanya sesuatu? Tapi Umi jangan marah ya?” tanyaku hati-hati sambil merapikan lagi piring yang sudah kucuci ke raknya.
“Bertanyalah, semoga Umi bisa menjawabnya!” jawab Umi Siti lembut. Mata Umi Siti seolah menelanjangi jiwaku. Keraguan mulai menyergap hatiku. Aku takut Umi Siti marah, namun aku butuh kepastian jawaban darinya.
“Apakah benar kalau Umi bukan ibu kandungku? Apakah benar kalau Tuan dan Nyonya Besar adalah orang tua kandungku?" tanyaku dengan suara parau menahan tangis.
Kupandangi wajah Umi Siti. Rasa kaget menjalar di tubuhnya. Sejenak kami terdiam mencoba menikmati nyanyian bisu malam itu.
“Kata siapa? Aku adalah ibumu! Aku yang merawatmu sejak bayi dengan penuh kasih sayang. Aku ibumu, Nak!” Umi Siti menjawab dengan suara bergetar.
“Sejak Umi pergi ke Jakarta para tetangga bilang bahwa aku bukan anakmu. Mereka bahkan mengatakan bahwa aku anak Tuan dan Nyonya Besar. Mereka sering menasihatiku agar aku menuntut hak yang sama sebagai bagian dari keluarga Tuan dan Nyonya Besar. Bukan sebagai budak belian yang terus disiksa dan menderita. Aku tidak mau mempercayai omongan para tetangga, tapi aku juga butuh penjelasan dari Umi! Apa betul aku bukan anakmu? Siapakah aku, Umi !” desakku menahan tangis.
“Kamu adalah anakku, Nak! Aku ini ibumu, Nak!” kata-kata Umi Siti sangat tegas.
“Kalau aku anakmu, lalu di mana ayahku? Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya? Kata orang kalau Umi tak pernah menikah dengan siapa pun dan pernah bekerja kepada keluarga Tuan dan Nyonya Besar. Atau apakah Umi melahirkanku di luar pernikahan. Tapi… siapa yang menjadi ayahku? Tolong jawab ya, Umi! Aku butuh penjelasan Umi! Katakanlah, siapakah aku ini!” desakku.
Kulihat Umi Siti terhenyak. Tubuhnya bergetar hebat. Lambat laun kulihat Umi Siti mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan ujung jilbabnya. Suasana begitu hening membisu. Hati dan jiwa ramai menelisik, mencoba mengurai jawabannya.
Pikiranku melayang pada masa-masa hidup bersama Umi Siti. Sejak bayi sampai usia 6 tahun aku hidup damai bersama Umi Siti. Menempati sebuah rumah yang sangat sederhana. Berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah. Tak ada aliran listrik seperti milik tetangga, yang ada hanyalah lampu teplok di dinding. Kehidupan yang sangat sederhana namun nilai syariat Islam sangat keras diajarkan oleh Umi Siti kepadaku. Hasilnya di usiaku 9 tahun aku sudah mampu mengajari teman-teman di masjid membaca Al-Qur'an dan mencoba menjadi muslimah sejati.
Kebersamaan kami harus terhenti saat usiaku menginjak 6 tahun. Umi Siti membawaku ke sebuah tempat yang agak jauh dari rumah Umi Siti. Aku dititipkan kepada keluarga terpandang dan kaya dengan alasan agar aku bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di sekolah. Umi Siti sendiri pergi ke Jakarta mencari uang lebih banyak untuk masa depan kami yang lebih cerah.
Sepeninggal Umi Siti, aku mengalami babak baru kehidupan yang sangat mengejutkanku di rumah orang kaya tersebut. Aku diperlakukan sebagai budak belian yang tiada harganya di keluarga Tuan dan Nyonya Besarku. Entah berapa banyak dan betapa dalam penyiksaan lahir batin yang kuterima. Aku mencoba bertahan semata ingin meraih pendidikan agar aku bisa menjadi seorang dokter!
https://narasipost.com/story/08/2022/dalam-tangisku/
‘Maafkan Umi, Nak! Umi tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Umi terikat dengan sumpah yang sudah terucap dulu!” suara Umi Siti membuyarkan lamunanku.
“Sumpah apa itu, Umi?” tanyaku penasaran.
“Belum saatnya kamu untuk mengetahui semuanya. Umi tidak bisa mengatakannya. Tapi percayalah Nak, Umi sangat mencintaimu. Dilahirkan atau tidak dilahirkan dari rahimku, kamu tetap anak Umi! Sampai akhir hayat pun, Umi akan menyayangimu sebagai anakku sendiri. Mohon, jangan paksa Umi melanggar sumpah Umi. Biarlah waktu yang akan bicara. Suatu saat engkau akan tahu kebenarannya!”
Aku terdiam. Tetesan bening mulai menetes dari sudut mataku. Bak anak sungai yang mengalir mencari celah ke muara. Batinku berkecamuk. Di satu sisi aku ingin mengetahui siapakah aku ini, namun di sisi lain aku tidak tega memaksa dan menyakiti perasaan wanita yang sudah merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta kasih.
“Maafkan aku, Umi! Aku berjanji tidak akan bertanya apa pun tentang jati diriku kepadamu jika pertanyaan itu menyakiti perasaanmu!” kataku sambil memeluk Umi Siti. Pelukanku makin erat seolah mencoba berdamai dengan jiwaku yang sedang mencari jati diri. Tentang siapakah aku ini!
Keheningan malam mulai merayap. Suara jangkrik dan kodok seolah berirama dalam simfoni kehidupan malam. Menyertai rintik hujan yang mulai membasahi bumi. Melenakanku yang tertidur di atas sajadahku dalam balutan ruang hampa pencarian jati diri. Pencarian tentang siapakah aku ini!
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dalam posisi suka dan disukai. Bergabunglah dengan hamba- hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr: 27-30)
Double Bay, 21 Maret 2024
Entah sampai kapan kegalauan akan menyelimuti perasaan anak itu. Jati dirinya saja tidak tahu, bagaimana harus menentukan arah kehidupannya? Semoga tidak lagi ada anak yang mengalami serupa.
Selalu keren tulisannya, barakallah Bu.
Anak sekecil itu sudah bertanya siapakah dirinya sesungguhnya. Sedihnya membaca cerita ini
Sedih mom bacanya. Namun, saya percaya, orang-orang hebat lahir dari kesederhanaan dan tempaan bukan dari kemudahan dan kesenangan. Semoga kebahagiaan selalu menyertai mom dan keluarga. Aamiin.
Ya Allah.. ternyata masih ada orangtua yang tega menganiaya anaknya, darah dagingnya sendiri.. betapa perih hati Mom mengetahui kenyataan bahwa mereka itu adalah keluarga sendiri...
Ya Allah Mom, betapa berat masa kecil yang harus dijalani dengan begitu banyak penderitaan.
Takdir yang telah terlukis di langit-Nya. Semoga ketabahan dan keikhlasan menerimanya menjadi obat termanjur sepanjang hidup. Rida. Aamiin
Salam bahagia mom
Masyaallah, nelangsa aku baca kisah ini. Di zaman modern kayak gini kok masih ada ya orang tua yang jahat. Sedih kalau baca kisah masa kecil Mom.
Anak kecil yang harus menjalani kehidupan yang begitu pahit. Sudah seperti di sinetron.
Aku membaca kisah ini dengan hati yang tersaput nelangsa..
Percayalah.. kesedihan dan kebahagiaan adalah episode yang bergiliran.. tak akan selamanya sedih.. tak akan selamanya bahagia..
Kita hanya harus berupaya ikhlas menerima semuanya..
Barakallah Bu Andrea..
MasyaAllah, Kisahnya berhasil menyentuh hati. Memang kalau Mom sudah nulis story nda pernah gagal. Barakallah Mom Andrea