"Dia menemukan fakta baru bahwa bukan menang yang seharusnya dijadikan sebagai tujuan, itu terlalu sempit. Tujuan yang seharusnya harus luas, menyangkut orang lain, dan menjangkau lebih luas lagi. Maka secara tidak langsung kemenangan itu akan datang sendiri."
Oleh. Nofifah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tidak punya prestasi, merasa rendah diri, merasa tertinggal, dan perasaan-perasaan lain yang sebagian besar membawa dampak buruk terhadap dirinya, itulah Nofifah. Seorang perempuan muda berusia 20 tahun yang saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi di Sumatra.
Namun sayang, jiwa-jiwa seperti Nofifah belakangan ini makin banyak bersemayam dalam jiwa anak muda Indonesia. Tidak sedikit anak muda Indonesia yang merasa bahwa dirinya tidak berharga karena tidak pernah menjuarai lomba apa pun. Padahal, dia tidak pernah juara hanya karena dia tidak pernah mencobanya.
Cobalah pikirkan ini! Mereka, teman-temanmu yang mungkin selalu memamerkan prestasinya di depanmu, ternyata hanya sebuah kebetulan saja. Mungkin saat itu keberuntungan memihaknya. Sebenarnya kau lebih berpotensi, tetapi kau tak pernah berani untuk mencobanya. Sepintar apa pun dirimu, janganlah besar kepala dan menganggap bahwa sekali mencoba akulah yang akan menjadi pemenang, karena merasa kau paling berprestasi.
Ini yang akan penulis ceritakan. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari kisah penulis.
Untuk pertama kalinya, Nofifah memberanikan diri mengirim naskah atau tulisan ke sebuah komunitas menulis dengan sedikit perasaan yakin bahwa dia akan menang. Singkat cerita, tibalah di malam pengumuman pemenang, Nofifah sudah sangat bersemangat akan memperoleh juara dalam lomba kali ini (padahal ini adalah perdana dia mengikuti lomba). Acara dilakukan secara online melalui platform Zoom. Karena perasaan percaya dirinya yang tinggi sebelumnya, besar harapannya bahwa dia akan memperoleh kemenangan. Dia pun mengikuti acara itu sampai larut malam.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam dan pengumuman pemenang akan segera digelar. Namun sayang, namanya tak ada dalam deretan nama-nama pemenang. Kecewa? Pasti. Nofifah putus asa dan seperti kehilangan semangat untuk menulis lagi. Sebenarnya Nofifah bisa saja tidak sekecewa ini, jika sejak awal dia tidak begitu berharap bahwa akan masuk ke barisan para pemenang. Dikarenakan sejak awal demikian, kekecewaan dan rasa putus asanya tentu menghantam dirinya. Lebih parahnya lagi, rasa percaya dirinya yang sebelumnya tinggi, kini diselimuti dengan rasa tidak berguna, tidak memiliki kemampuan, dan perasaan rendah diri.
Selang beberapa hari, pihak komunitas menulis tersebut menghubunginya dan mengatakan bahwa naskahnya masuk ke dalam 35 besar dan buku antologi yang akan diterbitkan oleh pihak komunitas itu. Kini, kepercayaan dirinya sedikit bertambah kembali. Bukan hanya itu, tulisannya pun akan dipublikasikan di website resmi pihak komunitas menulis tersebut.
Maka dengan rasa bahagia yang tiba-tiba itu, semangat menulisnya kembali menyala, perasaan baik pada dirinya kini mulai tumbuh. "ternyata tulisanku gak jelek-jelek amat, ternyata mereka bisa menangkap maksud yang kusampaikan dalam tulisanku," Gumamnya dalam hati.
Hingga kini, dia sudah siap untuk tulisan-tulisan selanjutnya yang lebih baik. Ternyata perasaan "dianggap" itu sangat penting. Ternyata manusia merasa lebih berharga saat manusia lain mengetahui keberadaannya di dunia ini.
Dengan perasaan yang lebih baik, tentu saja Nofifah menyebarkan tulisannya itu kepada semua orang, dia ingin mengatakan, “lihatlah ini, saya punya tulisan, saya yang buat sendiri.” Sesederhana itu dia sudah merasa bahagia. Bagaimana kalau dia yang menjadi juara 1?
Sekarang, Nofifah jadi lebih berhati-hati, dia lebih siaga dari sebelumnya. Tak ingin terlalu bahagia yang akhirnya membuat dia kembali terjatuh karena perasaan yang dia buat-buat sendiri. Kali ini dia bahagia tetapi tetap mengontrol kebahagiaan itu. Dia sudah tanamkan dalam dirinya bahwa masih banyak yang lebih baik dari dia, dia hanya beruntung, dan sejatinya dia belumlah menjadi apa-apa. Dan tentu saja, kerendahan hati itu lebih baik.
Hingga pada suatu hari, Nofifah sedang menuju ke musala untuk melaksanakan salat. Di sana dia bertemu dengan kakak tingkatnya di jurusannya. Maka tanpa berpikir dia menyapanya.
“Eh, Kak!”
Tanpa menunggu waktu lama, orang yang disapa segera membalas dengan tidak kalah ramahnya.
“Nofifah, ya?”
“Iya, Kak,” jawabnya singkat.
Kemudian seseorang yang dipanggilnya kakak ini pun membalas lagi.
“Bagus sekali loh tulisan kamu itu, yang sepotong apel, kakak baca semalam.”
(deg, perasaan yang tidak dapat digambarkan olehnya, terkejut karena tiba-tiba memperoleh pujian karena tulisannya itu).
Maka dengan perasaan yang tidak tergambarkan itu, dia menjawab, “eh, makasih, Kak.”
Sejak kejadian itu, perasaan ingin menang Nofifah kini berubah menjadi "bagaimana agar tulisannya bermanfaat untuk orang lain". Dia menemukan fakta baru bahwa bukan menang yang seharusnya dijadikan sebagai tujuan, itu terlalu sempit. Tujuan yang seharusnya harus luas, menyangkut orang lain, dan menjangkau lebih luas lagi. Maka secara tidak langsung kemenangan itu akan datang sendiri.
Seperti diajarkan dalam Islam “kejar dunia, dapat dunia atau bahkan sering kali tidak dapat, namun saat kita mengejar akhirat maka dunia akan ikut di belakangnya.”
Banyak cerita dan kisah yang sudah dapat dijadikan bahan percontohan, seperti ketika Zulaikha mengejar cinta Nabi Yusuf, namun Allah Swt. menjauhkan Nabi Yusuf darinya. Tapi saat Zulaikha mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pemilik Alam Semesta dan isinya, maka Allah Swt. Yang Maha Segalanya mendekatkan Nabi Yusuf kepada Zulaikha.
Maka tetapkan tujuanmu, jangan membuat tujuan pribadi menjadi yang utama. Itu terlalu sempit! Wallahu a'lam bishawab.