“Aku yakin jika tulisan-tulisan yang sudah dibuat akan lebih sempurna dan bermakna dalam hidup, ketika menjadikannya sebagai uslub (cara teknis) dalam berdakwah.”(Challenge True Story )
Oleh. Mariyam Sundari
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menulis memang sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Saat dewasa sampai sekarang pun, aku masih terus berkarya lewat tulisan. Beragam tulisan sudah pernah aku buat, seperti puisi, skenario, cerita pendek (cerpen), termasuk novel juga sudah pernah kucoba. Tetapi, aku tetap merasa ada yang kurang dalam tulisanku itu. Dengan terus mencari hingga akhirnya kutemukan passion-ku dalam menulis.
Semua berawal dari cita-cita. “Aku ingin bisa berkarya lewat tulisan yang mampu mengubah pemikiran pembaca,” ujarku di setiap doa. Untuk menempuh itu, aku melanjutkan pendidikan di kampus Islam modern yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalku. Komunikasi penyiaran adalah jurusan yang cocok untuk diambil guna meneruskan karya menulisku. Di kampus, aku banyak mendapat ilmu dan pengalaman baru, seperti ilmu komunikasi, wawancara, termasuk berbicara sekaligus praktik di stasiun televisi, radio, serta menulis di beberapa media massa.
Untuk menjadi penulis unggul, aku masuk lembaga pers hingga akhirnya mengikuti tes kemampuan nyali (keberanian) di Pondok Pesantren Modern Arriyadh, yang jarak tempuhnya memakan waktu 5 jam dari kediamanku. Aku dan peserta lain mengikuti tes dengan jumlah lebih dari 200 peserta laki-laki dan perempuan yang ditempatkan secara terpisah. Aku salah satu peserta perempuan di dalamnya.
Semua peserta mengikuti tes awal berupa tertulis dan praktik langsung ke lapangan. Hampir semua peserta lulus. Sampai pada tes terakhir yang menegangkan dilakukan pada waktu pertengahan malam. Aku dan peserta lain aktif mengikuti.
Tepat pukul 01.00 dini hari, semua peserta dibangunkan secara dadakan. Dalam hitungan sepuluh mundur, semua peserta sudah harus berbaris di lapangan. Banyak peserta yang masih mengenakan pakaian tidur. Bahkan, banyak yang tidak menggunakan alas kaki (sandal).
Satu persatu peserta dipanggil, hampir semua gagal karena takut. Kini saatnya giliranku, dag dig dug dadaku berirama. “Assalamualaikum,” kata Kak Dewi (panitia pers) menyapa. “Wa’alaikumussalam,” dengan sedikit tegang aku menjawab. “Sekarang ambil kertas yang ada di pohon itu!” kata Kak Dewi seraya menunjuk ke arah pohon di kebun yang jaraknya 1 km dalam keadaan gelap.
Sambil menengok kanan kiri, aku terus melangkah maju dengan perlahan. Saat di pertengahan jalan langkahku terhenti. Hampir saja berbalik mundur, tiba-tiba teringat pesan ibuku yang sering ia katakan, “Hidup adalah tantangan. Jika kau punya cita-cita, berusahalah untuk berhasil menghadapi tantangan.” Dengan penuh percaya diri langkahku makin cepat maju. Sampai di depan pohon besar segera kuambil kertas putih yang menempel di batangnya. Dengan sedikit berlari, aku berbalik kembali.
“Alhamdulillah,” ucapan semua peserta dan panitia setelah melihatku berhasil mengambil kertas. Aku adalah salah satu dari dua yang lulus tes ujian. Peserta lain semua gagal pada ujian ketiga, yaitu mengambil kertas di batang pohon. “Tes uji nyali ini memang khusus untuk orang-orang pemberani dan tangguh. Ini akan berguna ketika kita menjadi penulis dalam menyampaikan kebenaran dan terjun lapangan. Jika terdapat masalah, maka seseorang yang bermental kuat akan terus maju tanpa goyah,” kata Kak Dewi menjelaskan setelah semua tes ujian selesai.
Aku bersyukur resmi menjadi anak pers kampus. Dengan amanah membantu menulis majalah, koran, juga mewawancarai rektor, dekan, dosen, presiden mahasiswa, dan lain-lain. Untuk kemudian dibuat tulisan serta memuatnya di majalah dan koran.
Tanpa lelah aku terus menulis dan meliput kejadian-kejadian dalam masyarakat, kemudian disebarkan lewat siaran televisi, radio, dan media cetak. Walaupun begitu, aku tetap merasa ada yang kurang dalam tulisan. Akhirnya, aku putuskan menjadikan menulis sebagai jalan dakwah.
Menjadikan Tulisan sebagai Uslub Dakwah
Sebagai muslim, aku memahami ada kewajiban berdakwah. Apalagi sudah dipertemukan dengan jemaah yang menyuarakan Islam kaffah. Aku yakin jika tulisan-tulisan yang sudah dibuat akan lebih sempurna dan bermakna dalam hidup, ketika menjadikannya sebagai uslub (cara teknis) dalam berdakwah. Aku beralih dan meninggalkan semua aktivitas di stasiun televisi, radio, dan media cetak. Aku pikir, tulisan dan perkataanku itu hanya menjelaskan fakta dan masalah tanpa ada solusi di dalamnya. Aku ingin mengantarkan tulisan menjadi sebuah nilai yang berarti bagi umat.
Aku memilih menjadi penulis ideologis, dengan alasan untuk berperang lewat pemikiran terhadap orang-orang yang berusaha mengaburkan syariat Islam. Untuk bisa menulis rutin, aku menjadwalkan waktu untuk menulis. Walau terkadang lelah kuhiraukan. Tidak jarang tulisanku ditolak media, terutama media umum yang visi misi mereka bertolak belakang dengan tujuanku berdakwah. Namun, aku tidak putus asa untuk terus mencari cara supaya tulisanku tetap dimuat oleh media-media yang banyak dibaca khalayak. Aku bersyukur, di antara media yang menolak ada juga media yang mau menerima tulisanku.
Saat mampu menulis, aku giat melakukannya dengan harapan supaya bisa terus mendapat pahala dari Allah Swt. Menjadikan menulis sebagai bagian dari kebiasaan dalam hidup. Pernah kubaca hadis bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat,” (HR. Bukhari). Dengan melihat hadis ini, ketika jadwal menulis rasa malas jadi hilang. Yang ada semangat jadi bertambah.
Aku terus berusaha mengajak pada kebaikan dan ingin orang-orang tercerahkan ketika membaca tulisanku. Aku juga berharap, orang-orang yang sudah tercerahkan mengamalkannya kembali. Semata-mata hanya untuk memperoleh rida Allah Swt. dan pahala-Nya.
Aku ingat sebuah hadis Rasulullah saw., beliau bersabda, “Barang siapa yang mengajak menuju hidayah, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka. Barang siapa yang mengajak menuju kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka,” (HR. Muslim). Hadis ini yang memotivasiku menjadikan menulis sebagai uslub (cara teknis) dakwah.
Bertemu Media Dakwah
Dengan bertemu media dakwah, aku jadi lebih mudah untuk mengirim tulisan. “Alhamdulillah,” syukurku dalam diri. Aku bangga, di balik banyaknya media yang menolak tulisan dakwah, justru bermunculan media yang siap menyuarakan tulisan dakwah.
Sudah banyak tulisanku dimuat di media dakwah. Aku sangat bersyukur kepada Allah Swt. Inilah perjuangan dan pilihan hidup yang kuambil. “Hidup adalah pilihan. Berjuang tidak berjuang, cepat atau lambat, kita akan mati. Setiap pilihan pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.”
Dari sekian banyak media yang kukenal, ada satu yang menyentuh perasaanku. NarasiPost.Com, iya! Media inilah yang aku nilai berbeda. Walau baru mengenalnya, aku sudah banyak belajar dari teman-teman penulis yang ada di dalamnya. Begitu akrab, semangat, ceria dan banyak hadiah. Yang paling terkesan bagiku adalah Pemred NarasiPost.Com, Mom Andrea. Aku banyak belajar darinya, terutama dalam menghargai tulisan dakwah.
Pesanku, teruslah menebar manfaat untuk Tim dan Pemred NarasiPost.Com. Teruslah berjuang untuk teman-teman semua para penulis ideologis. Alhamdulillah, luar biasa, Allahu Akbar. Barakallahu fikum. []
Masyaallah membaca naskah ini jadi strong lagi nih. Semangat terus menebar dakwah lewat dunia literasi
MasyaAllah Sharing yang sangat berkesan, karena sejatinya tulisan adalah hal yang paling dikenang walaupun sang penulis telah tiada namun karyanya tersebar luas kepenjuru dunia. Barakallah