Separuh Waktuku Ada Bersamamu, Covid

Kami berpikir, dari sekian banyak orang, mengapa harus kami yang mengalami hal ini? Dan ternyata kami membuktikan bahwa kami semua mampu melewati cobaan tersebut. Kami juga mampu menjadi contoh baik bagi masyarakat di sekitar. Keluarga adalah sumber kekuatan utama bahwa kami harus terus berjuang walaupun terasa mustahil.

Oleh. Paskalia Dwi Wijayanti

NarasiPost.Com-Bulan Juli 2020, tanpa ada pertanda, seperti petir di siang bolong, kami satu keluarga besar harus melakukan isolasi mandiri dikarenakan salah satu dari anggota kami dinyatakan positif Covid-19. Kami sekeluarga berjumlah lima orang, dengan empat orang dewasa dan satu balita yang tinggal dalam satu rumah, serta tiga keluarga lagi yang merupakan saudara kandung kami yang tinggal di tempat berbeda.

Berangkat dan pulang kerja dijalani seperti biasa, yang membuat terasa berbeda adalah sekarang kami harus memakai masker, mencuci tangan, menyemprot baju jika kami baru dari luar rumah, serta menggunakan hand sanitizer juga telah dilakukan. Namun, suatu ketika ayah tiba-tiba sakit. Diawali dari diare yang tidak berhenti walaupun sudah mengonsumsi obat. Kemudian ditambah panas/demam dan muntah serta mual. Karena ada saudara yang bekerja di bidang kesehatan, ayah langsung dirujuk menggunakan fasilitas BPJS. Kami masih berusaha berpikir positif bahwa sakit yang dirasakan ayah hanya diare semata. Setelah dirawat beberapa hari, ayah diharuskan pulang. Ayah pulang masih dalam kondisi lemas dan semakin tidak nafsu untuk makan.

Selang istirahat dua hari di rumah, ayah kemudian dibawa ke rumah sakit yang berbeda untuk mendapatkan perawatan lanjutan karena kondisi yang tak kunjung membaik. Singkat cerita, setelah ganti dokter karena diagnosis sakit yang berbeda-beda, mengonsumsi banyak obat-obatan, difoto rontgen, sampai diharuskan memakai oksigen kantong karena saturasinya yang jauh di bawah normal, kondisinya tak kunjung membaik. Atas usulan keluarga, beliau harus di-swab dengan biaya mandiri yang harganya masih jutaan waktu itu dan dinyatakan positif. Barulah kami tahu bahwa sakit yang beliau rasakan karena Covid-19.

Kami sekeluarga harus isolasi mandiri. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan dan siapkan. Saya adalah seorang ibu dengan satu balita. Perasaan saya waktu itu sangat kacau, sedih, takut dan gelisah. Tapi saya pribadi harus kuat untuk buah hati yang tercinta. Kami patuh pada aturan bahwa harus lapor pada RT/RW setempat dan puskesmas, yang mana dampak dari laporan ini sangat mengejutkan bagi saya pribadi dan keluarga besar kami.

Telepon tidak pernah berhenti berdering dari rumah sakit, puskesmas, tempat kerja, saudara, RT/RW setempat dari pagi, siang hingga malam. Kami sangat tidak siap dengan perbekalan untuk isolasi selama di rumah, belum lagi kecemasan bahwa kami juga bisa dinyatakan positif. Selang beberapa hari, kami dijemput oleh petugas puskesmas yang ber-APD lengkap untuk melakukan swab menggunakan ambulans. Sampai saat ini, dering sirenenya tidak pernah berhenti terngiang-ngiang di telinga dan kepala. Bergidik bulu roma tatkala kami harus dinaikkan mobil tersebut seperti kawanan penderita penyakit menular.

Kami menunggu hasil tes keluar selang waktu sekitar lima hari. Tak putus penderitaan yang harus dialami tatkala beberapa dari kami juga dinyatakan positif dari hasil tes tersebut, tapi kami bersyukur tidak menimpa anggota terkecil dari keluarga. Kami harus putar otak lagi untuk mencari tempat aman bagi kami yang masih negatif, dan bagaimana cara kami agar keperluan sehari-hari tetap dapat tercukupi selama beberapa minggu ke depan.

Dipermalukan! itu yang kami rasakan dan alami selama melakukan isolasi mandiri di rumah. Kami tidak diperkenankan untuk membuka jendela rumah kami oleh tetangga-tetangga. Kami tahu dan sadar bahwa kami tidak boleh keluar sejengkal pun dari pintu rumah.

Tapi, Tuhan mendengar segala derita yang kami alami. Sedikit demi sedikit tetangga mulai mengantarkan sembako, sayur-mayur dan lauk yang dapat digunakan untuk isolasi mandiri di rumah. Tak terhitung juga rekan, sahabat, saudara, teman kerja yang ikut membantu kami. Mereka meletakkan bahan-bahan yang dapat kami gunakan untuk mencukupi keperluan di depan pintu rumah, bahkan untuk si kecil yang waktu itu masih memerlukan susu dan popok serta vitamin tersendiri.

Ayah kami yang masih dirawat di rumah sakit, ibu dan adik yang melakukan isolasi mandiri terpisah karena dinyatakan positif juga. Ibu dan adik kami pernah merawat ayah ketika di rumah dan rumah sakit pertama ayah dirawat. Dua orang lagi termasuk saya di tempat berbeda karena pernah kontak dengan penderita Covid-19 dan juga tetap harus melakukan isolasi mandiri walaupun kami negatif. Satu hal yang kami syukuri dengan adanya teknologi komunikasi yang canggih saat ini, kami tetap dapat terhubung satu sama lain walaupun kami saling berjauhan. Bagaimana dengan ibu kami? Di satu sisi beliau adalah orang yang kuat dan tegar sebagai seorang cancer survivor dengan Covid-19 yang sedang dideritanya.

Bulan Agustus, kami yang sudah dinyatakan negatif dan diperbolehkan untuk mulai beraktivitas. Tapi ibu, adik, dan ayah kami masih tetap harus isolasi mandiri. Kami bergantian untuk membantu mengirim kebutuhan dan keperluan mereka, baik pengobatan tradisional dan medis, semua kami lakukan agar dapat segera dinyatakan sembuh dan negatif. Hingga akhirnya ayah sudah dinyatakan sehat tapi masih positif sehingga harus dipindahkan di tempat isolasi yang disediakan pemerintah (fasum).

Dua bulan setengah hidupnya dihabiskan sendiri di atas tempat tidur di rumah sakit dengan sebuah kamar berukuran 3x2 meter tanpa hiburan apapun, hanya alat komunikasi yang harus selalu berdering untuk menyemangati beliau. Beliau belum mampu membaui dan mengecap, tapi sudah tidak menggunakan alat bantu pernapasan. Kami terharu. Dengan segala komplikasi yang beliau rasakan dan alami saat itu, kami bangga bahwa beliau berhasil berjuang dan mengalahkan sakitnya. Beberapa minggu kemudian, beliau memang masih harus di fasum tapi beliau sudah dapat beraktivitas seperti biasa.

Beberapa minggu sebelum ayah dinyatakan negatif, adik lebih dahulu menjalani swab disusul kemudian ibu yang melakukan swab di tempat berbeda secara mandiri dan semua sudah dinyatakan negatif. Apakah perang mental yang kami alami sudah berakhir? Belum. Kami masih harus berjuang melawan mindset beberapa orang yang masih jijik jika berada bersama kami. Tapi kami tahu hidup tetap harus berjalan maju dan kami tidak mampu jika harus memikirkan perasaan orang lain terhadap kami satu per satu. Kami sudah mengusahakan bahwa kami layak dan aman untuk dapat berkumpul dengan orang lain dengan tes yang telah kami jalani.

Kami berpikir, dari sekian banyak orang, mengapa harus kami yang mengalami hal ini? Dan ternyata kami membuktikan bahwa kami semua mampu melewati cobaan tersebut. Kami juga mampu menjadi contoh baik bagi masyarakat di sekitar. Keluarga adalah sumber kekuatan utama bahwa kami harus terus berjuang walaupun terasa mustahil. Makna kebersamaan dan kekeluargaan yang kami peroleh dari orang-orang terdekat menjadi penyemangat bahwa kami tidak sendiri. Bagi yang sedang menderita Covid-19, tidak perlu malu. Tak perlu takut!. Berusaha dan berpikir positif bahwa sakit ini pasti akan segera sembuh. Percayalah, kalian tidak sendiri!![]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Paskalia Dwi Wijayanti Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Ia Inginkan Hadirmu
Next
Meminimalisasi Plagiat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram