"Aku sekarang sendiri. Aku sangat menyesal ketika masih memiliki ayah tapi tidak merawatnya, tidak bisa berbakti padanya. Padahal ayah selalu menyayangiku. Sekarang, semuanya tak bisa aku lakukan. Harusnya aku tidak meninggalkan rumah, harusnya aku menghadapi semua persoalan ini, dan harusnya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sungguh aku sangat menyesal."
Oleh.Baiti Latifa
NarasiPost.Com-Namaku Ula, aku adalah seorang mahasiswi jurusan psikologi di salah satu universitas ternama di kota Padang, Sumatra Barat. Kegiatanku sehari-hari adalah belajar dan belajar. Ibu selalu menuntutku untuk fokus belajar tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Aku dilahirkan dari keluarga yang tidak harmonis. Impianku saat ini adalah memiliki keluarga yang bahagia layaknya teman-temanku. Tapi, semua itu hanya semu, tak akan pernah terjadi. Dari kecil aku selalu melihat pertengkaran orang tua ku. Di rumah, kami tidak pernah menghabiskan waktu bersama, ibu yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan ayah yang selalu repot dengan urusan rumah tangga. Memang, ibulah tulang punggung keluarga tapi ayah selalu menggantikan peran ibu ketika tidak di rumah.
Hatiku sakit ketika mendengar bahwa ayah mengalami komplikasi jantung yang membuat ia harus dioperasi bypass pada saat itu. Aku berdoa semoga Allah masih memberikan kesempatan untuk aku bisa melihat ayah kembali pulih. Dan Allah mengabulkan doaku dengan memberikan ayah kesehatan kembali. Namun, keadaan semakin rumit di mana ayah membuat perilaku yang menjadi-jadi karena ingin diperhatikan oleh ibu. Ibu tidak bisa memperhatikan ayah karena sibuk bekerja dan seperti biasa mereka bertengkar dan bertengkar terus.
“Ula, Ayah mohon tolong bicaralah pada Ibu untuk lebih memperhatikan Ayah. Jangan sibuk kerja terus," pinta ayah padaku.
“Ayah, Ibu itu kerja cari uang ,bukan mau mengurusi Ayah terus. Kalau tidak Ibu yang cari uang terus siapa? Ayah harus mengerti keadaan Ibu," aku ketus menjawab ayah yang selalu ingin diperhatikan.
Akhirnya, ibu memutuskan agar aku menghindari keadaan rumit ini dengan menyuruhku tinggal di kos.
“Ula, Ibu tidak mau tahu, kamu harus tinggal di kos, tidak usah tinggal di rumah. Jangan karena Ibu dan Ayah selalu bertengkar, kamu jadi tidak fokus belajar. Nanti akan Ibu kirimkan uang belanja kamu di sana. Tidak usah memikirkan rumah. Dan tidak ada kata tapi, ikuti saja mau Ibu," ujar Ibu padaku. Aku pasrah, mau tidak mau harus menerima.
Awalnya, ketika aku di kos, aku merasa senang, tak ada beban dan bebas. Tapi namanya juga hidup, masalah silih berganti datang. Menghindari satu masalah, masalah datang dua kali lipat, mau tidak mau tentu harus dihadapi. Di rumah ingin menghindari masalah keluarga, di kos tak bisa menghindari masalah pertemanan, mau tidak mau harus dihadapi lagi. Ingin rasanya pulang ke rumah tapi pasti ibu tidak akan mengizinkan. Ibu juga tidak pernah menanyakan bagaimana keadaanku, padahal saat ini aku sangat butuh ibu untuk mendengarkanku.
Ketika tidak ada yang mendengarkan aku, masih ada Fisqi yang bersedia mendengarkanku. Fisqi adalah pacarku yang selalu ada di saat aku membutuhkannya. Dia yang selalu mengerti aku melebihi siapa pun. Di kota ini terasa lebih menyenangkan dengan menghabiskan waktu bersamanya. Setiap hari bertemu dan pergi menjelajahi kota ini bersamanya dari pagi hingga petang, kami tak pernah bosan. Selalu saja ada cerita yang ia tawarkan kepadaku. Dia adalah duniaku, hari-hariku, dan semangat hidupku. Jika tidak ada Fisqi, aku tidak tahu bagaimana aku akan menjalani hidup. Andai dulu ketika aku di bully oleh teman-temanku, Fisqi tidak datang menolong, mungkin aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Atas semua permasalahan yang pernah ku hadapi, aku pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ketika aku mendapatkan masalah, aku tidak berani menghadapi, yang ku lakukan hanya menangis dan menangis.
Di kampus, aku tidak mempunyai teman. Jika ada yang mau berteman denganku, apa pun akan ku berikan. Aku tahu bahwa aku diperbudak, mereka memanfaatkan uangku saja, tapi aku hanya diam dan menerima. Sudah diperingkatkan berkali-kali oleh Fisqi, tapi aku masih saja keras kepala. Akhirnya, aku juga yang menyesal.
“Ula sayang, kamu tidak usah berteman dengan dia. Sudah jelas dia hanya memanfaatkan kamu saja. Tidak apa-apa, jika kita tidak punya teman tapi hidup tidak tertekan daripada punya teman malah tertekan. Coba sekali saja kamu mendengarkan aku," ujar Fisqi menasihati Aku.
“Tapi aku juga ingin punya teman seperti yang lain, Fisqi.” Aku masih keras kepala, ujung-ujungnya pertengkaran dengan Fisqi dimulai.
Semenjak pertengkaran itu, Fisqi berubah dan tidak mengacuhkanku lagi. Pernah seketika aku memergokinya berjalan berdua dengan wanita lain. Hatiku sakit. Lelaki yang menjadi semangat hidupku mengkhianatiku dan memilih mengakhiri hubungan ini. Belum lagi, Ayah yang kini kembali dirujuk ke rumah sakit. Aku hanya bisa menangis dipojokkan kamar tanpa melakukan apa pun. Tak lama kemudian, handphone-ku berdering.
“Ula, pulanglah, Nak. Ayah sudah tidak ada.” Jleb, seketika hatiku teriris-iris berkali-kali lipat. Ayah yang ku cintai sudah tidak ada.
“Ibu jangan bercanda. Mana mungkin Ayah Ula sudah tidak ada.”
“Pulanglah, Ibu tunggu di rumah.”
“Tidak, tidak!!!! Tidak mungkin Ayah meninggalkan aku.” Segera Aku bergegas pulang ke rumah.
Ketika aku sampai di rumah, ternyata benar bahwa ayah sudah tidak ada lagi. Aku kehilangan Fisqi dan ayah dalam waktu bersamaan. Aku sekarang sendiri. Aku sangat menyesal ketika masih memiliki ayah tapi tidak merawatnya, tidak bisa berbakti padanya. Padahal ayah selalu menyayangiku. Sekarang, semuanya tak bisa aku lakukan. Harusnya aku tidak meninggalkan rumah, harusnya aku menghadapi semua persoalan ini, dan harusnya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sungguh aku sangat menyesal. Jika waktu bisa diputar, aku akan menjadi anak yang lebih baik lagi.
“Ayah maafin Ula. Harusnya Ula tidak meninggalkan Ayah. Ayah, Ula mohon kembalilah. Ula rindu dekapan Ayah.” Aku masih menangis di depan ayah yang sudah terbujur kaki. Semua yang ku lakukan terputar kembali diingatanku. Sekarang yang kuterima hanyalah penyesalan. Aku berjanji dalam hidupku untuk menjadi lebih baik lagi dan selalu mendoakan ayah karena aku yakin Allah lebih sayang ayah daripada aku menyayangi ayah. Love you, Ayah. semoga kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti.
Teruntuk aku dan kalian, jika kalian masih diberikan kesempatan maka manfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. Jangan jadi seperti aku yang banyak menyesali apa yang terjadi. Hadapi masalah dan jangan pernah lari dari masalah. Semakin kalian lari maka masalah akan semakin mengejar.[]