Istigfar, Jalan Terang Menantimu

"Ketika seorang hamba menyerahkan segala urusannya kepada Allah Swt. di tengah ketidakberdayaannya. Maka akan ada jalan keluar dan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka, sehingga kehidupan yang bahagia sesuai koridor Allah menjadi lebih mudah untuk mencapainya."

Oleh. Bunga Padi

NarasiPost.Com-Ini kisah yang kualami langsung saat berada di Asrama  Pemondokan Haji Borneo Selatan tahun 2018. Ada seorang nenek sepuh berusia 80 tahun di antara rombongan kami yang akan berangkat haji saat itu. Sebut saja namanya Nek Raidah. 

Rupanya Nek Raidah untuk kedua kalinya akan berangkat haji. Namun, keberangkatan pertamanya gagal. Dijanjikan tahun berikutnya akan diberangkatkan kembali oleh pihak travel. 

Sebuah pepatah populer mengatakan, "Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih," ternyata visa yang dijanjikan belum juga keluar. Benar saja, nama Nek Raidah memang tidak keluar dari kedutaan negara yang akan dituju karena ada kesalahan dari pihak admin travel tour haji dan umroh yang diikutinya.

Tentu saja, hal itu membuat Nek Raidah kecewa. Tampak dari raut wajah Nek Raidah menahan kesedihan yang amat dalam. Melihat Nek Raidah menangis, aku pun berusaha menghiburnya. 

Kuambil buku zikir yang telah kubawa dari kampung, perlahan mendekatinya dan duduk persis di samping Nek Raidah, lalu kuserahkan buku zikir itu kepadanya. 

"Nek, apa Nenek masih bisa melihat dengan jelas tulisan di buku ini?" tanyaku pada Nek Raidah dengan lembut. 

"Bisa, Nak," jawab Nek Raidah sambil tersenyum manis padaku. Aku pun tak mau kalah, membalasnya dengan jurus andalanku tersenyum manis pula.

"Jika begitu, Nenek membaca zikir ini, ya." Tanganku membuka halaman 37 yang memuat kalimat sayyidul istigfar, lalu menyerahkannya pada Nek Raidah.

"Nenek membaca huruf arabnya, setelahnya baca artinya ya, Nek," pintaku.

"Eee … tetapi jangan lupa dihayati dan diresapi ya, Nek, membacanya," ujarku.

Nenek Raidah pun mengangguk. Perlahan-lahan, mulailah ia membaca kalimat sayyidul istigfar dengan tartil. Aku pun mendengarkannya dengan seksama sekaligus terkesima mengaguminya. Bukannya tanpa alasan, nenek sudah setua ini, untuk berjalan saja beliau kepayahan, tetapi masih melihat dengan jelas setiap huruf yang dibacanya. Selain itu, kefasihan makhrajnya tepat dan jelas. 

"Masyaallah. Tabarakallah."

Nek Raidah memang luar biasa. Semangatnya begitu membara untuk beribadah haji. 

Aku diam terpaku, mendengarkan Nek Raidah membaca zikir dengan lantunan yang begitu indah dan merdu. Seluruh aliran darahku merasakan kesejukan, bagaikan disiram air hujan.

Sungguh istimewa bacaan sayyidul istigfar. Kandungan setiap ayatnya dalam sekali maknanya. Nenek Raidah terus membaca tanpa berhenti dengan penuh penghayatan. Sesekali terlihat ia menyeka air matanya yang telah tumpah ke tulang pipinya dan mukena yang dikenakannya. 

"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hamba-Mu. Aku yakin dengan janji-Mu dan aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu yang diberikan kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau" (HR. Al-Bukhari).

Tiba-tiba Nek Raidah diam sejenak merenung. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu.Tak lama beliau berkata, "Nak, Nenek mau balik kampung saja. Sekarang perasaan Nenek jauh lebih tenang."

"Nenek ikhlas atas apa yang terjadi, semua sudah suratan-Nya," ucap Nek Raidah dengan suara datar. Namun, terlihat lebih pasrah dan tawakal.

"Alhamdulillah, iya, Nek! Lebih baik begitu, insyaallah rezeki tidak akan ke mana-mana. Nenek pasti berangkat haji nanti," hiburku dengan mata berkaca-kaca.

"Nek, insyaallah, saya akan mendoakan Nenek nanti di sana. Nenek tetap jaga kesehatan, ya."

Nenek Raidah menjawab, "Iya, Nak. Terima kasih banyak, Anak telah mengingatkan Nenek."

"Iya, Nek, sama-sama," tuturku sambil menatap lekat mata Nek Raidah yang tampak sayu.

Kami pun berpelukan. Buliran bening yang sejak tadi kutahan akhirnya merembes dan membasahi ruang-ruang di pipi. Begitu pun dengan Nek Raidah yang menangis sesenggukan.

Singkat cerita, akhirnya Nek Raidah pulang ke kampung halaman, tepatnya di kota tepian Mahakam, Kalimantan Timur.


Setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta transit Filipina selama satu hari, penerbangan lanjut menuju Riyadh menginap sehari semalam. Lalu esoknya, terbang lagi ke Jeddah. Dan sampailah aku dan suamiku di kota Makkah. 

Di sana, kami telah ditunggu pihak travel yang akan mengurus kami selama pemondokan dan pelaksanaan ibadah haji. 
Kami dijemput dan diantar hingga sampai ke Hotel Menara Dua.

Tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Allah Swt. dan terus melantunkan asma-asma Allah swt. atas kemudahan dalam perjalanan jauh ini. Ada perasaan bahagia bercampur haru membuncah di dadaku. 

"Zikir terus ya, Nak! Pokoknya di mana pun berada, dalam keadaan apapun, jangan pernah lepas zikirmu, ya," ujar ibuku.

Tiba-tiba ingatanku kembali ke rumah. Teringat saat-saat ibuku memberi pesan dan nasihat padaku. Di pagi nan cerah, saat kami duduk berdua sambil menikmati pesut Mahakam yang menyembulkan punggungnya, sambil menyemburkan air mancur ke permukaan sungai. 

Setelah beristirahat, mandi dan makan, kami berdua bersiap-siap turun ke lobi hotel. Di sana telah menunggu Bu Hajah Nova selaku pemilik travel haji yang kami ikuti. Di mana sebelumnya kami telah membuat kesepakatan untuk bertemu. Beliau menginginkan bertemu karena hendak mengetahui bagaimana keadaan kami selama di perjalanan.

"Alhamdulillah, semua berkat pertolongan Allah Swt. kami bisa menempuh perjalanan dengan lancar dan selamat, Bu Hajah Nova," kataku.

Bu Hajah Nova menjawab, "Syukur alhamdulillah, jadi bisa sekalian menikmati beberapa negara, ya, Pak," canda Bu Hajah Nova sambil tersenyum semringah. 

"Benar, Bu, ini diluar dugaan kami."

"Tidak pernah membayangkan sebelumnya, bisa singgah ke negeri orang."

Dengan semangat, suamiku membeberkan pengalamannya singgah ke beberapa negara tersebut. Kini, giliranku yang berbicara. Tanpa kusadari, sampailah aku menceritakan Nek Raidah yang gagal berangkat ke tanah suci bersama kami. Semua kronologis kejadian dari awal hingga akhir terluncur deras begitu saja dari bibirku. Entahlah, apa yang membuat lisanku seringan itu berbicara.

Namun, tiba-tiba di luar dugaan, Bu Hajah Nova berkata, "Beliau kan guru mengaji ya, insyaallah tahun depan saya yang akan memberangkatkannya dan menanggung seluruh biaya beliau."

"Saya minta tolong! Nanti, Ibu sama Bapak, mendatangi beliau mengabarkan soal ini."

"Insyaallah, akan ada tim saya yang mengurus kelengkapan berkas-berkasnya," jelas Bu Hajah Nova lagi.

Aku pun sontak terkejut. Bkla mata yang mulai meredup seketika menyala terang benderang. Kupasang daun telingaku lebar-lebar. 

Kuminta Bu Hajah Nova mengulangi ucapannya. Ternyata benar, aku tidak sedang bermimpi. 

"Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim," lirihku.

Sungguh, kalimat istigfar bukan hanya mendatangkan ampunan, namun juga kemudahan jalan keluar bagi mereka yang sedang bersusah hati. 

Selang setahun kemudian, aku mendapatkan kabar bahwa Nek Raidah telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Langsung dikabarkan oleh Bu Hajah Nova melalui telepon genggamnya. Tetanggaku yang kebetulan berangkat haji bersama mereka, juga memberikan kesaksian dan membenarkan keberangkatan Nek Raidah.

Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia dan haru yang menyelimuti ruang hatiku saat mendengar berita Nek Raidah. Dengan deraian air mata, aku tersungkur bersujud di hamparan sajadah merah hati seraya berdoa kepada Sang Maha Pemurah.

"Ya Allah, puji syukur atas segala limpahan rahmat dan karunia-Mu, telah dipertemukan orang sebaik dan semulia Bu Hajah Nova. Semoga Engkau menerima dan meridai amal salehnya. Dan berikanlah balasan sebaik-baiknya balasan," ucapku.

Pada kesempatan itu, tak lupa pula aku mengucapkan terima kasih kepada Bu Hajah Nova, karena berkat kebaikan dan kemuliaan hati beliau, Nek Raidah akhirnya bisa melaksanakan ibadah haji dengan gratis.

Kemudian, di ujung telepon beliau pun berpesan, jika suatu hari berkeinginan ke tanah suci lagi, hubungi saja dirinya. Lalu sambungan telepon pun dimatikan

Begitulah ketika Allah berkehendak dan telah menetapkan rezeki-Nya kepada seseorang, maka tak seorang pun mampu menghalanginya. 

Ditemani embusan angin sepoi. Aku duduk termenung di bawah pohon akasia yang rindang. Teduh memang, seteduh hatiku saat ini. Merenungi kembali kejadian saat bersama Nek Raidah. Beliau telah mengajarkan kepadaku bukan hanya kesabaran, tetapi juga keistikamahan, menjadikan Islam kafah sebagai jalan hidup, memahami dakwah adalah poros kehidupan seorang mukmin, dan senantiasa menjadikan diri bertakwa dalam kondisi apa pun.  

"Nek Raidah, akan kuingat selalu nasihatmu," lirihku sambil memandang awan yang menggelantung indah di langit berwarna jingga.

Aku teringat, Allah Swt. berfirman dalam surah Saba' ayat 36: "Katakanlah, sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."

Kemudian, dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, "Siapa pun yang selalu dalam keadaan bertobat, maka Allah akan memberikan sukacita bagi kesedihannya, dan kelapangan bagi kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga."

Ketika seorang hamba menyerahkan segala urusannya kepada Allah Swt. di tengah ketidakberdayaannya. Maka akan ada jalan keluar dan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka, sehingga kehidupan yang bahagia sesuai koridor Allah menjadi lebih mudah untuk mencapainya.

Kisah kesalehan Nek Raidah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagiku, kamu atau kita semua tentang arti sebuah ketaatan, kesabaran, tawakal, meminta ampunan dan pertolongan hanya kepada Allah Swt. semata. 

Disaat mengalami kesulitan, dengan membaca kalimat sayyidul istigfar serta menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya maka Allah akan memudahkan segala urusan kita.

Rasulullah saw. maksum dari dosa dan telah dijamin masuk surga, namun beliau saw. selalu mengucapkan istigfar 70 kali dalam sehari. Sungguh keteladanan yang patut dicontoh. Semoga lisan kita pun senantiasa berhiaskan kalimat sayyidul istigfar setiap hari. Tentu harapanku, kisah ini bermanfaat bagi semua orang.

Wallahu a'lam bishshawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Bunga Padi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Evaluasi Perang Saudara di Antara Kaum Muslim, Siapa yang Diuntungkan?
Next
Tersungkur
3 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

MasyaAllah.. kisah yang indah..

Mimi Muthmainnah
Mimi Muthmainnah
Reply to  R. Bilhaq
10 months ago

Insyaallah ini kisah nyata yang dialami langsung oleh penulisnya. Sebenarnya masih banyak lagi kejadian di luar nalar yang membahagiakan selama safar haji hingga kembali pulang ke tanah air. Semoga Allah memudahkannya utk dituangkan ke dalam true story, syiar, atau motivasi. Aamiin

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram