Memang, secara zohir Allah memisahkanku dengannya. Tapi pada hakikatnya, Allah justru ingin mengembalikan kami pada jalan yang di ridai-Nya.
Oleh. Dila Retta
NarasiPost.Com-Belakangan ini, istilah "ghosting" sepertinya sedang trending. Banyak orang mengeluh karena tiba-tiba ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya. Hal ini membuatku teringat akan kejadian masa silam. Tentunya sebelum istilah tersebut viral.
Di Ghosting "Orang Alim", mungkin sebagian dari kalian akan mengira jika judul ini terlalu berlebihan dan cenderung menyalahkan. Maka dari itu, aku ingin kalian membaca dan memahami terlebih dulu kisah ini, sebelum menjustifikasi.
Sebagai anak baru hijrah yang menjadi tertarik dan ingin terjun dalam dunia dakwah, membuatku sangat semangat "berburu" kajian. Setiap ada informasi kajian yang kudapatkan, segera kulangkahkan kaki untuk mengikutinya. Ya, meskipun terkadang tidak diperbolehkan orang tua, tapi aku selalu mencari alasan agar dapat menghadirinya. Mungkin mereka takut anaknya salah jalan, apalagi saat itu sedang ramai-ramainya isu terorisme dan radikalisme diperbincangkan. Hijrahku pun terkesan tiba-tiba. Dari yang semula berpakaian mini dengan rambut terurai, langsung berpakaian tertutup dengan jilbab lebar lengkap dengan menggunakan kaos kaki saat melangkah keluar rumah.
Aku tidak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Jadi dapat kukatakan, perjalanan hijrah yang kulakukan terasa cukup berat dan sukar. Hingga sampai akhirnya, mereka bisa memahami dan menerima perubahanku.
Oke, back to topic. Tentang siapa dan bagaimana pertemuanku, kejadian itu bermula tanggal 12 Oktober 2019. Saat itu aku sedang mengikuti kajian pemuda, dan dia menjadi pematerinya. Meskipun tidak bisa melihat bagaimana parasnya karena tertutup hijab pembatas shaf jama'ah, tapi aku langsung kagum dengan caranya menyampaikan materi kajian. Terlebih saat dia membacakan ayat suci Al-Qur'an.
Dari kekaguman itulah, muncul rasa penasaran dan terbesit keinginan untuk berkenalan. Tapi dasar aku, seorang "introvert" yang sangat takut berkenalan dengan orang baru, jadi hanya berani mem-follow akun sosial medianya saja.
Jujur, setelah itu aku merasa gelisah. Antara logika dan hati mengatakan hal berbeda. Logika ku mengatakan, mustahil bisa berkenalan dengan orang sepertinya. Tapi dalam hatiku memiliki keyakinan, suatu saat aku dan dia pasti bisa saling mengenal. Dan, benar saja. Keyakinan itu menjadi nyata, meski hampir pudar. Kami mulai saling mengenal. Januari 2020, menjadi awal kedekatan kami.
Seperti yang kukatakan di awal, aku yang tertarik dan ingin terjun dalam dunia dakwah, tentu merasa sangat bersyukur bisa mengenal dan dekat dengan orang sepertinya. Kami sering berdiskusi masalah agama. Dia menyampaikan gagasan dan aku yang menuangkan dalam bentuk tulisan. Tak jarang, aku juga membantunya menyiapkan materi untuk mengisi kajian.
Entahlah, waktu seolah berjalan sangat cepat. Aku menjadi semakin dekat dengannya. Obrolan yang semula hanya tentang diskusi, mulai bercampur dengan pembicaraan dari hati ke hati. Hampir setiap hari kami bertemu. Bahkan jika ada waktu luang, kami pergi bersama. Keluargaku sudah mengenalnya. Jadi tiap kali bertemu, dia selalu datang ke rumahku. Mungkin, dari sini saja sudah bisa kalian bayangkan seberapa dekat hubungan kami.
Hingga suatu hari, setelah kedekatan intens yang cukup lama, mendadak dia marah besar kepadaku, hanya karena kesalahpahaman kecil. Berhari-hari tak ada respon balasan dari pesan-pesan yang kukirimkan. Tidak seperti iasanya.
Aku mulai kalut. Selama berhari-hari tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun. Murung, menjadi uring-uringan. Larut dalam kesedihan. Dalam beberapa hari itu, aku terus bertanya-tanya, "Dimana letak kesalahanku? Mengapa ia menjadi semarah ini? Apa yang harus kulakukan? Mengapa seperti ini balasan yang dia berikan?" Banyak sekali pertanyaan yang mencerca pemikiranku.
Dan kemudian, dalam sujud panjang saat mencari ketenangan, aku kembali tersadar mendapatkan sebuah jawaban. Kesalahanku bukan kepadanya, tapi kepada-Nya. Aku telah berani mengkhianati cinta-Nya, dengan bermaksiat kepada-Nya. Memang antara aku dengannya saling membantu dalam urusan dakwah, tapi hubungan di antara kami salah. Aktivitas di luar kepentingan dakwah yang kami lakukan adalah salah.
Allah telah mengatur dengan tegas mengenai larangan khalwat (berdua-duaan denhan lawan jenis). Allah telah mengatur dengan tegas agar tidak mendekati pintu-pintu zina, apapun alasannya.
Antara aku dengannya sebenarnya sudah sama-sama paham mengenai aturan agama, tapi ternyata iman kami lemah. Tidak bisa mengendalikan segalanya, tenggelam dalam nafsu semata. Wajar jika Allah berikan hukuman sebuah perpisahan menyakitkan. Terkadang, manusia memang butuh tamparan langsung dari Tuhan agar tersadarkan bukan?!
Tentang bagaimana perlakuannya yang tiba-tiba menghilang dariku, aku tidak mau menyalahkannya. Karena semakin ke sini, aku semakin bisa memahami. Jika kita terus saja menyalahkan orang lain, maka selama itu pula kita akan memupuk kebencian yang memunculkan dendam. Dan perasaan dendam tak akan memberikan ketenangan.
Memang, dia tidak mengatakan apa alasannya meninggalkan tanpa kabar atau pesan. Tapi aku yakin, dia melakukannya karena ingin menjagaku, bukan merusakku dengan terus menjerumuskanku pada lubang dosa kemaksiatan.
Memang, secara zohir Allah memisahkanku dengannya. Tapi pada hakikatnya, Allah justru ingin mengembalikan kami pada jalan yang di ridai-Nya. Agar dapat kembali fokus memperbaiki diri, agar dapat kembali fokus mensyiarkan dakwah dengan cara kita masing-masing. Tidak mencampurkan antara haq dan batil.
Ketetapan Allah itu tidak pernah salah. Antara pertemuan dan perpisahan yang terjadi saat ini, sungguh, Allah telah menghendakinya agar terjadi. Jadi tidak ada yang perlu disesali. Peristiwa ini cukup menjadi pelajaran untukku, agar tidak lagi mempermainkan cinta-Nya, dan berhati-hati dalam menerjemahkan makna cinta.
Bagiku, "ghosting" itu bukan musibah besar yang mengharuskan kita memaki-maki keadaan dan menyimpan kebencian, melainkan wujud kasih sayang Tuhan, agar kita kembali pada jalan yang benar. Dan pelajaran berharga lain yang kudapatkan adalah, karena pernah mengenal dan dekat dengannya aku jadi paham, tak ada seorang pun yang terlepas dari salah dan khilaf. Jika dengan bekal ilmu agama saja kita masih sering tergelincir dalam kesalahan, lantas bagaimana jika kita tidak memiliki bekal ilmu apapun dalam menjalani kehidupan?
Di ghosting seseorang itu hanya perkara remeh, jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Memang seperti inilah siklus kehidupan. Setiap perjumpaan akan menjumpai perpisahan. Dari asing kembali menjadi asing. Maka berhentilah menganggap diri kita menjadi seseorang yang "paling", agar tidak terlalu sakit hati dan kecewa saat mereka pergi berpaling. Bukankah segala yang ada di dunia ini memang sementara? Lagi pula, tiba-tiba ditinggalkan seseorang tanpa pesan itu sama sekali tidak semestinya membuat kita resah, jika kita punya keyakinan penuh akan ketentuan-Nya. Dengan memiliki keyakinan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya, kita pasti merasa baik-baik saja.
Tapi, coba pikirkan, bagaimana dengan perkara tiba-tiba meninggalkan dunia tanpa memiliki bekal cukup yang dapat menyelematkan dari siksa neraka dan mengantarkan ke Surga?! Astaghfirullah wa atubu ilaih.. Ini tentangku, pelajaran hidupku.[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]