Detak Harapan(part 1)

Detak harapan ini masih ada dan tak kan sirna. Pada Allah saja kan kutitipkan detak harapan lewat bait-bait doa


Oleh :Afiyah Rasyad

NarasiPost.Com-"Dia sudah keluar dari barisan dakwah ini."

Dhuar… suara sendu mentorku mengalahkan suara guntur di atas kepala. Kalimat itu terngiang di kepalaku. Sepanjang jalan berjarak 15km kulalui dengan degup jantung yang berpacu dengan suara butut motorku. "Tes…" langit pun seolah menemani kesedihan yang membuncah, detak harapan yang menggelora di sela-sela rinai hujan.

"Allahumma shoyyiban nafi'an…" aku terus melajukan Grand dalam derasnya hujan. Sesak rasanya mendengar bahwa Ismi, sahabatku sudah tak ada dalam barisan yang sama. Memoriku mengangkasa, membawaku pada rajutan-rajutan kenangan indah.

Betapa Ismi sangat sederhana dan bersahaja. Awal hijrah, kami saling bertukar jilbab. Sampai-sampai security kampus bingung, mana yang masuk ruang Fisika dan mana yang masuk ruang Sastra. Tiga jilbab kami kenakan bergantian selama dua bulan, hingga akhirnya kami dapat hadiah jilbab dari orang tua kami masing-masing.

Berasal dari daerah yang sama, satu almamater SMA, dan usia terpaut setahun saja membuat kami mudah akrab. Hatinya lembut, mudah menerima kebenaran. Dia gigih dalam menyampaikan risalah Islam. Kampus kami ditaklukkannya. Segudang kegiatan mahasiswa dilakoni dengan riang gembira, demi dakwah.

Zahrotun Najah, rumah binaan yang menjadi saksi bisu segala pola tingkah kami. Segala teror menimpa saat aku hijrah. Ismilah yang getol menguatkanku. Dia tak segan mengingatkanku saat tergelincir pada kemaksiatan. Uluran tangannya akan menjamah siapa saja yang lalai.

Kebersamaan kami begitu istimewa. Bukan sekadar satu kelompok halqoh saja, dia tempat curhat yang asik. Ah, waktu begitu cepat meninggalkan kenangan-kenangan itu.

Awal pulang kampung, aku melihat semangatnya trengginas, bahkan dalam suasana panas. Dia istiqomah berdakwah di bawah tekanan sana sini. Tentu tak dimungkiri, setiap jalan dakwah pastilah ada onak dan duri. Jalan dakwah yang terjal, curam, dan berliku bisa ditaklukkan dalam balutan ketaatan dan kesabaran.

Memoriku kembali saat suara peluit panjang penyebrang jalan menyapa telinga. Betapa kerinduanku semakin bergelora ingin berjumpa dengannya. Kami sempat putus kontak hampir dua tahun, namun detak harapan terus bergema agar kami bisa kembali bersama.

Jum'at (12 Maret 2021), aku merasakan kehangatan yang membuncah. Wajahnya selembut dulu, senyumnya setulus seperti sepuluh tahun lalu. Ismi menyambutku, air mata rasanya sudah menggedor-gedor hendak menerobos keluar. Perasaanku tumpah ruah dalam dahaga kerinduan. Obrolan seputar sahabat, kegiatan anak, dan aktivitas menjadi perekat kerenggangan kami.

Al 'Ashri menjadi alarmku. Setelah sholat, aku langsung menanyakan ikhwal apa yang membuatnya putus dari barisan dakwah? Ah, aku memang to the point, hatiku remuk jika lisan tak mampu menanyakannya. Kusadari, semua perkara tak lepas dari ketentuan Allah, namun kasb ikhtiari harus dititi untuk meraih rida Ilahi.

Inti pertanyaanku tak memperoleh kejelasan jawaban. Maka dari itu, aku langsung mengajaknya kembali pada barisan dakwah, "Dek, memang dalam berdakwah itu ada gesekan dan terasa berat. Ayolah kembali ke jamaah dakwah, berdakwah secara jamaah saja berat, apalagi jika berdakwah sendiri."

Tampak ada genangan air pada netranya. Kulanjut serpihan ajakan, "Apa yang menghalangimu, Dek? Kecentok personal salah satu teman kitakah? Atau ada tekanan dari keluarga dan instansi bekerja? Ayolah apa pun itu, kudatang untuk mengajakmu kembali ke dalam barisan."

"Aku merindukan Ismi yang kuat, gigih, dan super duper dalam dakwah."

Wajah bingung tampak olehku. Kami sempat bersitatap sejenak. Kuselami detak harapan yang berpacu dalam simfoni degup jantung kami.

"Untuk saat ini, aku tidak bisa, Mbak. Mungkin, next time."

Kutata alunan nafasku yang mulai memburu. Kekecewaan atas jawaban itu hampir menjebak seluruh detak harapan. Namun, kesadaran dan kewarasan masih mendominasi dalam relung jiwa ini.

"Bukan jawaban itu yang kuinginkan. Memangnya kamu menjamin usia sampai pada next time. Aku datang sebagai saudarimu, sahabat seperjuanganmu sejak dulu."

Pita suara seakan tersangkut dan kusut. Suara parau dalam penekanan pada kata yang tersusun begitu menyakitkan dada. Ah, detak harapan ini masih ada dan tak kan sirna. Pada Allah saja kan kutitipkan detak harapan lewat bait-bait doa. Semoga hati Ismi kembali terbuka merenda jalan dakwah bersama.

In momoriam my beloved sister🥺[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Inikah Narasi Sesat Jangan Takut Utang?
Next
Tenanglah, Ada Allah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram