"Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sehingga mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka," Kami bertanya 'wahai Rasulullah saw, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?' Beliau menjawab 'siapa lagi kalau bukan mereka?'"
(HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh : Rita Handayani
NarasiPost.Com-Cinta bagaikan ruh dalam kehidupan.
Hadirnya kita kedunia pun buah dari cinta, yaitu cinta dari sepasang manusia hingga cinta Rab kepada hamba-Nya.
Cinta yang suci menghasilkan kebahagiaan hakiki. Cinta semu yang ternoda membuat nelangsa diri.
Hargai cinta, lindungi dengan aturan terbaik bagi manusia, yaitu aturan yang bersumber dari Sang Pemberi cinta.
Hadirnya cinta tentu membuat hidup menjadi bergairah, hidup jadi lebih hidup. Namun, terperangkap dalam cinta semu yang menodai kesucian cinta itu sendiri, akan menjerat pelakunya hidup dalam kerusakan. Hal tersebut berlaku bagi seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, remaja atau dewasa, bahkan lajang atau yang sudah menikah.
Terlebih lagi pada era digital saat ini, penoda kesucian cinta sangat menjamur, seperti budaya paganisme yang semakin leluasa menyebar lewat media elektronik, mengonsep momentum kasih sayang menjadi ajang kemaksiatan yang mendunia, dalam balutan bingkai Valentine's Day, telah sukses menawan umat agama lain, seperti dari agama Kristen. Dan sekarang, umat Islam pun berbondong-bondong ikut masuk perangkap budaya yang menyesatkan tersebut, naudzubillah tsumma naudzubillah.
Kaum muslimin tidak seharusnya ikut terperosok ke lubang biawak kaum kafir karena kekasih kita, Rasulullah saw. telah memperingatkan dalam sabdanya:
"Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sehingga mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka," Kami bertanya 'wahai Rasulullah saw, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?' Beliau menjawab 'siapa lagi kalau bukan mereka?'"
(HR. Bukhari dan Muslim).
Sejarah berdarah Valentine's Day
Banyak versi terkait asal muasal Valentine's Day ini. Versi fenomenalnya adalah karena St. Valentine melanggar peraturan kaisar Romawi yang melarang para pemuda untuk menikah. Kaisar menganggap bahwa tentara muda bujangan lebih kuat dan tabah di medan peperangan daripada para tentara yang sudah menikah. Secara diam-diam, St. Valentine menikahkan banyak pemuda. Maka, terjadilah peristiwa berdarah. St. Valentine ditangkap dan dihukum gantung oleh Kaisar Claudius II, kaisar Romawi pada 14 Februari 269 M.
Jauh sebelumnya, tanggal 13-18 Februari merupakan pesta perayaan Lupercalia yang dilakukan oleh orang Romawi kuno. Dua hari pertama, yakni tanggal 13 dan 14 Februari adalah persembahan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) Juno Pebruata.
Pada hari tersebut, nama-nama gadis dimasukkan ke dalam kotak dan para pemuda memilih secara acak. Nama gadis yang keluar harus menjadi pasangannya selama setahun, untuk hiburan dan bersenang-senang. Kemudian para pemuda melecuti orang-orang dengan kulit binatang. Para wanita berebut untuk dilecut, karena dianggap akan menyuburkan mereka.
Kemudian terjadilah percampuran kepercayaan, setelah Kristen-Katolik masuk Roma, dimana kaisar Konstantine dan Paus Gregory I mengadopsi perayaan ini, lalu mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama paus dan pastor.
Pada masa Paus Gelasius I, perayaan Romawi kuno dijadikan perayaan gereja dengan nama Saint Valentine's Day untuk menghormati St.Valentine yang mati digantung tanggal 14 Februari tersebut.
St. Valentine dianggap sebagai simbol bagi para pecinta dan penebar kasih. Juga dijadikan simbol keberanian, ketabahan, kepasrahan, dalam menghadapi cobaan hidup. Maka sejak tahun 496 M, para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai upacara keagamaan, dengan ritual saling tukar-menukar pesan kasih seperti mengirim puisi dan hadiah bunga serta gula-gula. Juga sering ditandai dengan acara pesta dansa untuk mengagungkan St.Valentine.
Namun, sejak abad 16 M upacara keagamaan tersebut mulai kehilangan makna, kemudian berganti menjadi perayaan kasih sayang. Bahkan tanggal 14 Februari dijadikan momen untuk mencari pasangan hidup.
Semakin berkembang zaman, semakin mudah budaya menyebar hingga semakin jauh definisi Valentine's Day dari makna yang sesungguhnya. Inilah yang terjadi pada saat ini, perayaan Valentine's Day yang dirayakan oleh hampir seluruh penduduk bumi hingga menabrak aturan aqidah agamanya. Kebanyakan mereka tidak mengetahui asal-usul Valentine's Day. Mereka sekadar ikut-ikutan perilaku masyarakat sekitarnya, yang mengenal Valentine's Day sebagai momen tukar kado, tukar kartu ucapan, memberi bunga juga coklat ke pasangan atau orang yang dikasihi.
Jika mereka orang di luar Islam, bisa jadi sah-sah saja mengikuti kebiasaan dari kepercayaan agama lain. Tapi, tidak demikian dengan seorang muslim. Keterikatannya terhadap hukum syara harus menjadi pedoman. Sedangkan ikut-ikutan dalam perayaan agama lain akan menjadikannya masuk menjadi umat agama tersebut sebagaimana Rasulullah saw, bersabda:
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka."(Shahih Abu Daud II: 761)
Cinta Suci Berasal dari Titah Ilahi
Jika agama-agama lain membiarkan umatnya turut serta dalam perayaan, bahkan mendukung Valentine's Day, bisa jadi karena kiblat pemikiran mereka adalah para pemikir barat yang mendefinisikan cinta dan hasrat seksual sebagaimana pemenuhan kebutuhan pokok seperti makan, bernafas, dan buang hajat.
Menurut mereka, kebutuhan seksual itu harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi maka bisa menyebabkan kematian. Direktur Kesehatan British Heart Foundation, Prof. Charles George menyampaikan dalam pesan Valentine-nya, bahwa seks bebas tidak saja membakar 100 kalori, tapi juga baik untuk kesehatan. Harapannya, masyarakat Inggris baik tua maupun muda mengisi Valentine's Day dengan aktivitas seksual. Ia tidak memandang pasangan halal atau haram, menikah atau tidak.
Tentu saja Ini tidak boleh dijadikan kiblat bagi kaum muslimin karena jelas, dalam Islam, hasrat seksual tempatnya bukan di kolom kebutuhan pokok. Ini sesuai dengan realita kehidupan manusia. Yang belum menikah dan tidak berhubungan seksual, tidak ada yang sampai mengalami kematian. Ia hanya akan mengalami gelisah, tidak nyaman dan perasaan kalut lainnya. Jika tidak dipicu, maka hasrat tersebut tidak akan bergejolak, minta untuk dipenuhi.
Jadi, dalam Islam, cinta, kasih sayang, hasrat seksual itu merupakan naluri untuk melestarikan keturunan atau naluri kasih sayang (Gharizatun annau'). Ia merupakan potensi yang Allah Swt berikan kepada manusia untuk melestarikan keturunan sehingga pemenuhannya harus sesuai standar yang ditetapkan oleh Allah Swt. Hasilnya, tidak hanya kebaikan bagi makhluk di bumi, namun, juga menjadikan ladang pahala di akhirat.[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]