"Berhentilah berpikir sebagai korban atas ketidakbahagiaan pernikahanmu, karena kamu sungguh bisa jadi penyelamatnya."
(Kholda Najiyah)
Oleh: Ummu Ghaida
NarasiPost.Com-Dulu, saya sering merasa telah menjadi korban atas kurangnya kebahagiaan dalam pernikahan ini. Merasa telah salah dalam memilih pendamping hidup. Tinggal bersama mertua juga adik ipar bukan hal mudah bagi saya. Lelah harus terus-menerus mengalah pada keadaan. Menjalani rutinitas melelahkan setiap hari benar-benar menyuburkan energi negatif dalam pikiran. Sementara saya merasa bisa mendapatkan kebahagiaan meski tanpa kehadiran lelaki (suami).
Seorang istri tentu menginginkan dibahagiakan oleh suami, sebagaimana suami ingin dibahagiakan oleh istrinya. Saya tak pernah minta diberikan fasilitas kelas VVIV seperti yang diberikan Ardi Bakrie kepada istrinya. Sungguh permintaan saya hanya satu saat itu, keluar dari rumah ini.
Jangan berpikir saya membenci mertua dan adik ipar. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin mendapatkan kembali privasi yang telah hilang semenjak saya tinggal di sini. Soal berbagi makanan atau tenaga saya sudah terbiasa sejak dulu, sejak di asrama, sejak di kostan, sejak di pondok.
Betapa sangat dibutuhkannya privasi bagi seorang muslimah. Dan yang saya inginkan adalah suami tidak hanya memahami kebutuhan mendesak tersebut tetapi juga berupaya mencarikan solusi. Namun apa yang saya lihat justru sebaliknya. Suami tampak tak begitu memerdulikan kebutuhan istrinya. Saya perjelas ya, kebutuhan akan privasi, kebutuhan lainnya Alhamdulillah suami selalu berupaya mencukupi. Dari situ, perlahan namun pasti kekecewaan saya terhadap suami tak bisa ditutup-tutupi. Amarah bisa bertambah berkali-kali lipat saat suami melakukan kesalahan kecil. Ya, karena pikiran dan hati saya sudah lebih dulu dipenuhi kecewa, jadi jika suami melakukan kesalahan meskipun hal remeh bisa menjadi bensin yang menyulut api kemarahan.
Beberapa waktu saya merasa telah "berubah" menjadi orang lain. Bukan lagi menjadi Mahya yang ceria, humoris, kocak, humble, dan friendly. Saya menjadi sosok pemarah, murung, tertutup, mudah tersinggung, dan kaku. Entahlah siapa orang lain ini.
Perubahan itu berjalan beberapa waktu, lumayan lama. Saya merasa mirip psikopat, memiliki dua karakter, baik dan jahat. Saat di luar, di acara arisan, pengajian dan acara lainnya, saya kerap tampil seperti biasanya. Tak memperlihatkan wajah sedih atau hal-hal tak normal lainnya. Saya tetap bercanda ria dengan teman-teman. Sebaliknya, saat di rumah, seketika saya berubah. Anak-anaklah yang paling sering menjadi pelampiasan kemarahan. Tidak sampai pada hal fatal memang. Paling sering dibentak jika mereka berulah dan tidak bisa diatur. Sampai-sampai isi hati sulungku yang polos keluar, "Umi jangan marah-marah aja sih…"
Mungkin karena saking seringnya saya menampakkan wajah antagonis di hadapan mereka. Sesaat setelah marah-marah selalu sadar bahwa apa yang saya lakukan ini tidak benar. Bukan begini cara yang baik dalam mendidik anak-anak. Akhirnya seratus persen saya menyadari tapi entah mengapa emosi itu terus mendominasi, menguras habis energi positif yang saya miliki.
Suami saya menyadari bahwa istrinya telah banyak berubah. Berubah ke arah yang buruk. Namun ia tak berdaya melakukan sesuatu untuk menyadarkan istrinya ini. Kata-kata dan nasihatnya selalu mental, selalu berhasil saya bantah. Satu hal yang jadi pamungkas, "Umi jadi begini gara-gara Abi."
Perang batin hampir setiap hari. Merasa menjadi istri paling menderita di dunia seolah sudah ter-mindset di otak. Mencoba mencari siraman qolbu lewat ceramah di YouTube, tetap saja saya merasa hidup dalam ketidaknormalan. Dalam salat selalu saya sisipkan doa,
"Ya Rabb saya ingin bahagia, buat saya menjadi istri yang ikhlas menjalani semua ini. Kuatkan bahu ini agar mampu memikul amanah yang Engkau beri."
Perang batin terus berkecamuk. Saya benci pada suami sampai-sampai tak mau melihat wajahnya. Tentu saja mustahil sebab saya tinggal serumah dan tidurpun masih di kamar yang sama. Jadi wajah suami tetap terlihat. Setitik energi positif yang tersisa, saya gunakan untuk mencari solusi. Ibarat mobil, rem sudah blong, lepas kendali, tak tahu harus berbuat apa tapi masih berharap selamat. Maka saya mulai mencoba menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang yang saya percayai bisa memberikan solusi atau sekadar saran. Kesimpulan yang saya peroleh, solusinya cuma satu, pindah rumah (ngontrak).
Lalu saya beranikan diri untuk bicara pada suami, dari hati ke hati. Bahwa saya ingin keluar dari rumah ini. Suami meng-iyakan walau setelah itu tidak terlihat tanda-tanda eksekusi permintaan istrinya ini. Terlalu banyak pertimbangan yang membuat suami berat meninggalkan rumah. Namun satu alasan yang dikatakannya, gaji belum mencukupi jika harus ngontrak. Oke saya terima alasan tersebut. Namun tak langsung menyerah, saya terus mendesak suami agar berhenti dari tempat ia bekerja dan mencari pekerjaan lain, yang gajinya bisa mencukupi untuk ngontrak.
Inilah salah satu kesalahan terbesar saya. Membuat suami dalam tekanan. Ia tak lagi menikmati pekerjaannya, mulai sibuk nyari peluang sana-sini. Yang dicari tak kunjung didapat, yang sedang dijalani terbengkalai. Ia pun berkali-kali mendapat teguran dari atasannya, perihal kinerja yang terus memburuk.
Tentu saya merasa kasihan. Suami jadi ikut depresi gara-gara saya. Ia berusaha menunjukkan bahwa ia sungguh sayang pada istri. Ia tak ingin setelah keluar dari rumah malah menambah banyak masalah terutama masalah ekonomi. Hati kecil saya berbisik, "Ah itu masalah klise. Kalau mental sudah kuat, pasti bisa menghadapi masalah apapun."
Bulan berganti bulan, akhirnya suami memberikan kabar gembira, "Umi, insyaallah kita pindah ke kontrakan bulan depan ya."
Saya tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar, "Emang uang Abi sudah cukup buat bayar kontrakan?"
"InsyaAllah." Jawab suami meyakinkan.
Saat yang dinanti sudah di depan mata. Saya bersemangat beres-beres, packing-packing apa saja yang akan dibawa pindah. Rasanya tak enak pergi begitu saja tanpa memberitahu alasan kepada ibu mertuaku, kenapa ingin pindah, "Abi sudah bilang kan sama ibu kalau besok kita mau pindahan?"
"Sudah." Jawab suamiku.
"Bagaimana respon ibu?" Tanyaku lagi.
"Biasa aja, ibu membolehkan." Alhamdulillah lega hati ini rasanya.
Malam hari sebelum hari pindahan, ibu mertuaku jatuh sakit. Badannya menggigil, batuk tak henti-henti. Tubuhnya yang sudah renta meminta untuk diperhatikan lebih. Melihat kondisi ibu seperti itu, saya mengurungkan untuk pindahan, nanti saja pindahnya, tunggu sampai ibu sehat.
Sehari, dua hari, seminggu, dua Minggu, kondisi ibu tak kunjung membaik. Sampai akhirnya dirawat di rumah sakit kurang lebih dua minggu. Saat merawatnya saya jadi berpikir, mungkin ibu merasa berat telah mengiyakan anak sulungnya keluar dari rumah. Sepanjang yang saya tahu, biasanya ibu akan jatuh sakit jika ada hal berat yang mengganggu pikirannya.
Setelah ibu sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah. Saya tak lagi membahas soal pindah rumah. Saya benar-benar membatalkan keinginan pindah rumah. Tak tega rasanya membuat sedih orang yang sudah renta ini. Biarlah ibu menikmati hari tuanya dengan bahagia, (semoga).
Saya bertekad untuk membantu suami, melaksanakan kewajibannya sebagai anak, birrul walidain. Jika gelimangan materi belum bisa kami berikan. Maka biarlah kami yang menjaga dan melindungi dengan tenaga dan kehadiran kami di sini.
"Hidup untuk memberi, memesona, seperti menggubah kata jadi puisi," (Andrea Hirata)
Lalu bagaimana dengan privasi yang selama ini hilang? Biarlah, saya sudah ikhlas dengan segala konsekuensinya. Saya yakin kejadian ini adalah jawaban atas doa-doa yang saya panjatkan. Saya juga yakin Allah Subhanahu Wata'ala akan menunjukkan jalan keluar yang terbaik.
Hey, tunggu-tunggu, mudah sekali lisan ini mengucapkan ikhlas, padahal sebelumnya? Begitulah kuasa Allah, mampu membolak-balik hati manusia. PR saya selanjutnya adalah mencari dan menambah kekuatan yang bisa memotivasi agar tetap stay cool. Lalu saya pun mengikuti kelas kelas yang saya butuhkan. Bergabung dengan berbagai grup yang bisa menambah kewarasan, dan lain-lain. Yes, salah satu pemicu kebahagiaan adalah berkumpul dengan orang-orang yang se-vibrasi. Catat!
Gayung bersambut, di saat saya butuh dicas, ada kelas yang keren untuk diikuti. Tentu saja tidak gratis karena ilmu yang langka dan lengkap seputar rumah tangga dihidangkan di kelas itu. MaasyaaAllah tabarokallah! pikiran saya semakin terang benderang. Tak bingung lagi harus apa dan bagaimana saat menemui masalah rumah tangga. Dan yang pasti saya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan cara berbeda.
"Kita terlalu berharga untuk menderita." (Kholda Najiyah)
"Berhentilah berpikir sebagai korban atas ketidakbahagiaan pernikahanmu, karena kamu sungguh bisa jadi penyelamatnya."
(Kholda Najiyah)[]
Photo : Pinterest