Pilu! Ratih ingin sekali bersuara. Berteriak agar mereka menghentikan tindakan perundungan. Tapi dia bisa apa? Sekuat apa pun dirinya mencoba, suaranya tidak pernah muncul.
Oleh. Hafida N.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hujan baru saja reda setelah mengguyur bumi selama berjam-jam. Dari jendela sebuah kamar, seorang gadis dengan rambut panjang berponi memperlihatkan kepalanya. Sebuah senyum manis terulas di bibirnya. Dirinya selalu suka suasana sehabis hujan. Baginya, aroma petrikor yang khas sungguh menenangkan.
Senyumnya pudar ketika mendapati sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah. Seorang wanita muda keluar dari kendaraan itu lalu melangkah menuju samping rumah. Bukan tamu biasa, gumamnya dalam hati. Dia tahu bahwa wanita itu adalah tamu ibunya.
Pintu yang tadinya tertutup mengeluarkan derit khasnya. Dia menoleh, menatap seorang anak lelaki yang hanya menyembulkan kepala.
Anak itu melambaikan tangan. "Kakak, aku ganggu?" tanyanya pelan yang dibalas gelengan. Anak itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. "Aku dapat nilai seratus di pelajaran matematika. Lihat!" serunya sembari berlari ke arah sang kakak.
”Ya, Adikku yang imut ini memang hebat” katanya sembari mengulas senyum. Sang kakak menepuk puncak kepala adiknya lalu kembali menulis sesuatu. ”Mau hadiah apa?” tanyanya di atas kertas.
"Em," sang adik berpikir sejenak. "Aku ingin Kakak tetap bersamaku, janji ya,"
Gadis itu menatap pinky promise yang dibentuk adiknya. Setelah menghela napas, dia segera menautkan kelingking mereka.
Sang adik tertawa walau belum tahu apakah janji mereka akan ditepati atau diingkari. "Em, satu lagi, tolong buatkan Satria brownies lava cokelat. Please," Mohon Satria dengan puppy eyes-nya.
Sang kakak mengacak rambut adiknya. Tentu saja dia akan menuruti permintaan adiknya. Mereka lalu berjalan menuju dapur kecil yang berada di dalam kamar. Menghabiskan waktu selama beberapa menit ke depan dengan memasak bersama.
Di ruangan yang berbeda …
"Miss Neny, saya sangat mencintainya. Tulus." ucap seorang wanita muda pada wanita berpakaian hitam di hadapannya.
Miss Neny menyeringai, "Lalu mengapa kamu kemari, Guru Tina?"
Tina heran karena Miss Neny mengetahui nama dan profesinya, tetapi dia mengabaikan itu. "Apa maksud Anda, Miss Neny?" tanyanya kemudian.
Miss Neny mendengus, meminum air yang tersedia di cangkir keramiknya. "Jika cintamu tulus, kamu tidak akan menemui dan meminta bantuanku. Ilmuku tidak akan mampu melawan cinta yang suci." jelasnya. Wanita itu meletakkan gelasnya, "Pulanglah. Kamu tidak perlu melakukan ini karena dia sudah terikat denganmu."
Tina mengerjap heran. Melihat tatapan Miss Neny yang serius, wanita muda itu merasa merinding. "Saya permisi." pamitnya lalu segera beranjak pergi.
Selepas kepergian Tina, Miss Neny menjentikkan jarinya. Ruangan yang tadinya temaram pun terang benderang. "Tunjukkan dirimu, Ratih."
Seorang remaja muncul dari pintu yang tertutup. Sedari tadi dirinya menyimak percakapan ibu dan pelanggannya itu. 'Hentikan, Bu.' Batin Ratih berucap tanpa menatap ibunya.
"Kamu mau mati kelaparan?" tanya Miss Neny.
Ratih mengepalkan tangan, 'Masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik!' serunya dalam hati. Gadis itu memejamkan mata saat merasakan aura hitam yang mengelilingi dan mulai membuatnya sesak nafas.
"Jangan sakiti dia, dia putriku. Pergi." usir Miss Neny. Ratih tahu bahwa usiran itu untuk aura hitam yang tadi membelitnya.
Ibu Ratih menatap anak gadisnya dengan lekat. "Bagaimana kalau aku menjualmu?" tanyanya lalu menggelengkan kepala. "Ck. Tidak mungkin ada yang mau membelimu," sinis Miss Neny kemudian.
Netra Ratih berkaca-kaca mendengar kalimat menyakitkan itu. Sudah sering, tapi mengapa rasanya masih seperih ini? 'Ibu lupa bahwa kita sudah diusir 3 kali di daerah yang berbeda? Hentikan pekerjaan Ibu lalu kembalilah menjadi manusia normal.
Ratih tidak peduli dia akan dicap anak durhaka dan berdosa karena meneriaki ibu kandungnya walau dia lakukan dalam hati. Baginya, sang ibu bukan manusia normal. Manusia normal mana yang membuat perjanjian dengan setan dan mampu membunuh belasan oh, atau mungkin puluhan orang setiap minggunya? Menghancurkan kehidupan manusia lain setiap menitnya?
"Ratih menyesal tidak ikut Ayah." batin gadis itu lalu melangkah pergi. Walau mungkin ayahnya tidak sebaik ayah lain di dunia, tetapi setidaknya sang ayah tidak memiliki ilmu hitam.
Ratih takut. Bagaimana jika suatu saat nanti dia dibunuh ibunya sendiri hanya untuk keperluan ilmu hitam itu? Ingin lari sejauh mungkin, tetapi Ratih sadar diri dia tidak akan pernah mampu.
Sang ibu, selalu mempunyai 1 cara agar dirinya patuh dan tidak memberontak. Cara itu dengan menggunakan kata ancaman. Ancaman untuk menghancurkan kehidupan ayah kandungnya dan menyakiti adiknya dengan Ratih yang hanya dapat menonton tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukankah itu mengerikan?
*
Ratih tidak mengerti apa salah dirinya. Sedari menginjakkan kaki di gerbang sekolah, semua pasang mata menatap ke arahnya dengan tatapan meremehkan. Atau hanya perasaannya saja?
"Pantes aja pas deket-deket dia, aku merinding."
"Hati-hati, Woi. Entar kalian kena santet, hahaha …"
"Ibunya awet muda banget. Jangan-jangan dia juga numbalin orang buat kecantikan abadi? Ngeri."
"Denger-denger, orang tuanya cerai. Ayahnya pergi gak tau ke mana."
"Maybe, ayahnya kena pelet ibunya. ‘Kan dukun tuh. Bukan hal sulit buat njerat laki."
Deg! Jantung Ratih berdebar. Kenapa mereka mengetahui ini? Tenggorokan Ratih terasa tercekat. Matanya berkaca-kaca saat tiba-tiba segelas kopi beraroma pahit menyiram seragamnya. Ratih meringis, ’aku lagi dirundung, ya’ batinnya bertanya.
'Tolong, hentikan. Ini sakit.'
'Siapa pun, bawa aku pergi.'
'Ayah, apa Ayah mendengarku? Tolong bawa aku pergi dari sini.'
Hari kecil Ratih menjerit. Gadis itu berjongkok. Berlindung dengan cara memeluk dirinya sendiri. Menutup telinga, berusaha mengacuhkan kata-kata kasar yang terlontar untuknya. Ratih ingin sekali bersuara. Berteriak agar mereka menghentikan tindakan perundungan. Tapi dia bisa apa? Sekuat apa pun dirinya mencoba, suaranya tidak pernah muncul.
Ratih bisu. Dia tunawicara. Dia gadis cacat.
*
Perjalanan pulang dari sekolah terasa panjang. Entah karena Ratih memilih jalan kaki, bukan naik bis seperti biasanya atau efek dari dirundung habis-habisan dari sebelum pelajaran dimulai sampai hampir istirahat pertama.
Perundungan tadi berhasil dihentikan oleh wali kelas dibantu guru BK. Apa kalian penasaran dengan hukuman yang diberikan kepada para perundung itu? Jawabannya hanya sebatas diberi surat peringatan. Padahal luka Ratih lumayan parah."Atau mungkin lukaku gaib ya?"Batin Ratih iba pada dirinya sendiri.
"Kenapa keluarganya gak diusir aja sih?"
Ratih yang berniat mengasihi diri sendiri menghentikan niatnya. Gadis itu mempertajam telinga. Menangkap suara yang dirinya rasa membicarakan keluarganya.
"Bikin resah warga sekitar aja."
"Nanti bisa-bisa satu desa kena azab gara-gara mereka."
"Eh diem, ada anaknya tuh."
"Halah ngapain takut? Dia gak mungkin ngadu ke ibunya."
"Percuma rumah si Neny gedung mewah gitu tapi hartanya gak halal toh."
Ratih mengerti. Para warga telah mengetahui apa profesi ibunya. Sekarang, apa yang harus dirinya lakukan?
"Warga, tolong jangan ribut dulu ya. Kita harus memastikan bahwa itu bukan hoax."
"Ngapain dipastiiin? Pak Kades mau tanggung jawab kalau kita semua dapet dosanya?"
"Nak Ratih,"
Ratih mengangguk saat disapa oleh seorang pria paruh baya yang dipanggil Pak Kades. Ratih tidak tahu siapa nama kepala desanya, karena dia keluar rumah hanya saat pergi ke sekolah.
"Tadi saya bertemu dengan sepasang suami istri. Pakaian mereka yang terlalu mencolok karena memakai baju hitam dan kalung tengkorak serta tasbih di tangan membuat saya menegur mereka. Saat ditanya, mereka tersenyum lalu mengatakan hanya ingin melihat rumah Neny” jelas Pak Kades dengan nada hati-hati.
"Ratih, saya memang belum mengenal keluarga kamu karena kalian orang baru di sini. Tolong jawab jujur, apakah akhir-akhir ini ibu kamu terlihat aneh? Atau ada sesuatu yang mencurigakan yang ibu kamu lakukan?"
’Dari dulu ibu saya memang aneh, Pak.’ Hati Ratih menjawab. Andai dapat bersuara, Ratih ingin meminta bantuan untuk melindungi dan menjauhkan dirinya dan adiknya dari ibu kandung mereka. Tapi bagaimana? Ratih lupa bahwa dirinya tunawicara.
"Ratih, kamu mendengarkan saya, ‘kan?"tanya pak Kades lagi.
Cepat-cepat Ratih mengetik sesuatu di ponselnya. ”Saya bisu.” Tulis Ratih dalam aplikasi catatan itu. Semua orang tersentak, tidak menduga.
"Ya Tuhan …"
"Jadi karena itu gadis ini gak pernah kedengaran suaranya?"
"Kasihan."
”Jawaban saya persis seperti tebakan kalian semua.” Tulis Ratih dengan netra berkaca-kaca. ”Bisa bantu saya dan adik saya, Satria untuk pergi darinya? Saya takut.”
"Jadi ibunya beneran dukun? Tuh ‘kan apa saya bilang, Ibu-ibu!"
"Pantas aja Neny bangun rumah di tengah kebun begitu. Serem abis."
Pak Kades memijat pelipisnya. Kepalanya terasa sakit. Mengapa ada malpraktik ilmu hitam di daerah kepemimpinannya? "Ratih, andai saya bisa membantu kamu, saya akan melakukannya. Tetapi saya tidak yakin." kata pria itu dengan wajah memucat. Syok karena fakta yang dirinya dapatkan.
"Bisakah kalian saja yang pergi?" tanya Pak Kades mewakili para warga.
Ratih menunduk, tidak tahu akan menjawab apa. "Andai saya bisa, Pak. Saya akan pergi sejauh-jauhnya dari Ibu" Batin gadis itu berbisik dengan tangan terkepal erat.
”Saya akan berusaha membujuk Ibu agar pergi dari sini. Atau setidaknya, agar dia tidak menyakiti dan mengganggu kalian. Saya permisi.” Tulis Ratih lalu segera berlalu. Meski telah berjalan menjauh, telinganya masih mampu mendengar suara yang menyakitinya lagi.
"Jangan-jangan karena Neny itu dukun, anaknya jadi cacat begitu?"
"Bisa jadi, Bu. Kasihan."
Ratih tunawicara. Katanya itu adalah bentuk karma. Akibat perbuatan buruk ibu kandungnya.
*
Hari demi hari berlalu. Perundungan yang dialami Ratih meningkat pada level menakutkan. Kata-kata cacian, hinaan, bahkan fitnah tertuju pada Ratih. Tidak hanya murid, para guru pun mulai ikut serta. Mulanya secara diam-diam namun kemudian terang-terangan. Para murid merundungnya, sedangkan guru membiarkan perundungan itu terjadi.
Dari mulai dilempari telur busuk, tepung terigu disiram sirop frambozen dan dikunci di toilet selama 3 jam telah dialami gadis itu.
Tas sekolah dilempar ke atas pohon, buku tugas dirusak, sampai dituduh menyontek saat ulangan pernah Ratih lewati.
Yang paling parah, Ratih pernah dituduh dan dihakimi melakukan santet pada salah satu guru dan siswi yang merundungnya.
Rasanya, Ratih ingin mengeluh. Ingin berteriak marah. Kenapa mereka berbuat semena-mena padanya? Bukankah yang salah itu ibunya? Ratih tidak pernah masuk ke dalam ruangan ibunya. Ratih bahkan jarang bersapa dan bertemu muka dengan wanita itu.
"Heh minta duit!"
"Hari ini 50 ribu, cepet mana!"
Ratih sudah berusaha agar tidak bertemu dengan murid yang memalaknya. Gadis itu keluar kelas secara bersamaan dengan murid lain lalu bersembunyi di ruang kesehatan. Ratih belum menyadari bahwa sejak profesi ibunya ketahuan, dia selalu dimata-matai. Musuhnya ada di mana-mana. Para haters berkeliaran, senantiasa mengawasi lalu menyakitinya. Di mana pun dirinya bersembunyi dari perundungan, murid-murid nakal itu selalu dapat menemukannya.
"Waw, 200 ribu nih."
"Ambil cuy. Lumayan."
"Makasih, ya, Ratih. Kamu baik deh," kata gadis rambut berpita. Satu-satunya gadis di kumpulan murid yang memalaknya. Namanya Angel tetapi sifatnya berbeda 180° dengan arti namanya.
Lelaki di samping Angel dengan rambut berwarna merah menyeringai. "Besok jangan lupa bawa uang yang banyak, ya, sayangku." katanya lalu mengelus rambut Ratih pelan.
Ratih refleks memundurkan tubuhnya. Merasa takut dengan kelakuan lelaki pimpinan kelompok perundungnya. Tanpa kata, gadis itu berbalik badan dan berlari tergesa-gesa.
"Dia takut tuh."
"Takut atau salting?"
"Lagian si Roni malah ngelus rambutnya."
"Sebelahmu cemburu, Ron."
Teman-teman Roni berkomentar sedang Roni tidak menanggapi. Dia masih fokus memandang punggung Ratih sampai tidak terlihat lagi.
"Cih, suka cewek bisu itu?" tanya Angel to the point.
Roni melirik gadis blasteran asal kota itu lalu bertanya dengan nada datar, "Kalo iya, kenapa?"
*
Rumah mewah lantai 2 itu terlihat gelap. Ratih menahan napas, berusaha tidak menimbulkan suara dalam kegelapan. Ini sudah hampir pukul 9 malam. Seharusnya adik dan ibunya telah tertidur lelap. Ratih baru pulang ke rumah karena terlalu asyik merenung, mengunjungi danau di desanya yang masih belum diketahui banyak manusia. Gadis itu sibuk menenangkan diri.
Setelah berhasil menutup pintu, Ratih berbalik badan. Dia terkejut saat tiba-tiba lampu menyala. Kaki gadis itu melemas mendapati ibunya sedang berdiri di hadapannya. Yang dapat dirinya lakukan hanya bersandar di pintu.
Miss Neny memindai tubuh putrinya dari atas sampai bawah. "Kamu dirundung?"
Seharusnya Ratih tidak berharap banyak pada ibunya. Seharusnya Ratih tidak merasa senang saat ibunya menyadari bahwa anaknya menjadi korban perundungan. Karena setelah pertanyaan itu terlontar, senyum khas ibunya terukir lebar. "Jangan sampai mati."
Apa Ratih tidak salah dengar?
To be continued![]
Di tunggu lanjutan cerita mbak Hafida
Semoga Ratih bisa bertemu dengan orang baik yang mau menolongnya.
Sudah lama tidak baca cerpen, lumayan membacanya harus berulang-ulang,, good mbak, awalnya saya kira menceritakan kasus perundungan saja, ternyata latar belakangnya ada ilmu hitam
Keren! Ditunggu kelanjutannya, Kak!
Kenapaa kereen bgt tulisan ini!!? Cant waitttt for the next!!
Duh, ngeri ....
Kasihannya si Ratih... Punya ibu dukun, mengalami perundungan, tidak bisa bicara... Siapakah yang bisa menolongnya?
Yang bisa nolong, yang nulis, hehe
Ditunggu lanjutannya ...
Terima kasih sudah membaca✨