"Sungguh hidayah adalah hak Allah semata. Meski jauh di pedalaman, melintasi perbatasan, nyatanya cahaya Islam mampu menembusnya"
Oleh. Rery Kurniawati Danu Iswanto
(Praktisi Pendidikan)
NarasiPost.Com-Suku Baduy tinggal secara komunal di kawasan hutan lindung di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masuk ke perkampungan suku Baduy tidaklah mudah, meski jarak wilayah ini terbilang dekat dari kota metropolitan Jakarta, yakni 3-4 jam perjalanan darat, akan tetapi suku Baduy menempati wilayah yang terisolir dengan perkampungan masyarakat pada umumnya.
Di perbatasan hutan tinggal warga suku Baduy Luar. Mereka sudah mengenal teknologi, pakaiannya dominan berwarna hitam, menggunakan alas kaki dan kendaraan umum untuk bepergian. Sedangkan jauh di pedalaman hutan dan terisolasi, tinggal suku Baduy Dalam. Kelompok ini sangat menjaga aturan adat. Beberapa hal yang sangat dilarang diantaranya tidak boleh menggunakan teknologi, tidak menggunakan alas kaki, tidak menggunakan bahan-bahan kimia seperti sabun dan obat-obatan, pakaian sehari-harinya berwarna putih. Suku Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang mempercayai kekuatan leluhur dan alam. Dalam kepercayaan mereka, menggunakan teknologi dan bahan-bahan kimia hanya akan menyakiti dan merusak alam. Praktis keseharian suku Baduy hanya menggunakan bahan-bahan alami di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti dedaunan untuk bahan pembersih saat mandi, menggunakan kayu, tali, dan ijuk untuk membangun rumah, dan bercocok tanam, berburu atau memelihara unggas untuk makan.
Di balik kesederhanaan kehidupan suku Baduy, ada yang menarik untuk dikisahkan. Adalah Pak Kamsuri yang saat ini usianya telah separuh baya. Ia lahir dari keluarga suku Baduy. Pada masa remajanya ia tersentuh hidayah dan memeluk agama Islam. Perjalanan Pak Kamsuri sebagai seorang mualaf tentu tidak mudah. Secara adat, jika ada warga suku Baduy yang keluar dari kepercayaan adat maka harus keluar dari wilayah perkampungan dan meninggalkan semua hal yang dimiliki baik harta, keluarga, maupun lahan pertanian miliknya.
Sedangkan bukan hal yang mudah bagi warga suku Baduy berada di luar wilayah mereka. Pada umumnya warga suku Baduy tidak bersekolah dan buta huruf. Sangat sedikit dari warga Baduy yang bisa membaca. Oleh karenanya, akan sangat sulit bagi mereka mencari pekerjaan ketika harus keluar dari suku mereka.
Demikian juga dengan Pak Kamsuri, di awal hijrahnya pada tahun 1990an, banyak kesulitan-kesulitan yang dialami. Sebagai seorang mualaf beliau harus keluar dan meninggalkan semua miliknya di wilayah perkampungan suku Baduy. Kehidupannya harus dimulai dari nol. Beruntung Pak Kamsuri ditakdirkan menemukan pasangan hidup seorang Muslimah taat yang tinggal tidak jauh dari perkampungan suku Baduy. Seiring perjalanan waktu mereka dikarunia 2 putra putri yang tumbuh dalam didikan pondok pesantren sebagai hafiz dan hafizah.
Masyaa Allah, sungguh hidayah adalah hak Allah semata. Meski jauh di pedalaman, melintasi perbatasan, nyatanya cahaya Islam mampu menembusnya.
Pak Kamsuri tidak sendiri, ada beberapa orang suku Baduy yang kemudian juga menjadi mualaf. Para mualaf ini sebagian besar buta huruf dan akhirnya mengajarkan baca tulis Al-Quran pada mereka bukanlah hal yang mudah. Mereka mendapatkan pengetahuan keislaman hanya dengan mendengar kajian-kajian. Keprihatinan Pak Kamsuri dan istri lantas muncul, jika orangtuanya saja tidak mampu baca tulis bagaimana mereka akan mengajarkannya pada anak-anak mereka? Dengan latar belakang inilah Pak Kamsuri dan istri tertarik untuk mengajar anak-anak warga mualaf suku Baduy tersebut.
Anak-anak para mualaf suku Baduy ini selain mendapat pendidikan di sekolah dasar juga diajarkan baca dan tulis Al-Quran, ditanamkan tsaqofah Islam, dan dibiasakan melakukan ibadah dalam keseharian seperti salat, puasa, dan mengaji.
Kehidupan Pak Kamsuri dan istrinya sangat sederhana. Dengan mata pencaharian berkebun, tentu penghasilan mereka sangat tidak menentu. Meski demikian, setidaknya saat ini ada tujuh belas anak yang ada dalam asuhan mereka. Anak asuhannya tidak semua berasal dari suku Baduy, dari tujuh belas anak, sebanyak lima anak adalah yatim dan duafa yang berasal dari masyarakat sekitar.
Dengan tekad ingin menjaga dan memberikan pendidikan agama pada anak-anak para mualaf Suku Baduy, Pak Kamsuri dan istri menampung anak-anak tersebut. Tujuh anak perempuan tinggal bersama mereka di rumahnya, sedangkan 10 anak laki-laki dibuatkan pondok bambu (kobong) berdekatan dengan rumah mereka sebagai tempat tinggal. Tidak ada donatur ataupun yayasan yang menyokong kebutuhan mereka. Masyaa Allah dengan keyakinan bahwa rejeki datang dari Allah Swt mereka tetap menjalankan kehidupannya dengan optimis.
Siapa sangka? Dalam kesederhanaan tersebut, pencapaian bacaan dan hafalan Qur'an anak-anak asuhnya sangatlah baik. Di usia yang rata-rata masih duduk di sekolah dasar, anak-anak para mualaf Suku Baduy ini ada yang sudah mampu menghafal 1-2 juz Al- Qur'an. Ma syaa Allah. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
(QS Al Qashash: 56)”
Tidakkah kita iri dengan kehidupan sederhana mereka yang penuh ketaatan? Akankah tetap malas dengan semua kemudahan yang kita dapatkan? Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat pada Pak Kamsuri da istrinya, serta para mualaf Suku Baduy dan keluarganya. Amiin ya rabbal alamin.[]