Menulislah Karena Mabda, demi Sukseskan Dakwah Bil Qolam!

"Karena itu, menulislah karena dorongan mabda. Allahlah yang menyeru kita agar menyampaikan yang makruf dan mencegah yang munkar. Hal ini tidak ada hubungannya dengan bakat. Melainkan lahir dari kesadaran akan hubungan kita dengan-Nya."

Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap Narasipost.Com)

NarasiPost.Com-Banyak yang berpikir menulis itu sulit. Harus karena bakat, banyak ilmunya. Alasan lainnya, karena menulis butuh pemahaman dan pemikiran yang mendalam. Fakta dan solusi harus dirangkai secara apik. Tidak boleh asal-asalan! Pertanyaannya, benarkah menulis itu harus karena bakat? Dan benarkah menulis adalah tugas kalangan tertentu saja?

Bukan Masalah Bakat!

Okay, mari kita bahas sulit tidaknya menulis, benarkah dipengaruhi oleh bakat? Jika ditanya seperti ini, maka jawaban saya, "Ya, menulis memang sulit" Berat sekali malah. Namun, jika hanya dipikirkan. Berbeda jika dipraktikkan. Coba deh, menulis itu langsung dikerjakan! Dilaksanakan pelan-pelan. Tentunya akan ringan. Kan kita dapati ternyata menulis bukan soal bakat. Justru sebaliknya, prosesnyalah yang melahirkan kemampuan, sehingga menjadi bakat.

Jadi, apa yang menyebabkan menulis menjadi berat? Pertama, karena belum memahami pentingnya dakwah lewat tulisan. Kedua, karena berharap hasil karyanya setara dengan penulis yang telah banyak jam terbang. Saat ia melihat tulisannya sendiri ternyata jauh dari standar tulisan orang-orang. Ia insecure, dan menjudge diri, "Saya tidak bakat menulis!" Tanpa berusaha mengasah kemampuan, dan menambah jam terbang.

Pengalaman saya pribadi. Untuk menghasilkan satu karya, saya membutuhkan semingguan untuk menghasilkan satu tulisan dengan kualitas standar, di mana fakta dan solusi belum termasuk menyeluruh. Hampir mirip status medsos dengan panjang seribuan karakter.

Pertama sekali mejeng di media, itu senangnya luar biasa. Seolah dapat reward yang begitu besar. Saya senang, karena tulisan itu selesai. Karena kebahagiaan seorang penulis adalah saat tulisannya selesai. Semakin banyak waktu yang dihabiskan, semakin kuat rasa senangnya. Kesulitan di awal merangkai kata sirna, karena tulisan tayang.

Saat itu, hingga sampai sekarang ini. Saya belum pernah mengatakan, (setidaknya pada diri sendiri) bahwa saya ada bakat menulis. Karena sebenarnya, menulis itu adalah kewajiban. Para penulis itu, yang mereka lakukan adalah mentransfer ilmu. Tsaqafahnya yang dipelajari tiap Minggu. Agar tidak mengendap di kepala. Agar berbuah manfaat untuk sesama.

Jadi, menulis bukan masalah bakat. Terlalu jahat jika kita men-judge yang belum bisa menulis tidak bakat. Sementara yang lainnya berbakat. Itu sama saja, kita mengatakan, "Kamu tidak berbakat untuk dakwah!" Padahal dakwah adalah kewajiban, apa pun bentuknya, lisan maupun tulisan.

Menulis Butuh Ilmu?

Benar, untuk menjadi penulis ideologis dibutuh profesionalisme. Sikap bertanggung jawab secara mental dan berkomitmen pastinya, berusaha untuk meningkatkan kemampuan. Namun, profesionalisme di sini bukan berarti penulis adalah profesi bagi kalangan tertentu. "Oh, dia pintar, makanya bisa menulis." "Dia ulama berarti tugasnya berdakwah." Lalu kita membandingkan dengan diri kita yang bukan siapa-siapa. Sehingga tidak pantas berdakwah dan menulis. Ini adalah pemikiran yang keliru!

Menulis memang butuh ilmu. Butuh memahami fakta dan solusi sekaligus. Namun tidak menulis, tidak lantas membuat kita berilmu, bukan? Apalagi jika membiarkan ilmunya tertimbun di kepala. Yakinlah! Itu hanya akan membuat ilmu kian membeku.

Sebaliknya, dengan menulislah pemikiran dan pemahaman semakin terasah. Faktanya, memahami problem umat secara berulang akan membuat hati lembut dan mudah menerima kebenaran. Semakin memahami solusi fundamental akan memuat kita kian terdorong untuk terus menulis, hingga tak bisa jika tidak. Itulah alasan kenapa bagi penulis, hidupnya akan terasa kurang jika ia berhenti menulis beberapa saat saja. Di mana perasaan itu tidak dimiliki oleh mereka yang belum pernah menulis.

Jadi, menulislah jika ingin pintar dan berilmu. Menulislah jika ingin menajamkan tsaqafah&. Menulislah! Karena dengan hal itulah ulama mengikat ilmu. Bukan sebaliknya, menjadikan alasan tidak menulis karena tidak berilmu. Ustazah saya di awal hijrah pernah berkata, "Hargailah ilmu, agar ilmu pun menghargaimu!"_

Hakikat Menulis

Bayangkan, jika kita menunggu ulama mengetuk pintu rumah kita. Karena orang biasa tidak pantas Mendakwahkan. Maka, sampai kapan pemahaman itu sampai ke hati? Menggugah pemikiran kita dan menjadi dasar kita berhijrah hari ini.

Bayangkan juga! Jika penulis ideologis yang sedang berproses itu tidak mau menulis. Yang menulis hanya beberapa ustaz wa ustazah membahas tema fikih ekonomi atau perpolitikan. Lalu tulisan apa kira-kira yang akan dibaca generasi hari ini? Fansfiction yang bertemakan kaum pelangi? Atau novel-novel vulgar dengan tokoh Naruto dan Sasuke?

Sebenarnya, tujuan menulis tidak lain demi dakwah. Menyukseskan upaya dakwah Islam kafah. Sekecil apapun kontribusi kita, bukankah kita memiliki tanggung jawab di sana?

Karena itu, menulislah karena dorongan mabda. Allahlah yang menyeru kita agar menyampaikan yang makruf dan mencegah yang munkar. Hal ini tidak ada hubungannya dengan bakat. Melainkan lahir dari kesadaran akan hubungan kita dengan-Nya.

Jika belum bisa, belajarlah. Jika tidak tau, bertanyalah. Jika tidak mengerti alur dan cara memulai, contohlah. ATMkan (amati, tiru, modifikasi) tulisan orang lain. Jika butuh waktu seminggu, tak masalah. Sebulan? Tak apa! Asal tulisan itu jadi. Lama-lama nanti juga bisa. Bisa bukan karena biasa saja. Tapi, bisa karena memang kita berkerja keras untuk bisa.

Khatimah

Sebagai alfakir, yang masih amatir ini, saya tidak pernah merasa rendah diri dengan tulisan saya. Dengan segala kekurangannya. Kalimat yang belum efektif. Penguasaan KBBI yang belum sempurna. Kemampuan meramu diksi yang kurang. Eksekusi solusi yang belum memenuhi standar karena kurangnya tsaqafah. Semua itu adalah proses yang panjang, pekerjaan yang tak pernah selesai.

Jika saya yang dengan segala kekurangan ini tidak menyerah menulis, maka saya yakin, teman-teman hebat lainnya, yang telah dibina dengan Islam yang paripurna. Pun, pasti mampu melakukan hal yang sama. Nggak papa kita kurang yakin pada diri, selama yang kita yakin pada apa yang kita sampaikan (Islam) dan mereka orang lain wajib mengetahuinya juga. Maka menulislah! Bantulah menebar syiar Islam kafah. Agar semakin banyak kepala memahaminya. Sehingga kebangkitan pun segera bisa kita raih bersama.

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (Muhammad:7)[]


Photo : Pribadi

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim penulis Inti NarasiPost.Com
Yana Sofia Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. Sangat piawai dalam menulis naskah-naskah bergenre teenager dan motivasi. Berasal dari Aceh dan senantiasa bergerak dalam dakwah bersama kaum remaja.
Previous
Kolang-Kaling, si Primadona di Bulan Puasa
Next
Satu Bahtera Dua Nakhoda, Mampukah Sampai pada Tujuannya?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram