Cinta karena Allah

“Ya Allah, melalui Bu Aisa Engkau mengajariku makna ukhuwah,” mataku perih berkaca-kaca.
“Buat apa aku memaksakan sebuah agenda sempurna, tetapi membuat orang lain sakit hati? Tidak ada empati?”


Oleh: Sitha Soehaimi

“Bukankah Allah dan rasul-Nya harus lebih kita cintai dari apapun? Bukankah Allah telah membeli harta dan jiwa orang-orang yang beriman?” Dua ayat ini selalu memotivasiku. Setelah berhijrah, aku berusaha memberikan yang terbaik. Tentu sesuai kemampuanku.

Pun, aku lakukan ketika menjadi panitia acara kajian. Pasti aku siapkan sebaik mungkin sebelum hari H.

Walaupun hanya kajian mingguan dengan peserta dua sampai 10 orang. Atau kajian bulanan dengan peserta puluhan dan ratusan. Di kampung-kampung, dengan peserta para ibu lulusan SD sekalipun. Aku tetap berusaha memberikan yang terbaik. Ada rasa malu kepada Allah, ketika berbuat asal-asalan. Sementara nikmat Allah luar biasa.

Sudah dua tahun aku dipercaya mengisi kajian ibu-ibu di kampung Jawa. Di sebuah majelis taklim bernama Al Hikma.

Aku teringat awalnya, tidak sengaja berkenalan dengan salah satu pengurusnya. Bu Teti namanya. Kami bertemu saat kajian perumahanku. Beliau pengurus majelis di kampung sebelah. Hadir sebagai tamu undangan.

Setelah beberapa kali bertemu, aku menawarkan diri mengisi tahsin ibu-ibu di kampung bu Teti. Pucuk dicinta ulam tiba. Beliau antusias.

Enam bulan kemudian, beliau tertarik mengkaji lebih intensif tentang Islam. Bersama Bu Ari tetangganya akhirnya Bu Teti berjuang bersamaku. Kami berdakwah di Kampung Jawa.

“Bu Rahma, coba kita bikin kajian bulanan, yuk!”
Suatu hari Bu Teti menawarkan padaku.
“Ayo, Bu!” seruku semangat. Alhamdulillah.

Kami putuskan tiap hari Senin di awal bulan. Aku minta izin membawa teman-teman yang lain untuk bergabung.

“Bu, kita sudah siap, tinggal Bu Ari. Kenapa, ya kok belum datang?”
Bu Sofi mengejutkanku.

Hari ini jadwal kami mengisi kajian bulanan. Sebagai panitia, kami hadir lebih awal. Kami berlima. Kali ini aku mendapat giliran sebagai mc. Bu Ari dan Bu Teti sebagai pembaca ayat suci Al-Quran dan sari tilawah. Bu Sofi di konsumsi dan logistik. Dan Bu Aisa sebagai pemateri dan pembaca doa.

Jarum jam sudah melewati pukul 8.00 WIB. Para peserta sudah banyak yang berdatangan. Namun, Bu Ari belum juga tampak batang hidungnya. Kami mencoba menghubunginya. Berkali-kali. Tak ada jawaban. Sebagai pembaca Al-Quran, beliau giliran tampil di awal acara.

Aku mulai gelisah. Tepat pukul 8.30, aku buka acara. Sambil sesekali melirik pintu gerbang. Berharap Bu Ari muncul di sana. Bu Teti mengirim kode padaku. Merelakan untuk batal membaca sari tilawah.

“Baiklah ibu-ibu shalihah yang dicintai Allah, kami mohon maaf, berhubung satu dan lain hal, Bu Ari belum hadir bersama kita. Kita awali kajian kali ini dengan bersama-sama membaca Al-Fatihah..” Aku segera mengubah susunan acara.

Aku pun membuat game dan pengantar untuk mengulur waktu. Masih berharap Bu Ari datang. Namun, menit terus berjalan.

“Baiklah, sampailah kita pada inti acara, saya persilahkan ustazah kita, Ibu Aisa untuk memberikan materi.”

Tetiba ada yang melintas di gerbang. Bu Ari baru turun dari motor suaminya. Tergopoh langsung masuk dan duduk di dekat Bu Aisa. Mereka terlihat berbicara sebentar.

Kupikir, “Ya sudah, tidak apa, tak perlu pembacaan ayat suci Al-Quran.” Jujur, aku kecewa. Aku buang jauh-jauh harapan acara berjalan sempurna.

Bu Aisa berdiri dan berjalan ke arahku.
“Bu, tak apa ya, Bu Ari baca Al-Quran sekarang? Saya sesudahnya,” Bisik bu Aisa di telingaku. Aku terkejut! Sekilas aku tatap mata Bu Aisa. Beliau berusaha meyakinkanku. Segera aku ralat susunan acara dan mempersilakan Bu Ari dan Bu Teti melaksanakan amanahnya.

Sepanjang acara, aku termenung. Memikirkan apa yang barusan terjadi. Apa yang diputuskan Bu Aisa. Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Bagiku, acara untuk umat, harus yang terbaik. Sesempurna yang aku bisa. Tak boleh ada hal-hal yang membuat acara menjadi kacau.

Tetapi aku lupa. Di dunia ini, ada wilayah yang tidak kita kuasai. Ada hal-hal yang bisa saja terjadi. Di luar jangkauan kita.

Bu Ari sudah berlatih sungguh-sungguh selama seminggu. Ternyata setelah Subuh, mendapat kabar duka. Pamannya, yang tinggal di kampung sebelah, meninggal dunia. Jika menunda hadir, tak sempat bertemu jenazahnya. Jika hadir ke rumah duka, pasti akan terlambat ke acara kajian.

Di tengah panik, Bu Ari ikut apa yang diputuskan suaminya. Beliau tidak sempat memberi kabar kepada kami.

Dengan bijak, Bu Aisa mengubah jadwal acara. Membuat Bu Ari tidak merasa bersalah.

“Ya Allah, melalui Bu Aisa Engkau mengajariku makna ukhuwah,” mataku perih berkaca-kaca.

“Buat apa aku memaksakan sebuah agenda sempurna, tetapi membuat orang lain sakit hati? Tidak ada empati?”

Bukankah kehadiran kami di kampung ini untuk menyampaikan kebenaran? Semata karena Allah?
Semata karena ukhuwah Islam?
Bukankah dari awal, cinta kami kepada ibu-ibu di kampung ini pun karena Allah?

Buktinya, tak seorang pun peserta merasa hal itu sebagai aib. Sehingga membuat mereka tidak mau hadir lagi ke acara kami. Justru semakin hari, kami dan para ibu ini semakin dekat, semakin erat.

Ya Allah, betapa bersyukurnya Engkau pertemukan aku dengan Bu Aisa, ibu-ibu satu timku, juga para ibu peserta kajian di kampung Jawa. Semoga kami senantiasa saling mencintai karena Engkau, ya Allah. Sebagaimana hadis dari Umar bin al-Khathab ra, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, ada sekelompok manusia. Mereka bukan para nabi dan bukan syuhada. Tapi para nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat, karena kedudukan mereka di sisi Allah Swt. Para sahabat berkata,” Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami siapakah mereka itu?” Rasulullah bersabda,”Mereka adalah suatu kaum yang saling mecintai dengan “ruh” Allah…” (HR. Abu Dawud)

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sitha Soehaimi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Balita Meninggal, Bukti Demokrasi Gagal
Next
Rintihan Anak Negeri
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram