“Kenapa waktu ta’aruf Mas enggak tulis dicari akhwat yang bisa nyetir sih?” Salsa bersungut-sungut.
Djati hanya tersenyum geli mendengar protes istrinya.
Oleh: Sitha S.
Brak!
Pintu pagar besi di depan rumahnya lepas dan terlempar 1 meter ke samping kiri. Tertabrak mobil yang dikendarai Salsa.
Tubuh Salsa bergetar, gemetaran. Keringat dingin mengalir di jidat dan kedua telapak tangannya. Ini kali ketiga dalam sepekan dia menabrak ketika mencoba memarkir mobil. Hari ini terparah. Setelah tiga hari lalu menabrak pohon di samping karpot, dan kemarin menabrak tembok pembatas taman. Campur aduk rasa takut terjadi sesuatu dengan bumper mobil dan membayangkan reaksi Djati.
“Kenapa waktu ta’aruf Mas enggak tulis dicari akhwat yang bisa nyetir sih?” Salsa bersungut-sungut.
Djati hanya tersenyum geli mendengar protes istrinya.
Sejak mereka pindah rumah dua bulan yang lalu, Djati bersikeras, lebih tepatnya memaksa Salsa belajar setir mobil. Apalagi akhir-akhir ini dia sering dinas keluar kota.
“Rumah kita sekarang kan jauh dari jalan raya, Sayang. Tidak seperti dulu. Aku enggak rela kamu berjalan kaki bersama anak-anak. Mereka masih terlalu kecil”
Djati memohon sambil menjelaskan alasannya. Anak mereka ada tiga. Berusia empat tahun, dua tahun, dan tiga bulan. Jarak 500 meter ke jalan raya tidak berarti buat Salsa, tapi jadi berasa ribuan kilometer buat langkah kaki kecil dua balita.
Sebenarnya bemo atau angkutan umum lainnya bisa dicarter. Tapi hanya bisa untuk masuk ke perumahan. Sedangkan untuk keluar hanya ada ojek. Djati tidak mengizinkan Salsa naik ojek. Selain bukan mahram, sangat riskan membawa tiga balita dengan motor. Sementara layanan online-pun belum ada.
Tiap Sabtu dan Minggu, Djati, dan tentu saja bersama anak-anak menemani Salsa belajar. Berputar-putar di perumahan. Bersyukur, jalannya lebar dan sepi. Djati dengan sabar mengajari sampai Salsa bisa menyetir sendiri.
“Ya Allah, kalau bukan karena Engkau perintahkan taat pada suami, aku pasti akan menolak permintaan Mas Djati. Daripada belajar nyetir lebih baik aku disuruh babak belur belajar masak atau baca empat buku tebal dalam sehari”
Salsa masih belum rida sepenuhnya.
Mungkin buat beberapa orang, menyetir mobil bukanlah masalah besar. Tetapi tidak dengan Salsa. Ia adalah anak perempuan satu-satunya. Ayahnya selalu siap mengantar jemput kapan pun dan kemana pun dia pergi. Hal ini membuatnya tak pernah bercita-cita mengendarai kendaraan sendiri, baik motor maupun mobil.
“Mamam, Ais pengen susu”
“Cucu Maa!”
Rengekan dua balita menyentakkannya. Salsa segera mendekap keduanya. Dia baru menyadari betapa mereka pun berteriak kaget dan ketakutan ketika terdengar suara keras tadi. Salsa reflek menengok ke kursi bayi.
“Uf, alhamdulillah bayiku masih nyenyak”
Suara itu rupanya tidak mengganggunya.
Salsa mengambil dan menggendong bayinya. Dibukakannya pintu mobil untuk dua balita.
“Pelan-pelan turunnya, ya, Kaka Ais, Mbak Ica, langsung ke depan pintu rumah, ya”.
Salsa masih harus mengumpulkan barang-barang bawaan di dalam mobil. Di dalam hatinya masih juga dia mengerutu,
“Mas Djati enggak pernah tahu, rempongnya menyetir sambil bawa tiga krucil”.
Dia bergegas keluar, sambil mengecek bumper. Ajaib! Hanya tergores sedikit. Pintu pagarnya pun hanya terlepas saja. “Besok panggil tukang saja,” dia bernapas lega.
Malam ini Salsa di rumah hanya dengan anak-anak saja. Sudah empat hari Djati tugas ke Palembang. Salsa gelisah karena ketiga anaknya panas sejak sore. Sudah dikompres, dibalur minyak kayu putih, dan minum Tempra. Tapi panasnya belum juga turun. Ais Si Sulung dan Ica tertidur sambil sesekali mengigau. Bayinya rewel minta digendong.
Azan Isya terdengar lamat-lamat dari masjid di ujung perumahan.
“Kalau bisa bawa ke rumah sakit. Maaf ya, seharusnya aku ada di sana,” suara Djati terdengar di seberang. Salsa bimbang. Masih belum hilang rasa gemetar setelah kejadian tadi siang.
Salsa mengendong sambil mengayun bayinya. Sampai akhirnya bayinya mulai bisa tidur. Disimpannya di kasur. Segera dia ambil air wudu, salat Isya dan memohon Allah berikan kekuatan.
“Ayo Salsa, kamu pasti bisa! Nenek yang di lampu merah tadi saja bisa menyetir, lho. Sopir bemo yang wajahnya enggak tersentuh air wudu aja bisa nyetir! Tapi ini kan malam hari. Jaraknya juga lumayan jauh. 10 kilometer…” Salsa masih juga tidak yakin.
“Ah sudahlah, bismillah,” Salsa bulatkan tekat. Apalagi setelah cek termometer suhu badan anak-anaknya tidak bergeser dari angka 39 derajat. Perlahan, satu persatu dia gendong ke mobil. Barang-barang keperluan juga sudah dimasukkannya. Tiba-tiba perut Salsa terasa sakit, melilit. Ada yang hendak keluar. Dia berlari ke toilet. Hufs.. Rupanya dia nervous. Setelah semua isi perutnya keluar, dia menjadi tenang. Salsa berangkat.
Kecepatan 20 kilometer per jam. Jalan meliuk dan naik turun. Melewati jembatan. Jalanan sangat gelap.
“Ya Allah, lampunya belum kunyalain”.
Saking paniknya Salsa lupa menekan tombol lampu. Padahal perjalanan sudah 2 kilometer. Salsa merasa perjalanan sangatlah lambat. Tiga puluh menit kemudian, akhirnya dia sampai dan masuk ke tempat parkir rumah sakit. Bersyukur ada tukang parkir yang membantu.
“Ma, ini di mana?”
Ais ternyata terbangun. Di sebelahnya Ica juga duduk melihat keluar jendela.
“Alhamdulillah, Anak Shaleh Shaleha Mama bangun. Ayuk, Kaka Ais dan Mbak Ica jalan ya, mama gandeng,” ujar Salsa sambil menggendong bayinya. Tapi Salsa merasa kedua lututnya gemetar ketika turun dari mobil. Dia pun merasa tubuhnya demam. Dan begitu masuk lobi rumah sakit, sakit perut mulai melandanya. Untunglah satpam rumah sakit sigap membantu. Segera mengambil bayi dari gendongannya. Dia mencoba menggerakkan kakinya yang gemetar agar bisa berlari. Pikirannya hanya satu, segera sampai ke toilet. Dan seperti waktu berangkat, Salsa menjadi lebih baik setelah itu.
Proses pendaftaran dan pemeriksaan dokter dibantu perawat rumah sakit dengan baik. Salsa mulai menenangkan diri ketika hendak pulang. Alhamdulillah sakit perut itu sudah tidak muncul lagi. Perjalanan pulang tak ada kendala sama sekali. Salsa mulai percaya diri. Akhirnya dia bisa menyetir. Menyelinap rasa syukurnya atas keras kepala Djati.
Apalagi selama ini dia aktif dalam organisasi dakwah di masyarakat. Dia harus keluar setidaknya sepekan tiga kali untuk agenda dakwah. Tiba-tiba terlintas sosok Khaulah binti Azur. Sahabiyah yang dijuluki Ksatria Berkuda Hitam. Penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam, yang tiba-tiba muncul di tengah pertempuran melawan pasukan Romawi. Dia memacu kudanya ke tengah pertempuran untuk membela agama Allah.
“Ah aku tak ada apa-apanya dibanding beliau, tapi setidaknya aku akan meneladaninya. Menggunakan kemampuanku berkendaraan untuk agama Allah…Dan aku pun tidak melalaikan tugasku sebagai ummu, bisa selalu bersama anak-anak, membawa kemanapun aku pergi beraktivitas dengan aman”.
Sambil menyetir, sesekali dipandanginya wajah pulas anak-anaknya yang tertidur di kursi mobil.
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]