"Sesungguhnya Allah berwasiat 3 kali kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat."
(HR. Ibnu Majah )
Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Pergi dari sini! Aku tak mau melihatmu," berang Ardi pada wanita paruh baya yang sudah berlinang air mata.
Wildan memejamkan netra lama. Hatinya teriris mendengar ucapan sahabatnya itu pada Bu Asih. Tatkala membuka mata, netranya menangkap punggung Bu Asih yang kian jauh. Langkah itu sangat gontai. Wildan hanya beristighfar sebanyak-banyaknya. Dia memohon ampun pada Allah karena tak bisa membantu Bu Asih.
Wildan masuk ke bilik kecil. Ruang lembab berisi satu set meja kursi dan sebuah almari kecil menjadi tempat mewahnya. Netra pemuda itu bisa menyaksikan ombak yang berkejaran dari balik jendela kayu. Di sanalah Wildan banyak menghabiskan waktu bersama dua kawan yang lain. Aktivitasnya menyisir setiap sudut ruang pada bangunan kuno yang kokoh itu. Pemuda delapan belas tahun ini rela menetap di asrama yang dia tinggali sejak usia empat tahun.
"Assalamu'alaikum." Wildan mendongak mendengar salam yang begitu akrab di telinganya.
"Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuhu. MasyaAllah, Ustaz. Ada angin apa ini hingga mengantar Ustaz ke sini? Kaifa haluk?" sambut Wildan hangat.
"Alhamdulillah, bi khoir," jawab Ustaz Amir sumringah.
"Minta tolong gantikan saya mengajar di kelas 11 putra. Saya harus pulang, ibu gerah."
"Tapi, Ustaz …." Wildan ragu untuk melanjutkan.
"Aku yakin kaubisa." Ustaz Amir optimis.
"Semoga ibu lekas sembuh, Ustaz! Syafahallah syifaan ajilan."
Percakapan mereka terhenti tatkala azan Zuhur berkumandang. Mereka bergegas menuju masjid asrama yang terletak di bibir pantai. Tampak perahu berayun seirama dengan tinggi rendahnya ombak. Sanubari Wildan selalu merasa sejuk tatkala melihat hamparan air laut yang berkilau tertimpa cahaya matahari. Benak Wildan menangkap fenomena alam bernama evaporasi. Segera kepalanya mendongak melihat gumpalan awan putih yang menyejukkan hati.
Usai wudu, mereka segera menegakkan salat Rawatib. Kekhusyu'an menyelimuti tiap insan yang datang memenuhi seruan salat. Di antara kekhusyu'an itu, ada isak tangis yang menyelinap ke setiap gendang telinga jamaah. Sungguh memilukan suara tangis itu.
Lepas jamaah Zuhur, nelayan mulai berhamburan ke pantai. Sementara, para santri kembali ke kelas masing-masing. Netra Wildan menangkap punggung Ardi di baris depan, tepat belakang imam. Sementara, pendengarannya masih menangkap sayup-sayup suara tangis memilukan itu. Wildan menerima uluran tangan Ustaz Amir yang berpamitan.
Masih ada waktu 120 detik untuk membantu Ardi berdamai dengan Bu Asih. Akal Wildan tak mampu menalar, kenapa Ardi enggan betul bertemu Bu Asih. Padahal, dirinya begitu memimpikan bertemu sosok ibunya. Langkah kaki Wildan disadari oleh Ardi. Wajah sayu dan basah Ardi menabrak pandangan Wildan.
"Aku baik-baik saja, tak usah kauhirau," kata Ardi seraya menghindari Wildan.
"Aku tahu fisikmu baik-baik saja, tapi jiwamu penuh tambalan luka," jawab Wildan dengan lembut.
Ardi menghentikan langkah. Dia merasakan Wildan ada di balik punggungnya.
"Jika kau selalu membawa bagasi di punggungmu, selamanya kau akan berjalan dengan berat bagasi itu. Kau sahabatku sejak kecil. Bahkan, aku memimpikan bisa melihat ibu kandungku meski sekejap saja, meski dalam mimpi."
Ardi menegang tatkala melihat bulir bening menggantung di netra Wildan. Wildan adalah sahabat yang paling perhatian dan selalu bertutur lembut. Usia Ardi tak terpaut jauh dari Wildan. Selama di asrama, memang belum pernah melihat Wildan dikunjungi sanak saudara. Namun, selama ini tak tampak olehnya, jika Wildan menahan rindu seberat itu. Aura wajah oval Wildan begitu sendu, kelam dalam perihnya kerinduan. Ardi mulai melucuti bagasi di punggungnya.
Wildan benar. Bagasi itu lama dia bawa, empat belas tahun. Selama itu, dia berinteraksi dengan siapa pun membawa bagasi yang menyiksa, bahkan sering mennyakiti orang di sekitarnya. Hanya Wildan yang mampu bertahan atas hantaman bagasi itu. Bagasi yang berisi egois, minder, dan menyalahkan keadaan itu harus dia lepas.
"Kautahu, Ar? Aku ingin diberi kesempatan oleh Allah untuk berbuat baik pada ibu, sebagaimana wasiat yang disampaikan Rasulullah dalam sabdanya itu."
Ardi menoleh pada Wildan. Mendung tebal masih bergelayut manja pada wajahnya. Ardi sungguh ikut nelangsa.
"Sesungguhnya Allah berwasiat 3 kali kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat."
Wildan menyunggingkan sedikit senyum. Tangannya menepuk punggung Ardi.
"Tapi, aku berhadap suatu saat biasa merealisasikan hadis riwayat Ibnu Majah itu."
Senyum makin lebar di bibir Wildan.
"Kata Abah, yang menitipkanku di asrama bukan ibu. Ibu itu menemukanku di gerobak sampah. Tapi, aku selalu bersyukur Ar, bisa bertemu Ummi, bisa berjumpa Bu Asih, ibumu."
"Dari mereka aku merasakan samudera kasih sayang. Aku menjumpai ketulusan dari kedua wanita itu. Sorry, Ar, jika kau tak senang. Tapi, aku harus mengatakan kalau Bu Asih sudah menjanda sejak kau ada di asrama ini."
Ardi terbelalak. Bagaimana mungkin kabar itu tak dia dengar. Itu berarti, ibunya menjanda sejak 14 tahun silam. Tatapan Ardi menyelidiki kesungguhan Wildan.
"Sungguh, Ar. Kedatangan Bu Asih dua hari setelah mengantarmu hendak membawamu pulang. Tapi, kau selalu menghindar dan tidak mau mendengarkan kami. Aku pikir sekarang kita sudah cukup dewasa untuk bijak dalam bersikap."
Ardi tekun mendengar perkataan sahabatnya. Benar semua yang dikatakan. Dalam kitab Mimmuqowwimat Nafsiyah Islamiyah, mereka diperintahkan agar lemah lembut pada orang muslim. Tentu, pada ibu harus lebih lemah lembut lagi. Dalam surat Luqman, mengucapkan "Ah" saja tidak boleh. Apa yang menjadi kesalahan dan kealpaan di masa lalu, sudah dia insyafi. Ardi merasa terang setelah bagasi itu sempurna dibuang.
Kini, dengan badan tegap dia akan mengarungi samudera kasih sayang yang telah dia telantarkan. Dia telah melupakan saat ibunya menikah lagi selepas ayahnya wafat. Dia sudah merasa biasa saat mengingat sang ibu menitipkannya di asrama ini. Dia hendak menebus segala dosanya. Dia tersadar bahwa surga di telapak kaki ibunya.
"Al jannatu tahta aqdamil ummahat." Hadis ini bergema di seluruh rongga dada dan benak. Pipinya telah basah. Tangan Wildan merengkuh bahunya, seakan meminta segera menemui ibu. Kaki Ardi bergetar tatkala mengejar sang ibu yang telah mengenakan sandal. Sepenuh kekuatan, dia meraih tangan ibu sembari merapalkan kalimat maaf yang menusuk hati.
Bu Asih yang masih terisak, kembali meledak tangisnya. Tangis bahagia itu membawa tangannya memeluk putra semata wayangnya. Setelah empat belas tahun, buah hatinya kembali. Wildan menatap pemandangan itu dengan haru dan bahagia. Dia berharap, suatu saat bisa bersua samudera kasih sayangnya.[]